Lihat aku dan seksamai, jika istri-istrimu menyulut bara cemburu, jangan salahkan purnama, sebab bulan dadari adalah wajah yang akan menenggelamkan langit.
"Tolong atas sabda lantangku dengarlah!"
Aku; bukan pesolek atas kemolekan manis wujud, dari gerai tangan awan.
Jika istri-istrimu menandaku lacur, biarkan aku tertawa. Menindik lidah bibir dan berkata, "Aku dilahir sebab ketaatan harga diri, adaptasi bukan mencari sensasi."
Mereka berebut sisa putung tembakau yang kuhisap. Merelakan segepok sloka untuk merasakan kepulan dari batang rokok yang candu.
Namun, aku bukan lacur yang menjual tanah kau. Adalah aku, kehormatan yang masih utuh tanpa tersentuh. Harkat martabat tubuh jiwa adalah candi yang kokoh untuk ke-ekaan  keyakinan. Bukan seduhan adopsi kalimat tenar.
Atas nama kesucian cinta pada kekasih, ku 'kan lebur dunia pelik yang menyinggung derap.
Belenggu yang menamai kealfaan memenjarakan gerak, bukan menjadi batu sandung untuk menujunya.
Yang telah kau kubur di bawah bukit, adalah tanah kecintaanku pada Prana. Akan aku pinangkan di gunduk tanah, darah kesetiaan padanya
Maka jangan sesalkan. Mendut, terbaring seliang dengan napas Citra. Sebab kutempatkan pinggul di mana semestinya beradaptasi dengan dunia membaur tenang.
Solo. 14062019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H