Ketika saya menimbang-nimbang untuk tulisan ini, ada beberapa kasus kekerasan baru terjadi yang menarik perhatian, yakni yang terjadi di sebuah pesantren di Sidoarjo dan yang paling baru adalah kasus pembakaran junior oleh senior di pesantren di Rembang, Jawa Tengah. Korban menderita luka bakar 80%. Kekerasan di dunia pendidikan memang sudah di tahap mengkhawatirkan, tapi membahas kekerasan di dunia asrama secara besar-besaran, terjadi baru-baru ini saja.
Sebelum membahas soal kekerasan di dalam asrama, perlu dikenal beberapa jenis kekerasan yang masuk ke dalam UU Perlindungan Anak, yaitu: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, penelantaran, dan eksploitasi. Tapi mengutip dari laman sekolahdasar, ada 10 jenis kekerasan yang sering terjadi di dunia pendidikan Indonesia, yakni: kekerasan verbal, rasisme, diskriminasi, pertengkaran antar pelajar, kekerasan psikis, cyberbullying, kekerasan oleh institusi, kekerasan fisik, kekerasan bersenjata, dan bullying. Mengacu dari kejadian yang terjadi yang dibahas di paragraf pertama, berarti memang benar bahwa ada kekerasan di dunia asrama.
Melansir dari tanggapan Sosiolog UI, Ida Ruwaida yang dimuat di Detik, ada empat alasan kenapa kekerasan di pondok bisa terjadi: kultur asrama yang patrelianistik, yang mengidolakan atau menghormati salah satu orang yang dianggap sebagai panutan, mempunyai anggapan bahwa kekerasan adalah bagian dari media pembelajaran, terjadinya dilema antara rasa solidaritas warga pesantren dengan rasa kemanusiaan, dan minimnya pemahaman tentang keberagaman.
Kita terkadang menganggap remeh perundungan, sering menganggap perundungan sebagai bahan bercanda, dianggap sebagai bagian dari pelatihan mental, sampai ada juga yang menganggap sebagai language of love. Nyatanya, efek dari perundungan itu ternyata berbahaya sekali. Mengutip dari Merdeka, efek perundungan dalam jangka waktu singkat antara lain adalah isolasi sosial, depresi, gangguan pola makan, gangguan kecemasan, perasaan harga diri yang rendah, dan gangguan jiwa lainnya. Efek jangka panjang dari perundungan adalah depresi kronis, gangguan stres pasca trauma atau PTSD, gangguan fisik, kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan obat, sampai kesulitan dalam berhubungan sosial.
Saya mengapresiasi langkah PWNU Jawa Timur yang membentuk posko di 40 pesantren di seluruh Jawa Timur, setidaknya, bagi korban untuk mengadu menjadi punya tempat. Sekedar saran saja, dengan adanya posko anti kekerasan seharusnya bisa menjadi tempat curhat yang baik, tanpa menghakimi, dan bersikap netral. Selain itu, penting juga membangun lingkungan pesantren yang lebih inklusif dengan adanya perubahan, sehingga tidak ada rasa superior antara santri ataupun gurunya.
Masukkan dari saya adalah perlunya dunia asrama untuk membuka diri dengan dunia psikologi. Seandainya, kala itu sudah ada jasa psikologi, tentu akan berbeda ceritanya. Padahal, penting sekali untuk mengetahui kondisi mental setiap anak pondok, karena usia dan lingkungan latar belakang setiap anak yang berbeda-beda, tentu akan memberikan dampak kepada tumbuh kembang mereka. Jika memiliki psikolog dirasa menyulitkan, pengurus asrama sekiranya bisa diberi pembekalan mengenai psikologi, sehingga sebagai orang tua pengganti, jadi bisa mengetahui apabila ada perubahan perilaku dari setiap muridnya.
Tulisan ini saya tulis ini dari perspektif saya sebagai penyintas perundungan atau bullying di pesantren hampir 2 dekade lalu. Saya berstatus jebolan karena hanya mampu bertahan selama 2 tahun saja dan kemudian menyelesaikan pendidikan di SMA kota asal saya. Saya akui, selama di pesantren, saya mendapat ilmu dan pengalaman yang banyak sekali, tapi semua memori itu tidak banyak saya ingat.
Saya tidak begitu ingat sejak kapan saya dirundung ataupun alasan kenapa saya dirundung oleh mereka. Saya kira, mereka merundung saya karena saya seorang nerd atau culun. Jenis kekerasan yang saya dapatkan berbentuk kekerasan psikis. Akibatnya saya mengalami rasa rendah diri yang sangat parah, stres, merasa terisolir, sempat mengalami gangguan pola makan, bahkan nilai rapot untuk pesantren saya anjlok.
Kala itu istilah perundungan atau bullying tidak populer di Indonesia. Â Butuh waktu bagi saya untuk mengetahui nama perasaan dan kejadian yang saya alami. Karena gaya hidup pesantren yang cenderung tertutup dari dunia luar, jadinya tidak ada wadah untuk cerita. Cara saya menoleransi rasa sakit saya adalah pergi ke perpustakaan, menulis buku harian dan menulis cerita. Kalau saya tidak tahan, saya memanfaatkan fasilitas warung telepon (Wartel) dan menulis surat curhat kepada teman SMP saya.
Saya memilih tidak cerita kepada orang tua karena tidak ingin terlihat lemah dan tidak bertanggung jawab sebagai anak sulung. Selama itu saya sering menyembunyikan rasa sakit saya dari orang tua. Saya mencoba menjadi pribadi yang mandiri, tapi akhirnya saya tidak tahan dan memohon untuk pindah sekolah, orang tua saya mengabulkan permintaan saya itu.
Ketika saya pindah sekolah, saya merasa sangat baik sekali. Berbekal pengetahuan dari majalah yang kini mudah diakses dibanding saya di pesantren, saya jadi bisa memvalidasi perasaan sakit hati saya, sekaligus mengafirmasi bahwa perundungan yang saya alami saya bukanlah salah saya. Saya memilih untuk menghapus hubungan dengan semua teman-teman di pesantren saya demi kepulihan mental. Saya benar-benar fokus dengan kehidupan SMA dan masa depan saya: gangguan makan saya berangsur-angsur menghilang. Saya pun pede untuk ikut kompetisi menulis, sempat bertemu dengan penulis buku remaja ternama seperti Sitta Karina, Luna Torashyngu karena saya ikut Kelas Cerpen Majalah Kawanku tahun 2010. Saya diterima di Undip dan sempat ikut Kelas Menulis Sejarah bersama Majalah Historia tahun 2010 yang membuat saya bertemu sejarawan terkenal seperti JJ Rizal dan Bonnie Triyana.
Beberapa tahun kemudian, saya mulai berkomunikasi lagi dengan teman dekat saya selama di asrama. Saya sudah mulai berani bercerita kisah perundungan saya dengan teman saya, ternyata teman saya ini tidak sadar bahwa saya mengalami perudungan. Saya mencoba berkomunikasi dengan teman asrama setelah sudah tidak ada rasa sakit hati. Saya  juga bertemu dengan beberapa orang yang pernah menyakiti saya. Tanpa disangka, sikap mereka benar-benar berubah: mereka mengungkapkan rasa menyesal dan minta maaf. Ketika mendengarkan hal itu, saya merasa lega sekali dan berekonsiliasi, kami pun menjadi teman.
Saya tidak pernah menyalahi orang tua saya atas perundungan itu. Menurut saya, orang tua yang mempercayakan anaknya berada di asrama atau pondok, perlu sekali untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak, sehingga anak menjadi terbuka untuk menceritakan hal-hal yang baik maupun jelek kepada orang tuanya. Saya sudah mulai bisa berkomunikasi dengan teman-teman dari pondok, saya tahu kalau tidak semua pelaku perundungan yang menyadari kesalahannya di masa lalu, jadi saya tidak memikirkannya dalam-dalam dan memilih untuk move on.
Saya sangat berharap tulisan ini bisa membuat korban perundungan untuk bisa bangkit dari keterpurukannya dan tidak merasa sendirian. Tulisan ini saya buat tidak untuk berniat menjatuhkan siapa pun. Pelaku perundungan mungkin bisa melupakan hal tersebut, namun berbalik dengan korban, ada yang mengalami kesulitan hingga di usia dewasa, atau menjadi pribadi pendendam, salah satu contoh korban perundungan yang dendam adalah penembakan di sekolah Columbine, Amerika Serikat pada tahun 1999.
Saya harap mereka yang masih menyimpan kepedihan, kemarahan, dendam akibat kejadian kekerasan perundungan yang menimpa mereka, apa yang terjadi itu bukan salah mereka. Jika masih merasakan luka akibat dari perundungan hingga usia dewasa, tidak ada salahnya untuk mencari bantuan profesional. Bagi mereka yang tidak mau membuka pintu maaf bagi pelaku, juga tidak apa-apa. Untuk bangkit kembali memang tidak mudah, semoga tulisan ini bisa membantu.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H