Teror yang melanda dua masjid di Christchurch Selandia Baru sekali lagi  menyentak dunia. Saat bom meledak di tiga gereja di Surabaya, orang ramai-ramai bertanya, "Kok bisa?" Soalnya Surabaya dianggap salah satu kota teraman di Indonesia. Untuk arek-arek Suroboyo menjawab dengan tebaran spanduk di berbagi sudut kota: "Aku Wani!", "Aku orang wedhi!", "Surabaya tetap sejuk!"
"Ayo Kak datang ke New Zealand," ujar seorang peserta camp milenial yang saya pimpin di Phillip Island yang merupakan camp gabungan mahasiswa Melbourne dengan mahasiswa Selandia Baru. "Kota kami aman dan nyaman lho," tambahnya ketika itu.
Kini negara yang dianggap salah satu negara paling aman itu disatroni dan dikotori teror dan horor. Puluhan orang meninggal. Luka lama kembali menganga setiap kali teror melanda kota mana pun di dunia. Kerugian baik materi maupun nonmateri tak terhitung. Teror bom Bali satu dan dua membuat pulau indah di Indonesia itu kehilangan devisa dari kunjungan turis, khususnya dari Australia.Â
Brenton Tarrant, pelaku teror di Christchurch dikabarkan datang dari Australia. Apakah dia balas dendam? Bisa ya, bisa tidak. Yang jelas di dalam manifesto 74 halaman berjudul "The Great Replacement" menyiratkan hal itu? Bukankah kata 'replacement' berarti pengganti? Ganti apa? Teror ganti teror? Di samping itu, manifesto itu menunjukkan sikap fanatismenya terhadap gerakan ekstrem sayap kanan.Â
Seperti Ku Klux Klan di Amerika Serikat dan Nazi di Jerman, Tarrant tidak mau dominasi ras kulit putih 'diganggu' hadirnya para imigran di negaranya.
Jika dia berasal dari Austalia, mengapa dia memilih Selandia Baru? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab karena aksi teror di Indoesia pun bisa dilakukan oleh orang-orang dari negara lain, atau minimal terpapar ideologi dari negara lain.
Donald Trump yang dianggap 'anti pendatang' pun sampai geregetan dengan aksi keji itu sehingga membuat pernyataan, "Itu adalah pembantaian yang mengerikan. AS akan mendukung semua langkah  yang dilakukan Selandia Baru."
Solidaritas semacam itulah yang seharusnya ditunjukkan bukan hanya para pemimpin negara di dunia, melainkan pribadi demi pribadi sampai ke akar rumput. Pidato Grace Natalie di Medan yang tampak garang menyerang partai-partai lama yang dianggap bungkam atas ketidakadilan yang menimpa sekian warga negeaa Indonesia patut didengarkan.Â
Orasi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia itu menyengat semua partai 'lama', bahkan partai sekoalisi di Indonesia Maju seperti Golkar dan PDIP. Kritikan pedasnya bisa jadi menyadarkan sebagian dari kita. Bisa pula membuat sebagian orang---terutama dari partai yang diserang---balik menggigit. St. Paul sudah mengingatkan kita dalam kata bijaknya, "Jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan."
Beruntung sekali media mainstream di tanah air menyuarakan hal yang hampir sama: "Mengutuk boleh, balas dendam jangan." Artinya, kejahatan memang perlu dikutuk, tetapi balas dendam tidak akan  menyelesaikan persoalan. Melawan api dengan api malah membuat kobaran yang bertambah besar dan menelan korban yang jauh lebih besar lagi.
Waktu masih bertugas di Perth, Australia Barat, di dekat gereja ada museum pemadam kebakaran. Suatu siang, saat mampir ke sana, petugasnya dengan ramah menjelaskan berbagai hal tentang kebakaran. "Sedapat mungkin, kebakaran sekecil apa pun harus dilokalisir agar tidak membesar," ujarnya bersemangat sambil memberi saya brosur, stiker dan pernik-pernik yang berhubungan dengan tugas para pemadam kebakaran.