Tulisan ini saya buat tidak hanya sekedar menanggapi artikel yang cukup heboh dan menuai banyak komentar dari berbagai opini, baik netral, mendukung atau bahkan hanya sekedar menuai emosi pembacanya. Berikut adalah link artikel yang berkaitan:
Sebagai penulis amatir yang memang baru banget dalam dunia kompasiana, dalam artikel ter-taut itu saya hanya memberikan sedikit komentar yang ternyata menuai dukungan untuk membuat artikel tersendiri. Jujur juga, baru kali ini saya melihat istilah "gagal paham" dan sudah menjadi tren dalam dunia netizen. Apa yah bedanya dengan "salah paham"? Yah tidak perlu dibahas dalam artikel yang saya ingin ungkapkan disini lah, hanya sekedar pembuka saja karena cukup banyak komentar dalam artikel itu yang saling menuduh masing-masing pihak untuk "gagal paham" itu.
Masuk ke tujuan artikel saya yang akan berkaitan dengan SNI atau kepanjangannya Standar Nasional Indonesia. Saya akan mencuplik beberapa komentar yang sudah saya lontarkan dalam artikel ter-taut itu untuk menjadi bahan di tulisan saya ini. Secara Definisi, Kata STANDAR berarti titik ukur, penetapan baku, sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat digunakan sebagai ukuran nilai/harga/kualitas (berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, juga dicuplik online dan ditambahkan oleh pemahaman pribadi penulis, semoga tidak dicap "gagal paham" juga)
Secara ringkas dari semua berita mengenai "kehebohan kebijakan SNI" yang ingin diterapkan pemerintah, juga termasuk "keresahan para pedagang karena dicap non-SNI berarti Ilegal", saya ingin membuat sebuah catatan kecil, bahwa pada kebijakan tersebut, sebagai pemerintah, sangatlah beralasan karena untuk urusan perdagangan dan peredaran beragam produk dalam negeri, pemerintah memiliki kewajiban untuk:
1. Melindungi konsumen dari segala produk yang bisa membahayakan kelangsungan hidup secara harafiah, baik dari segi kualitas hidup, gaya hidup, kenyamanan hingga kesehatan.
2. Mendukung peningkatan kualitas industri lokal, membangun daya saing produk dalam negeri untuk dunia dalam era globalisasi dan menjadi bangsa yang bangga akan produk nasional
3. Memastikan bahwa segala peredaran produk yang beragam itu masuk ke dalam pengawasan negara untuk memenuhi 2 kewajiban di atas.
So dengan tugas di atas, tentunya pemerintah juga memiliki tujuan yang sangat pantas untuk didukung rakyatnya karena secara ringkas yang kira-kira berbunyi: majukan industri lokal, dukung produksi dalam negeri, tingkatkan kualitas hidup bangsa, banggalah menjadi negara produsen.
Tetapi apa sih yang sebenarnya terjadi melalui berita-berita itu? Kucing-kucingan antara pedagang dan aparat, lalu muncul artikel tertaut di atas yang menuai banyak komentar pro-kontra sweeping barang ilegal di pasaran, atau penerapan SNI itu sendiri yang menimbulkan banyak opini-opini yang juga pro-kontra. Inilah mengapa saya akan mengangkat alasan saya membubuhkan arti kata STANDAR sebelumnya, supaya banyak juga orang yang mampu memahami apa yang sebenarnya perlu dilakukan, dibenahi dan disosialisasikan ke setiap bagian masyarakat baik itu aparat maupun rakyat.Â
1 hal yang perlu dicatat adalah: Produk SNI bukan hanya perlu bubuhan stiker yang dapat dibeli atau didapatkan melalui lisensi, karna tidak sulit untuk mencari ilustrasi yang bisa dicetak dengan sangat mudahnya di jaman internet sekarang ini. Kebijakan yang dimaksud ini lalu apa? Apakah dari penerapan SNI untuk sekian ribu bahkan ratusan ribu ragam produk yang digunakan dalam negeri, baik dari bahan baku, makanan, produk elektronik dan konsumsi serta hasil industri kreatif lainnya sudah dibuat masing-masing ISO-nya? Contoh untuk produk elektronik: ketahanan panas, penarikan daya, efisiensi penggunaan daya, faktor keamanan, dan lain-lain, atau untuk produk alat tulis: keamanan bahan tinta, tingkat kekeringan/kelembaban bahan, warna lapisan luar alat tulis, dan lain sebagainya, atau yah sudah terbayang lah yang saya maksud dengan STANDARISASI PRODUK itu.