Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dramaturgi dalam konteks Politik Gender di Indonesia

17 Januari 2025   13:00 Diperbarui: 17 Januari 2025   11:52 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Erving Goffman mengembangkan teori dramaturgi sebagai respons terhadap pengamatan mendalamnya terhadap interaksi sosial di era pasca Perang Dunia II, ketika perubahan signifikan terjadi dalam struktur sosial, ekonomi, dan politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Smith (2006), teori dramaturgi lahir dari kepekaan Goffman terhadap dinamika urbanisasi, budaya massa, dan kontrol sosial yang menguat pada masa tersebut. Perkembangan masyarakat industri yang ditandai oleh urbanisasi cepat dan semakin dominannya media massa memunculkan kebutuhan baru bagi individu untuk menyesuaikan perilaku mereka dalam berbagai konteks sosial. Dalam kondisi ini, interaksi antarindividu menjadi lebih formal, teratur, dan berorientasi pada manajemen impresi, yang menurut Goffman, menyerupai aktor di atas panggung teater.

Konteks sosial dan politik di mana Goffman hidup sangat mempengaruhi teorinya. Sebagaimana dicatat oleh Goffman et al., (1997) dalam The Goffman Reader, Goffman tumbuh di masa setelah Perang Dunia II, ketika tekanan sosial untuk berperilaku sesuai norma dan menjaga citra diri di ruang publik sangat kuat. Masa ini juga ditandai dengan meningkatnya kontrol sosial dan pengawasan terhadap individu, baik dari negara maupun masyarakat, yang mengharuskan orang untuk terus-menerus menyesuaikan diri dengan harapan sosial. Era ini melihat peningkatan kekhawatiran terhadap pengelolaan identitas, baik dalam hubungan interpersonal maupun di dalam sistem sosial yang lebih besar, yang semuanya menjadi tema sentral dalam pemikiran Goffman.

Hubungan Goffman dengan kontrol sosial pasca-Perang Dunia II, yang mencakup budaya massa dan urbanisasi, memengaruhi pendekatannya terhadap bagaimana individu di masyarakat modern harus terus-menerus "berperan" untuk menjaga kredibilitas dan identitas mereka di depan publik. Goffman melihat interaksi sosial sebagai sebuah panggung besar di mana individu harus menjaga "wajah" mereka sesuai dengan harapan sosial. Ini menjadi dasar dari teori dramaturgi Goffman, di mana ia menggambarkan kehidupan sehari-hari sebagai serangkaian pertunjukan yang diatur untuk memenuhi ekspektasi publik dan menjaga harmoni sosial. Dengan demikian, pengembangan teori dramaturgi oleh Goffman tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga merupakan refleksi dari kondisi sosial-politik zamannya. Urbanisasi, kontrol sosial yang meningkat, dan kebutuhan untuk memanipulasi impresi di hadapan publik menjadi fenomena yang diamati oleh Goffman dan diartikulasikan dengan kuat dalam karyanya. 

Buah Pemikiran Goffman yang Mengungkap Sandiwara Kehidupan Sosial

Teori dramaturgi yang diperkenalkan oleh Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life (1959) memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana individu berperilaku dalam interaksi sosial dengan menggunakan analogi teater. Goffman berpendapat bahwa kehidupan sosial adalah serangkaian pertunjukan di mana individu memerankan berbagai peran tergantung pada situasi dan konteks. Ide dasarnya adalah bahwa setiap individu, layaknya aktor, berusaha mempengaruhi dan mengelola kesan yang ditangkap oleh orang lain, melalui apa yang disebut sebagai impression management (manajemen impresi).

Dua konsep utama dalam teori ini adalah front stage dan back stage. Front stage adalah tempat di mana individu menunjukkan perilaku yang dapat diterima oleh publik sesuai dengan norma sosial dan harapan yang ada. Misalnya, ketika seseorang berada dalam situasi formal seperti di tempat kerja, mereka cenderung menunjukkan perilaku yang profesional, menjaga sopan santun, dan mengikuti aturan yang berlaku. Di panggung depan, individu secara aktif berusaha menjaga citra diri yang sesuai dengan ekspektasi audiens mereka. Sebaliknya, back stage adalah ruang privat di mana individu dapat bersantai dan melepaskan diri dari peran formal yang harus mereka mainkan di front stage. Di sini, orang-orang menunjukkan sisi diri yang lebih alami, autentik, dan kadang-kadang tidak sesuai dengan norma-norma yang diharapkan. Misalnya, Goffman menyatakan bahwa di ruang ini, individu bisa melakukan persiapan, merencanakan, atau bahkan memikirkan strategi bagaimana mereka akan tampil kembali di front stage.

Lebih jauh, Goffman menjelaskan bahwa dalam setiap interaksi sosial, ada komponen lain yang mendukung manajemen impresi tersebut, seperti penggunaan alat bantu atau props (seperti pakaian, gaya bicara, dan lingkungan fisik) yang mendukung peran yang dimainkan individu. Dalam konteks ini, teori dramaturgi bukan hanya menjelaskan bagaimana orang memerankan berbagai peran di berbagai situasi, tetapi juga bagaimana mereka mengatur setiap elemen dari presentasi diri mereka untuk mencapai kesan yang diinginkan dari audiens mereka. Melalui pendekatan ini, Goffman menyadarkan kita bahwa kehidupan sosial tidak hanya berisi tindakan spontan atau natural, tetapi sering kali merupakan hasil dari proses yang direncanakan dan terstruktur, di mana individu terus berusaha menavigasi dan mengelola persepsi orang lain terhadap mereka. Teori ini memberikan wawasan yang kuat tentang bagaimana identitas, kekuasaan, dan hubungan sosial dibangun dan dinegosiasikan dalam kehidupan sehari-hari

Relevansi Dramaturgi dengan Politik Gender

Dua karya penting yang mengaplikasikan pemikiran dramaturgi dalam politik, yakni The Dramaturgy of Politics oleh Merelman (1969) dan Dramaturgy and Political Mystification oleh Welsh (1985), keduanya menawarkan perspektif berbeda namun saling melengkapi dalam memahami kehidupan politik sebagai sebuah pertunjukan. Kedua karya ini sama-sama menyoroti bahwa politik modern lebih dari sekadar perdebatan ideologis atau kebijakan publik. Politik adalah panggung besar di mana politisi berjuang untuk mengontrol persepsi publik melalui pementasan yang cermat. Di satu sisi, Merelman melihat bagaimana politisi menggunakan teknik dramatik untuk menarik dukungan, sementara Welsh mengungkap bagaimana elit politik menggunakan pementasan ini untuk menutupi ketidaksetaraan yang ada dan mempertahankan dominasi kelas. Dengan demikian, teori dramaturgi menjadi alat yang kuat untuk memahami bagaimana kekuasaan dan otoritas dibentuk, dipertahankan, dan bahkan ditentang dalam sistem politik kontemporer.

Pendekatan dramaturgi ini relevan dalam konteks politik gender, terutama dalam menganalisis bagaimana perempuan di panggung politik sering kali harus menghadapi tantangan yang lebih besar dalam manajemen impresi dibandingkan rekan laki-laki mereka. Perempuan tidak hanya harus membuktikan kompetensi politik mereka, tetapi juga harus beradaptasi dengan ekspektasi sosial yang lebih ketat terkait peran gender. Di tengah sistem yang didominasi oleh laki-laki, politisi perempuan sering kali harus menggunakan female subjectivity sebagai sebuah strategi politik yang efektif (Savirani et al., 2024).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun