Mohon tunggu...
XAVIER QUENTIN PRANATA
XAVIER QUENTIN PRANATA Mohon Tunggu... Dosen - Pelukis kehidupan di kanvas jiwa

Penulis, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok Sengaja Dibenturkan dengan Jokowi? Strategi Apa Lagi Ini?

28 Agustus 2019   11:36 Diperbarui: 28 Agustus 2019   11:58 5033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu melihat denah sementara ibu kota baru di halaman depan sebuah koran nasional, saya langsung tunjukkan gambarnya kepada istri saya. "San, mirip Canberra ya?" tanya saya.

Karena ingin melihat perbedaan antara Sydney---yang sering dianggap ibu kota Australia---dengan Canberra, saya mengunjugi ibu kota Aussie ini. Bersama istri saya mengelilingi kota yang rapi, bersih dan sunyi ini. Jauh berbeda dengan Sydney yang hingar bingar. Apalagi dengan Jakarta yang semakin polusi saja, sehingga warga yang terpapar seperti menghisap 20 batang rokok sehari. (kompas.com).

Kok tidak dari dulu?

Meskipun pemindahan ini sudah diwacanakan sejak zaman Soekarno, pelaksanaannya baru bisa dilakukan di zaman Jokowi. Mengapa? Karena setiap presiden punya agenda lain yang dianggap lebih penting pada saat itu. Soekarno dengan Asian Gamesnya, Soeharto dengan repelitanya. Presiden-presiden lainnya terlalu pendek masa jabatannya sehingga disibukkan dengan urusan transisi kepemerintahan. SBY? Saya tidak tahu alasannya.

"Ibu kota pindah ya Pak Xavier?" tanya cleaning service di kantor saya. Rupanya hingar bingar pemindahan ibu kota itu sudah merata di semua strata anak bangsa.

"Bagaimana menurutmu?" pancing saya.

"Bagus!" ujarnya antusias. Dia dengan bersemangat bercerita bahwa Jakarta sudah terlalu sumpek. Dia bahkan memuji-muji Jokowi yang bisa mengeksekusi rencananya ini. Jadi bukan sekadar wacana.

Tepat! Itulah yang Jokowi kerjakan. Dia membangun infrastruktur besar-besaran yang meliputi darat dan lautan. Belakangan ini semakin banyak sahabat saya yang mengajak wisata kuliner sampai Jogja, Solo dan Semarang. Kalau dulu jangan harap. Membayangkan perjalanannya saja sudah malas, apalagi menjalaninya. Jokowi ingin membuktikan bahwa apa yang dia ucapkan bukan janji kampanye, bukan wacana tapi harus terlaksana. Jalan tol sanggup memangkas jarak dan waktu begitu siknifikan.

Komentar Ahok

Terlalu muluk? Terlalu boros? Dua hal itulah yang bisa menjadi 'titik serang' keputusan Jokowi ini. Ternyata benar. Belum lama diputuskan, ada video Ahok yang berkomentar miring terhadap rencana pemindahan ibukota ini, padahal itu video lama saat Ahok masih menjabat sebagai wakil gubernur DKI pada tahun 2013.

Berikut isi wawancara yang viral itu:

Presenter: Menurut Pak Jokowi dan Ahok, perlukah pemindahan ibu kota ke tempat lain? Atau menunggu Jakarta menjadi megapolitan yang crowded? Ada lagi "apakah Bapak setuju jika ibu kota dipindahkan? Atau Bapak berpikir bahwa Jakarta masih layak untuk menjadi ibu kota?"

Ahok: Saya kira kalau soal pindahkan ibu kota tergantung pemerintah pusat dan DPR. Kalau buat saya, rakyat kita masih susah, kalau buat saya pribadi, untuk apa habisin Rp 800 triliun hanya untuk mengatasi gara-gara sini macet, lalu ibu kota pindah padahal bikin loopline kereta api cuma Rp 30 triliun. 

Jadi kan ini bukan karena ada masalah lalu lari dari masalah gitu lho, itu pendapat saya. Kalau sini macet ya diatasi dong macetnya. Bukan berarti lalu bikin proyek yang lebih berapa ratus triliun. Itu juga masalah baru lagi. Lebih cepat di sini kok. Kalau saya, lebih gampang gimana? Beli aja bus yang banyak kalau pemerintah pusat mau bikin lancar. Kasih bus gratis. (detiknews).

Saat dikonfirmasi dan klarifikasi Ahok menyatakan bahwa pengungkapan kembali video lawas itu hanya untuk mengadu domba. Ahok tidak mau berkomentar banyak saat ditanya tanggapannya soal pemindahan ibu kota negara tersebut. Ia mengatakan, itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. "Saya kira itu keputusan lama sebetulnya," kata Ahok di Gedung DPRD DKI. (kompas.com).

Saat dihubungi pada Selasa (27/8/2019), Ahok menjelaskan sikapnya soal rencana pemindahan ibu kota yang sudah diumumkan Jokowi. BTP, sapaan lain Basuki, menyebut beredarnya video lama tersebut seperti politik peninggalan kolonial Belanda.

"Itulah politik peninggalan kolonial Belanda. Maunya adu domba dengan konteks berbeda dan pertanyaan yang tidak sama," kata Ahok lewat pesan singkat. (detik.com)

Udang apa di balik batu?

Sejak dinyatakan menang, Jokowi memang 'diserang' entah secara langsung atau tidak langsung dengan kegaduhan yang terus-menerus terjadi di tanah air. 

Tiga hal yang mencolok adalah ucapan bernada SARA yang diucapkan oknum tertentu kepada mahasiswa Papua membuat berbagai wilayah di Papua membara. 

Isu salib yang dianggap berisi 'jin kapir' dan pelecehan kata Haleluya juga sempat membuat sebagian hati umat terbakar. Saat kedua hal itu mulai surut, video lawas Ahok diungkap kembali sehingga membuat kegaduhan.

Ada apa? Untuk apa? Jokowi sudah memang. Sebentar lagi dilantik. Lalu semua 'gerakan' itu untuk apa? Apakah 'move' itu dilakukan oleh mereka yang belum atau tidak bisa 'move on'? Siapa yang bisa tahu pikiran masing-masing orang, termasuk provokator atau dalangnya. 

Yang kita tahu secara terang benderang adalah hasil hoaks dan ujaran kebencian itu merusak tatanan kesantunan berbangsa dan bernegara. Tujuannya bisa saja agar pemerintahan Jokowi dianggap gagal atau paling tidak cacat di mata rakyat maupun dunia internasional.

Seperti sebuah kebetulan, di tanah air film Angel Has Fallen sedang diputar di berbagai gedung bioskop. Intinya adalah usaha kudeta yang dilakukan oleh wakil presiden bekerja sama dengan orang yang bukan saja mendapat keuntungan materi secara berlimpah, melainkan aksi heroik lama yang terpendam dengan mengkambinghitamkan paspampres berprestasi dan setia terhadap konstitusi. 

Kebenaran muncul seperti siang. Satu per satu, pembuat dan pelaku rancangan jahat itu terbongkar. Seperti dalam film itu, saya harap konstitusi tetap kita junjung tinggi di negeri ini agar kita tidak lagi melihat Ibu Pertiwi bersusah hati.

  • Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun