Mohon tunggu...
Xerxes Da Silva
Xerxes Da Silva Mohon Tunggu... Konsultan - Junior Lawyer

Badminton dan Renang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relevansi Argumentasi Hukum antara Asas Legalitas dan Asas Retroaktif

16 September 2023   11:02 Diperbarui: 16 September 2023   11:07 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam kehidupan di Masyarakat seringkali kita menjumpai orang-orang yang sering berargumentasi, argumentasai tersebut merupakan pikiran dari orang tersebut yang belum tentu bisa di konfirmasi kebenaran nya. Setiap orang memang bebas untuk berargumentasi apa saja yang ada di kehidupan baik isu politik, isu bisnis dan isu kasus hukum yang sedang viral, Indonesia akhir-akhir ini sering sekali mendapati kasus hukum yang mendapatkan sorotan sehingga menjadi bahan pembicaraan di Masyarakat. Masyarakat atau orang-orang menjadi penasaran dan menyampaikan argumentasi nya yang tidak tahu sama sekali tentang Hukum bahkan ada yang tidak berlatar belakang berpendidikan dari sekolah Hukum ikut meyampaikan argumentasi. Namun Masyarakat atau orang-orang yang berargumentai tersebut dapat menimbulkan rumor-rumor yang dapat menimbulkan Kesesatan atau dalam lebih dikenal Fallacy adalah kesesatan berpikir.

Kesesatan berpikir atau Fallacy akan terjadi apabila orang yang menyampaikan Argumentasi tersebut tidak memahami kronologi, fakta-fakta dan bukti yang ada, tetapi Kesesatan berpikir tersebut diharapkan tidak akan terjadi oleh orang-orang yang berlatar belakang dari Sekolah Hukum. Orang yang berlatar belakang dari Sekolah Hukum akan memahami orang kalau ada orang menyampaikan sebuah penalaran yang sesat dan iaa sendiri tidak mengetahui bahwa ada nya kesesatan, penalaran itu disebut Paralogis. Kalau penalaran tersebut disengaja untuk menyesatkan orang lain yang tidak memahami peristiwa tersebut disebut Sofisme. Penalaran juga dapat sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis dan konklusi. Kesesatan yang demikian adalah kesesatan berhubungan mengenai materi penalaran. Model kesesatan yang lain adalah kesesatan penggunakan Bahasa. Selanjutnya untuk menggambarkan kesesatan dalam penalaran hukum R.G. Soekadijo memaparkan lima model kesesatan hukum, yaitu:

1. Argumentum ad ignorantiam

2. Argumentum ad verecumdiam 

3. Argumentum ad hominem

4. Argumentum ad miserikordiam

5. Argumentum ad baculum

Ilustrasi atas 5 model kesesatan tersebut juga dikemukakan oleh Irving M. Copy. Model tersebut kalau digunakan secara tepat dalam bidang hukum justru bukan kesesatan dalam penalaran hukum yaitu ;

  • Argumentum ad ignorantiam: Kesesatan ini terjadi apabila orang mengargumentasikan suatu proposisi sebagai benar karena tidak terbukti salah atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar. Dalam bidang hukum, argumentum ad ignorantiam dapat dilaku- kan apabila hal itu dimungkinkan oleh hukum acara dalam bidang hukum tersebut. Untuk bidang hukum perdata dengan berpegang pada pasal 1385 BW penggugat harus membuktikan kebenaran dalilnya, sehingga apabila dia tidak dapat mengemukakan bukti yang cukup, gugatan dapat ditolak dengan alasan bahwa si gugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya. Dalam hukum acara peradilan tata usaha negara, hal itu tidak berlaku karena Pasal 107 UU Nomor 5 tahun 1986 menetapkan bahwa hakim yang menetapkan beban pembuktian. Dengan dasar itu tidaklah tepat menolak suatu gugatan hanya atas dasar bahwa si penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya. Karena mungkin saja beban peng pembuktian dialihkan kepada tergugat.
  • Argumentum ad verecundiam : Menerima dan menolak argumentasi bukan karena nilai penalarannya, tetapi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli, dapat dipercaya. Argu- mentasi demikian bertentangan dengan pepatah latin: Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio (nilai wibawa hanya setinggi nilai argumentasinya). Dalam bidang hukum argumentasi demikian tidak sesat jika suatu yurisprudensi menjadi yurisprudensi tetap. Contoh: untuk kriteria perbuatan melanggar hukum oleh penguasa, sebagai yurisprudensi tetap dianut putusan Mahkamah Agung No. 838 K/Sip/1972 yang terkenal dengan sebutan kasus Yosopendoyo.
  • Argumentum ad hominem : Menerima dan menolak argumentasi atau usul bukan karena penalaran, tetapi karena terketuk dari keadaan lawan bicaranya. Menolak suatu pendapat seseorang karena dia orang Arab adalah suatu contoh argumentum ad hominem. Dalam bidang hukum, argumen ini bukanah sebuah kesesatan apabila digunakan untuk mendiskreditkan seorang Saksi yang pada dasarnya tidak mengetahui secara pasti kejadian yang sebenarnya.
  • Argumentum ad miserikordiam : Suatu Argumentasi bertujuan untuk menimbulkan rasa belas kasihan bagi lawan bicara. Dalam bidang hukum, argumentasi ini tidak dianggap sesat apabila digunakan untuk meminta keringanan hukuman.
  • Argumentum ad baculum: Menerima dan menolak Argumentasi karena adanya suatu ancaman. Ancaman yang mengakibatkan orang lawan bicaranya merasakan takut. Dalam bidang hukum, dengan cara tersebut tidak dianggap sesat apabila digunakan untuk mengingatkan orang tentang suatu ketentuan Norma-norma Hukum, contoh: di Semarang di seluruh pojok kota dipasang papan kuning yang berisi ancaman bagi pelanggar PERDA KEBERSIHAN.

Kasus hukum yang viral menjadi perbincangan di Indonesia lebih banyak Kasus Pidana, maka akan membahas Hukum pidana Indonesia pada dasarnya menganut Asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan." Salah satu konsekuensi dari ketentuan tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana atau yang dikenal dengan istilah non-retroaktif. Asas Legalitas  dengan  tiga  pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu :

1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana sebelum dinyatakan  terlarang dalam suatu aturan perundangundangan;

2. untuk menentukan perbuatan tindak pidana tidak boleh digunakan analogi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun