Mohon tunggu...
Xerxes Da Silva
Xerxes Da Silva Mohon Tunggu... Konsultan - Junior Lawyer

Badminton dan Renang

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Peran Yurisprudensi dalam Penemuan Hukum

3 November 2023   23:06 Diperbarui: 3 November 2023   23:39 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan Konstitusi (in casu UUD 1945), khususnya dalam melaksanakan kewenangannya menguji konstitusionalitas undang-undang ?

Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam bukunya  Pokok-pokok Hukum tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, pada dasarnya putusan-putusan MK adalah sebuah wujud penafsiran hakim konstitusi hakim yang bersifat mengikat terhadap perkara yang diputusnya. Pelaksanaan kewenangan MK dalam menguji konstitusionalitas undang-undang sangat erat kaitannya dengan penafsiran konstitusi, pengujian undang-undang merupakan core business Mahkamah Konstitusi. Namun bukan berarti dengan pembatasan demikian Mahkamah Konstitusi hanya melakukan penafsiran di samping melaksanakan kewenangannya menguji konstitusionalitas undang-undang saja.

Sebagaimana kita ketahui, perubahan UUD 1945 telah merumuskan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam pasal 24 C ayat (1) dan (2) yakni (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang ter-hadap Undang-Undang Dasar.

Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. sehingga sesungguhnya setiap pelaksanaan kewenangannya Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran konstitusi. Mengenai penafsiran konstitusi, merupakan suatu upaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan bagaimana cara memandang konstitusi serta tujuan-tujuan yang hendak diwujudkan oleh konstitusi itu.

Guru Besar hukum dari Universitas Gadjah Mada, Sudikno Mertokusumo menyamakan pengertian penemuan hukum dan penafsiran hukum. Penafsiran hukum adalah suatu metode penemuan hukum yang digunakan untuk menerapkan hukum (das sollen) pada peristiwa tertentu (das sein). Penemuan hukum ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan interpretatif. Penafsiran hakim harus mengakibatkan berlakunya (atau tidak dapat diterapkannya) ketentuan hukum umum terhadap peristiwa-peristiwa tertentu yang dapat diterima secara sosial. 

Penemuan hukum merupakan syarat yang perlu bagi seorang hakim atau pengadilan untuk mengambil putusan terhadap suatu perkara tertentu yang sedang diadili, apabila undang-undang tidak mengaturnya atau tidak jelas mengaturnya atau bisa juga terdapat pertentangan aturan yang berlaku terhadap perkara tersebut. Dalam keadaan demikian maka hakim harus menentukan apa atau bagaimana hukumnya yang berlaku terhadap perkara tersebut untuk kemudian dituangkan ke dalam putusan. Putusan-putusan tersebut menjadi yurisprudensi lalu digunakan sebagai dasar masyarakat ketika beracara di Mahkamah Konstitusi.

Dalam praktik hukum, yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Adapun selain sebagai sumber hukum, dalam dunia peradilan mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: (1) Menegakkan adanya standar hukum yang sama dalam kasus/perkara yang sama atau serupa, dimana undang-undang tidak mengatur hal itu; (2) Menciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat dengan adanya standar hukum yang sama; (3) Menciptakan adanya kesamaan hukum serta sifat dapat diperkirakan (predictable) pemecahan hukumnya; (4) Mencegah kemungkinan terjadinya disparitas perbedaan dalam berbagai putusan hakim pada kasus yang sama, sehingga kalaulah terjadi perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lain dalam kasus yang sama, maka jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai variabel secara kasuistik. (5) Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa yurisprudensi adalah manifestasi penemuan hukum

Sebagai suatu wujud penemuan hukum, dasar yang biasa dijadikan rujukan bagi lahirnya yurisprudensi adalah Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat." Maksud yang terkandung dari pasal itu adalah agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Berlakunya sebuah yurisprudensi sebagai sumber hukum menandakan bahwa tugas hakim dan wewenang hakim dalam melaksanakan penemuan sebuah hukum baru/ belum pernah ada sebelumnya. Hakim dalam Yurisprudensi sangat berperan penting karena hakim tidak sekedar menerapkan sebuah undang-undang saja tetapi juga dapat menciptakan/membentuk hukum baru (judge made law) . Yurisprudensi berperan penting bagi perkembangan hukum di Indonesia pada saat hukum positif tidak mengatur dan pada saat undangan-undang dianggap tidak relevan lagi dalam perkembangan masyarakat itu sendiri. Namun di samping peran penting tersebut, Yurisprudensi juga menjadi sebuah pisau bermata dua, adanya putusan-putusan hakim yang bermasalah menjadi pertimbangan tersendiri dari penggunaan Yurispudensi sebagai sumber penemuan hukum bagi Hakim. 

Terlebih lagi, Putusan-putusan yang demikian bisa muncul karena para pihak berperkara juga lebih mengedepankan kemenangan daripada kebenaran. hakim-hakim pun ikut mengabaikan cita hukum. Kepastian hukum dan keadilan diperlakukan secara bergantian dan tidak komprehensif. Akibatnya sering kali putusan hakim mengandung inkonsistensi antara pertimbangan dan larangan. Proses mencari kemenangan di pengadilan seringkali dicapai dengan memanipulasi pilihan antara kepastian hukum dan rasa keadilan. Kegagalan moral aparat penegak hukum juga memperburuk situasi. Saat memutus perkara, hakim sering kali mengandalkan kemenangan formalitas dibandingkan keadilan dan kebenaran sejati. 

Dalam titik rawan ini muncul putusan-putusan hakim yang dinegosiasikan melalui politik transnasional. Dan jika Putusan-putusan yang demikian tetap dipergunakan dan menjadi yurisprudensi, maka untuk dimasa depan masih layakkah yurisprudensi sebagai dijadikan sebagai sumber hukum ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun