Ketika saya pindah sekolah, saya merasa sangat baik sekali. Berbekal pengetahuan dari majalah yang kini mudah diakses dibanding saya di pesantren, saya jadi bisa memvalidasi perasaan sakit hati saya, sekaligus mengafirmasi bahwa perundungan yang saya alami saya bukanlah salah saya. Saya memilih untuk menghapus hubungan dengan semua teman-teman di pesantren saya demi kepulihan mental. Saya benar-benar fokus dengan kehidupan SMA dan masa depan saya: gangguan makan saya berangsur-angsur menghilang. Saya pun pede untuk ikut kompetisi menulis, sempat bertemu dengan penulis buku remaja ternama seperti Sitta Karina, Luna Torashyngu karena saya ikut Kelas Cerpen Majalah Kawanku tahun 2010. Saya diterima di Undip dan sempat ikut Kelas Menulis Sejarah bersama Majalah Historia tahun 2010 yang membuat saya bertemu sejarawan terkenal seperti JJ Rizal dan Bonnie Triyana.
Beberapa tahun kemudian, saya mulai berkomunikasi lagi dengan teman dekat saya selama di asrama. Saya sudah mulai berani bercerita kisah perundungan saya dengan teman saya, ternyata teman saya ini tidak sadar bahwa saya mengalami perudungan. Saya mencoba berkomunikasi dengan teman asrama setelah sudah tidak ada rasa sakit hati. Saya  juga bertemu dengan beberapa orang yang pernah menyakiti saya. Tanpa disangka, sikap mereka benar-benar berubah: mereka mengungkapkan rasa menyesal dan minta maaf. Ketika mendengarkan hal itu, saya merasa lega sekali dan berekonsiliasi, kami pun menjadi teman.
Saya tidak pernah menyalahi orang tua saya atas perundungan itu. Menurut saya, orang tua yang mempercayakan anaknya berada di asrama atau pondok, perlu sekali untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak, sehingga anak menjadi terbuka untuk menceritakan hal-hal yang baik maupun jelek kepada orang tuanya. Saya sudah mulai bisa berkomunikasi dengan teman-teman dari pondok, saya tahu kalau tidak semua pelaku perundungan yang menyadari kesalahannya di masa lalu, jadi saya tidak memikirkannya dalam-dalam dan memilih untuk move on.
Saya sangat berharap tulisan ini bisa membuat korban perundungan untuk bisa bangkit dari keterpurukannya dan tidak merasa sendirian. Tulisan ini saya buat tidak untuk berniat menjatuhkan siapa pun. Pelaku perundungan mungkin bisa melupakan hal tersebut, namun berbalik dengan korban, ada yang mengalami kesulitan hingga di usia dewasa, atau menjadi pribadi pendendam, salah satu contoh korban perundungan yang dendam adalah penembakan di sekolah Columbine, Amerika Serikat pada tahun 1999.
Saya harap mereka yang masih menyimpan kepedihan, kemarahan, dendam akibat kejadian kekerasan perundungan yang menimpa mereka, apa yang terjadi itu bukan salah mereka. Jika masih merasakan luka akibat dari perundungan hingga usia dewasa, tidak ada salahnya untuk mencari bantuan profesional. Bagi mereka yang tidak mau membuka pintu maaf bagi pelaku, juga tidak apa-apa. Untuk bangkit kembali memang tidak mudah, semoga tulisan ini bisa membantu.*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H