Mohon tunggu...
Humaniora

Kitab Suci Itu Fiksi? Yang Benar Saja?

21 April 2018   04:45 Diperbarui: 21 April 2018   07:15 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila kitab suci yang dinyatakan fiksi, tentunya generalisasi tersebut termasuk juga dengan segala pedoman di jalan raya, rambu-rambu "DILARANG PARKIR", serta segala undang-undang dan persetujuan kontrak dan lain sebagainya itu juga adalah fiksi? Rekaan para cendekiawan, penegak hukum serta pembuat undang-undang yang telah menghabiskan tidak sedikit biaya materiil dan waktu serta keringat itu?

Pernyataan terakhir, yang masih membuat saya tidak bisa tidur di tengah malam ini adalah: "FIKSI MEMBAWA ENERGI POSITIF, DAN FIKTIF LAH YANG JAHAT ATAU NEGATIF". Sebuah pemahaman bahasa yang lagi-lagi tidak akan pernah saya bisa pahami, karena pada dasarnya "FIKSI" adalah sebuah kata benda atau objek, dan "FIKTIF" adalah kata sifat menjadi penjelasan dari objek "FIKSI" tersebut. 

Kecuali pengetahuan serta pemahaman ilmu bahasa saya salah, bagaimana bisa sebuah kata benda atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang positif, namun apabila kita mempelajari apa yang menjadi ciri-ciri atau sifat atau bentuk objek tersebut menjadi sesuatu yang negatif? Absurd? 

Saya akan mencontohkan sebuah objek GULA. Sebagai benda, dia memiliki ciri-ciri yang memberikan rasa MANIS, sehingga sifat dari GULA adalah MANIS, dan bisa berbentuk PADAT, KECIL dan SEPERTI PASIR, ataupun BERBENTUK CAIR. Anggaplah GULA adalah objek yang positif, namun apakah sifat MANIS nya negatif? Ataupun bentuk KECIL, SEPERTI PASIR atau CAIR itu negatif? 

Tentunya yang menentukan baik-buruknya objek tersebut, termasuk berbagai sifatnya itu bukanlah sifat bawaan dari objek tersebut, melainkan bagaimana dan untuk apa objek tersebut dipergunakan. Kalau untuk para penderita diabetes, tentu GULA adalah racun yang berbahaya untuk mereka, tetapi kembali lagi jenis GULA apakah yang menjadi bahan konsumsinya. 

Terlalu banyak kemungkinan, dan tulisan ini tidak bermaksud menjelaskan tentang gula, paling tidak poin saya terjelaskan lah, ya (semoga).  Terlepas dari perspektif apapun yang menjadi esensi dalam topik diskusi "pernyataan kontroversial" itu, saya pikir, secara pribadi, yang menjadi kendala utama adalah pemahaman definisi yang terlalu dangkal dalam membuat pernyataan itu.

Akhir kata, saya juga adalah seorang manusia yang tidak luput dari sebuah kesalahan, dan apabila demikian adanya, saya mohon maaf terlebih dahulu, dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang mungkin juga cukup dangkal. 

Namun saya perlu menyatakan bahwa tidak ada maksud sedikitpun dalam tulisan ini untuk menyudutkan atau bahkan menyinggung pihak manapun, terlepas dari fakta bahwa hasil menonton diskusi tersebut telah dengan SANGAT NYATA membuat saya mengabaikan jam tidur saya. 

Secara pribadi, saya benar-benar tidak mengenal pembuat pernyataan tersebut, dan apabila pesan ini bisa terbaca oleh lebih banyak orang, maka bolehlah kita belajar untuk saling mengakui segala keterbatasan kita masing-masing, untuk lebih sering berupaya dalam membangun dan tumbuh bersama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, belajar untuk tidak dengan mudahnya saling mencela, melainkan saling mengingatkan apabila ada kecerobohan, ketidak-sadaran yang menimbulkan kelalaian serta kegaduhan yang tidak perlu dan bahkan tidak membantu.

Semoga tulisan ini bisa lebih bermanfaat dalam upaya saling berbagi opini serta pendapat yang membangun, dan membawa keberanian untuk berbuat, dimana salah atau benar masih tidak dapat kita pastikan atau kita hakimi secara pribadi. 

Semoga juga tulisan ini bisa membuat lebih banyak orang untuk lebih berpikir kritis sekaligus terbuka dalam berbuat, bercakap serta berkarya. Tulisan ini juga hanyalah sebuah upaya yang tumbuh akibat sebuah kontroversi yang memaksa saya untuk membuahkan karya dengan semangat keterbukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun