Mohon tunggu...
Siti Nurrobani
Siti Nurrobani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate sociology student at UGM

Membuat dan menulis di Blog ini sebagai saluran dari aspirasi saya sebagai mahasiswa. Saya tertarik dengan isu politik, budaya, dan perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menilik Teori Imagined Communities oleh Benedict Anderson

7 Februari 2024   20:00 Diperbarui: 22 Februari 2024   21:15 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Benedict Anderson

Benedict Anderson adalah seorang tokoh sosiolog. Dalam buku terkenalnya yang berjudul Imagined Communities (1983), Anderson memaparkan teori konstruktivisme. Bahwasanya, nasionalisme itu dikonstruksikan oleh suatu aktor. Lalu, ia meyakini bahwa negara-negara yang ada harus dilihat sebagai komunitas yang dibayangkan. 

Anderson memaparkan hal ini dengan menghubungkannya dengan sejarah bangsa, agama, dan budaya---yang mana nantinya ia kaitkan dengan kapitalisme percetakan dan perkembangan bahasa. Pada awalnya cukup sulit bagi penulis untuk memahami konsep yang sangat abstrak ini. Namun, semakin jauh menyelami buku ini, penulis mulai menemukan kata kunci yang selalu ditekankan oleh Anderson, yaitu bahasa dan komunitas.

Anderson menjelaskan bahwa pandangan suatu bangsa akan eksistensi cakupan wilayahnya yang besar akan memancing masyarakat mengimajinasikan dirinya dalam suatu ikatan kelompok atau komunitas. Bahkan, tanpa harus melakukan tatap muka dan interaksi, akan tetap ada rasa terikat yang tercipta. Hal ini tidak datang begitu saja sebab ada faktor pendorong masyarakat mengimajinasikan bayangan tersebut. Contohnya, sumber-sumber seperti sensus, peta, dan museum. 

Gambaran peta dunia yang menggambarkan batas-batas wilayah antarnegara disertai pembagian warna dan simbol di dalamnya yang mengisyaratkan hak-hak kepemilikan negara, angka-angka yang ditunjukkan sensus penduduk, serta sejarah panjang yang dibingkai dalam bentuk lukisan lalu dimuseumkan---membuka pikiran masyarakat bahwa bangsanya adalah bangsa besar dengan sejarah perlawanan masing-masing. 

Anderson juga menjelaskan secara bertahap bahwa bahasa vertakular (bahasa resmi, bahasa sehari-hari, dan bahasa daerah) menjadikan antarmasyarakatnya membayangkan dirinya sefrekuensi dan seirama. Namun, hal ini justru dijadikan alat oleh kapitalisme percetakan untuk menyamakan pandangan historis akan suatu peristiwa di masa lalu. Nantinya, cetakan tersebut bisa diproduksi dalam koran, majalah, hingga buku. Artinya, proses konsumsi media kapitalis ini tidak akan pernah ada habisnya. Kita akan terus disuapi narasi yang mereka ciptakan sampai entah bagaimana teks tersebut memupuk rasa nasionalisme masyarakatnya.

Interaksi antara kelompok elite dengan teknologi percetakan masih berkesinambungan. Fenomena seperti ini pun bisa dilihat dalam konteks Indonesia. Gagasan akan nasionalisme di negara ini lahir karena ada bukti perjuangan di atasnya. Ada bukti sejarah seperti makam-makam yang diberi keterangan pahlawan nasional dan museum yang menggambarkan bagaimana proses kemerdekaan negeri ini dapat diraih. Hal-hal kontekstual seperti inilah yang dimaksud konstruksi sosial oleh Anderson. 

Memang benar adanya bahwa narasi-narasi yang kita konsumsi akan sejarah merupakan hasil produksi ribuan kali dari zaman ke zaman dan hal itu mencetak pandangan kita secara seragam sebagaimana teks tersebut ditulis. Namun, kita tidak bisa menelan teori Anderson begitu saja karena ia hanya fokus pada abstraksi nasionalisme modernitas dan melupakan local content yang juga menjadi faktor pembentuk nasionalisme itu sendiri.

Sebelum tahun 1928, perjuangan melawan penjajah hanya dilakukan di daerah masing-masing. Komunitas-komunitas yang berdiri pun hanya mengatasnamakan daerahnya saja. Tetapi, setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan dan bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa nasional. Barulah tercipta integritas nasional dari komunitas daerah yang sebelumnya terfragmentasi. Oleh karena itu, melihat dari isi Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia kerap disebut sebagai bahasa pemersatu bangsa. 

Namun, Anderson melihat bahasa hanya seputar retorika politik belaka dan menomorduakan komunitas yang lebih kecil seperti komunitas adat. Hal yang tidak bisa dirincikan oleh Anderson yaitu bagaimana komunitas adat yang sulit dijangkau oleh media seperti suku-suku pedalaman ini juga memiliki rasa nasionalisme. Walaupun di dalam bukunya ia membahas warisan bahasa dan budaya. Akan tetapi, hal ini terlihat sebagai asumsi yang umum saja. Anderson tidak membahas perwujudan nasionalisme oleh kelompok adat hingga menjadi salah satu aktor pembentuk identitas nasional. Teorinya hanya mengerucut kepada kapitalis dan para elite.

Referensi

Anderson, B. R. (2016). Imagined communities: Reflections on the origin and spread of nationalism (Rev. ed.). Verso.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun