"Setidaknya aku.."
Kamu memutar bola mata.
"Dengarkan aku, ya, tidak ada yang peduli soal isi kepalamu itu. Aku tahu ide-idemu itu menakjubkan, aku tahu. Kita semua tahu. Tapi, bagaimana pun yang ada di depan sinilah yang penting. Lihatlah ke cermin! Kau pikir ada orang waras yang tidak kelilipan cinta mau mempersunting gadis serba sederhana sepertimu?"
Aku memandang pantulan diriku sendiri, dari ujung surai sampai ke tumit. Tidak ada yang spesial, tidak ada yang menggetarkan. Kelebihan ada, tapi bukan sesuatu yang menawan.
"Hanya sesama orang sederhana, mungkin. Kalau hipotesisku benar."
Kamu memutar bola mata lagi,
"Berhenti bicara pakai bahasa ilmiah, itu tidak membantumu mengecilkan lengan atau perut. Kemudian, perlu aku ingatkan lagi, orang sederhana tidak mungkin memilihmu. Orang sederhana tidak sanggup mendengar ocehanmu atau menjawab pertanyaan bagaimana cermin dibuat."
Aku memiringkan kepalaku, lantas apa yang penting? Mengapa orang ini seenaknya masuk ketika aku sedang sibuk membaca pentingnya pengetahuan umum dan menurunkan kepercayaan diriku hingga seperti ini?
"Kau ingin sorotan," imingnya. "Kau ingin orang mengakuimu. Tapi, caramu ini sudah kelewat kuno. Sekarang bukan masalah pemikiran yang trendi, kita tidak hidup di zaman itu lagi. Sekarang atensi dan sorotan adalah yang utama dan semuanya itu berarti sensasi!" Wajahnya mengembang aneh, tidak seperti manusia. Wah, aku bahkan tidak yakin dia manusia. Matanya berbinar-binar, percikan rasa takut menyembur begitu kerlingan matanya memicing picik ke arahku.
Aku diam mematung, mataku seolah tertutup sihir. Telingaku, rasanya aku ingin menutupnya. Tapi kata-katanya semacam gelombang yang memecah ruang-ruang sempit kosong dalam benakku, seolah menjanjikan sebuah air di padang pasir.
Aku memandangnya, tidak percaya pada diriku sendiri karena masih mendengar dan pada dirinya yang tidak tahu batasan etika, terutama dalam komunikasi intrapersonal.