Menjelang Imlek, banyak lajang di RRT yang pusing tujuh keliling. Mengapa? Tidak pulang kampung dianggap lupa kampung halaman dan tidak menghormati ortu atau yang dituakan. Pulang kampung takut diinterogasi dengan satu pertanyaan skak mat: "Pacarmu mana?"
Bagi yang punya tentu tidak masalah. Bagaimana dengan yang #SetiaMenjomblo? Risih bukan? Karena kekepoan banyak orang---terutama keluarga inti---itulah yang membuat orang-orang di RRT punya kebutuhan: perusahaan jasa yang menyediakan 'pacar sewaan'. Gayung bersambut. Ada perusahaan yang menyewakan kebutuhan itu. Bukan hanya untuk 'dipamerkan' di rumah, perusahaan yang menyewakan pacar itu juga ada di mal. Tujuannya, menemani 'pacarnya' belanja.
Mal Vitality City di Heyuan, Guangdong, China menyediakan 15 wanita cantik yang bisa disewa sebagai 'pacar' untuk menemani belanja. Mereka mengikuti 'pacarnya' ke mana pun, memilihkan barang belanjaan, bahkan membawakannya. Untuk wanita yang butuh 'pacar' pria juga ada. Friendship Commercial Plaza, Hainan, China, menyediakan cowok-cowok ganteng untuk menemani wanita kesepian yang sedang belanja.Â
Bonusnya, mereka disertai fotografer untuk mengabadikan 'kedekatan' pasangan itu selama mereka berada di mal atau plaza. Pantangannya hanya satu: tidak boleh saling menyentuh.
Mengapa orang sampai senekad itu untuk menyewa pacar KW? Bukankah uangnya jauh lebih bermanfaat untuk ditabung dan mengejar pacar asli? Sahabat saya Wepe, mengomentari orang-orang yang kepo dengan tulisan ini:
Engga Menikah Ditanyain Kapan Menikahnya, Menikah Lagi Eh Ditanyain Juga
Ya, ini tentang ia yang tak usah disebutkan namanya lagi. Beritanya tentangnya memang selalu mengandung dan mengundang pro dan kontra. Tidakkah kita bisa ikut bergembira saja, walau tak sepenuhnya tahu alasan di balik keputusannya?
Pernikahan memang ranah personal seseorang. Namun entah mengapa di negara ini, pernikahan bisa menjadi urusan nasional. Yang belum menikah ditanya dan bahkan dicurigai oritentasi seksualnya, seperti misalnya pertanyaan mengapa si mbak cantik dan cerdas yang memandu debat kemarin itu belum menikah.
Yang mau menikah lagi juga dibombardir pertanyaan: mengapa menikah lagi? Mengapa dengan si itu dan bukan di anu? Mengapa tak rujuk lagi saja?
Ujung-ujung dari ke-kepo-an ini adalah klaim kedekatan relasi, misalnya: dari sumber yang saya tahu begini ceritanya. Kecepatan mem-forward berita: ini yang terbaru! Tambah banyak baca, tambah bingung. Debat tak perlu pun terjadi di media sosial.
Mengapa sih kita tak mengikuti saja prinsip sederhana ini: bergembira bersama orang yang bergembira, dan menangis bersama orang yang menangis.
Tak perlu tahu detil cerita untuk bersimpati atau menaruh empati, bukan?
Tidak ada kata lain selain 'sangat setuju' dengan pendapat Wepe di atas sehingga saya mengangkat kedua jempol tangan. Jika perlu dua jempol kaki juga.
Kapan Giliranmu?
Sebenarnya ada cara yang lebih jitu untuk menghindarkan diri dari kenyinyiran seperti itu. Seorang pemuda jomblo, jengkel sekali dengan seorang tantenya.Â
Soalnya setiap kali dia menghadiri pernikahan anggota keluarga, tantenya itu selalu mendatanginya, menepuk punggungnya dan dengan gaya demonstratif serta suara dibesarkan bertanya, "Kapan giliranmu?"
Pertanyaan yang seharusnya netral ini terdengar seperti petir yang membuat telinga terpental. Sejak itu dia jadi malas untuk datang ke hajatan pernikahan.Â
Suatu kali tiba-tiba dia mendapatkan ide cemerlang. Saat ada anggota keluarga yang meninggal dunia, dengan langkah besar-besar dia mendatangi tantenya. Alih-alih dengan suara keras, dia cukup menepuk lembut punggung tantenya sambil berbisik, "Kapan giliran Tante?" Ucapan netral tapi kurang ajar ini membuat tantenya tidak lagi menggodanya.
Benarkah Ahok Akan Menikahi Puput? Kapan? Di Mana? Kok Bisa Sih? Apakah Keluarganya Setuju?
Itulah sederet pertanyaan kepo yang sampai saya menulis tulisan pendek ini masih berseliweran ke media sosial. Dunia jurnalistik mengenal istrilah cek dan recek. Mengapa tidak bertanya langsung kepada BTP? Atau Puput? Atau keluarganya?
Inilah jawab keluarga Puput yang saya ambil dari JawaPos.com: "Puput sudah dewasa. Dia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Termasuk untuk mengurusi rencana pernikahannya (dengan Pak Ahok). Semuanya Puput sendiri yang mengurusi. Sebagai orang tua, kami hanya bisa memberikan yang terbaik," ungkap Teguh saat ditemui di kediamannya di RT 01 RW 09 Kelurahan Pasir Gunung Selatan, Kecamatan Cimanggis, Depok, Senin (29/1).
Nah, jika ortunya sendiri membiarkan Puput memilih jalannya sendiri, mengapa kita yang bukan siapa-siapa dan bukan apa-apanya Ahok maupun Puput ikut sahut menyahut? Bukankah jauh lebih baik agar kita mendoakan yang terbaik saja?
Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H