Mohon tunggu...
XAVIER QUENTIN PRANATA
XAVIER QUENTIN PRANATA Mohon Tunggu... Dosen - Pelukis kehidupan di kanvas jiwa

Penulis, Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Operasi Plastik

3 Oktober 2018   16:41 Diperbarui: 3 Oktober 2018   18:59 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah berjam-jam 'cuci muka' di salon sahabat saya dan mengalami 'penganiayaan'---pemerkosaan wajah agar jerawat yang tersembunyi bisa erupsi dini---saya pulang ke rumah. "Lho, wajahmu kenapa?" tanya orang yang saya kasihi.

"Saya baru cuci muka," ujar saya sambil melirik wajah saya sendiri di cermin. Wajah saya tampak memerah dan dengan pipi lebih tebal dari biasanya.

"Pantas bengkak semua."

Sejak hari itu sampai sekarang, saya tidak pernah cuci muka lagi. Bukannya hasilnya tidak bagus, malah bagus, namun saya memilih untuk membiarkan wajah saya apa adanya daripada ada apanya. Ada apanya? Ya!

Agar wajah seseorang tampak lebih muda dari usia yang sebenarnya dan lebih cantik ketimbang aslinya, banyak orang yang bersedia 'dianiaya'. Entah dikurangi, atau ditambahi. Misalnya saja dengan silikon. Banyak sahabat saya yang melakukannya, terutama kaum hawa. Tujuannya sih baik agar tampil lebih menarik. Ada pula yang transaksional agar lebih dikasihi suami. Ini dari sudut pandang positif. Kalau yang negatif agar suami tidak direbut atau menempatkan diri agar direbut wanita lain. Mengapa saya bilang negatif, karena selingkuh atau tidak berpulang kepada masing-masing individu apakah gampang berpaling atau merasa jadi korban karena istri tidak lagi mampu bersaing.

Saya katakan tidak fair karena bagaimana kalau posisinya di balik? Istri selingkuh karena tubuh sang suami yang dulu six pack sekarang one sack of cement? Yang dulu rata kayak Jojo saat melakukan selebrasi kemenangan dan kini berubah menjadi one big baloon.  TV makin flat, perut makin cembung, karena lebih memilih untuk ngemil sambil nonton ketimbang ngegym dan lari marathon.

Oplas untuk rekonstruksi wajah karena kecelakaan---atau dicelakakan orang---biasanya menuai simpati dan support dari banyak orang.  Lisa yang menjalani face off karena disiram air keras mendapat dukungan dari masyarakat luas terutama tim dokter dan rumah sakit yang merawatnya. Sebaliknya, orang  yang anti oplas merasa bahwa orang yang melakukannya dianggap tidak mengucap syukur atas karunia Tuhan.

Bertepatan dengan ngehits-nya frasa oplas, saya mendapatkan kiriman video pendek yang menarik. Tampak seorang suami sedang memeluk mesra istrinya di ranjang mereka. Terjadilah percakapan yang kira-kira begini.

"Yang, saya heran wajahmu cantik, tubuhmu mulus, kok kamu mau menikah denganku?" tanya suaminya dengan pandangan penuh cinta.

"Itu karena kamu pernah memberi uang kepada pengemis tua," ujar istrinya.

"Apakah kamu anaknya?"

"Bukan," sahut istrinya. "Begini ceritanya. Setelah mendapatkan uang darimu, pengemis tua itu membeli lotere. Ternyata mendapatkan hadiah utama. Uang itulah yang dia pakai untuk pergi ke Korea dan operasi ganti kelamin sekaligus rekonstruksi total tubuh dan wajah, sehingga pengemis itu berubah menjadi perempuan muda yang cantik. Sebagai balas budi, perempuan itu menikahi kamu."

Video ditutup dengan reaksi sang suami yang shock berat.

Bicara soal plastik, pernah ramai di media sosial beredarnya beras palsu yang katanya terbuat dari plastik. Artinya, beras itu palsu. Rupanya saat ini apa saja yang palsu bisa menjadi komoditas yang laris manis. Berita hoax sama atau bahkan melebihi keramaian berita asli yang diterbitkan media mainstream.

Sejak Palu dan Donggala digoncang gempa dan diterjang tsunami belum lama ini, berita palsu pun berseliweran. Begitu masifnya hoax bertebaran sehingga kita harus ekstra hati-hati di dalam membaca, apalagi menyebarkannya. Seperti yang pernah saya tulis di media massa online mainstream, "Hoax dibuat oleh orang yang cerdas tapi berhati culas dan disebarkan oleh orang baik tapi terlalu naif (untuk tidak mengatakan bodoh)."

Apa penyebar berita bohong tidak ada hukumannya? Saya percaya, hukuman baik di bumi maupun nanti di akhirat tetap ada. Di salah satu kisah Aesop, ada bocah gembala yang nakal. Suatu sore dia berteriak keras-keras, "Serigala! Serigala!"

Orang-orang desa langsung datang dan hendak menolong dia. Namun, mereka tidak menemukan serigala satu pun. Mereka hanya melihat bocah gembala yang tertawa terbahak-bahak karena tipuannya mengena.

Keesokan harinya, bocah mbeling itu berteriak kencang, "Serigala! Serigala!"

Seperti kemarin, orang-orang kampung berdatangan hendak menolongnya. Namun, yang mereka dapati justru bocah nakal yang terawa terpingkal-pingkal.

Pada hari yang ketiga, saat bocah itu hendak pulang ke rumah, tiba-tiba saja ada serigala yang menyerang. Segera dia berteriak lantang, "Serigala! Serigala!"

Kali ini tidak seorang pun penduduk kampung yang muncul. Mereka tidak mau ditipu untuk ketiga kalinya. Bagaimana nasib bocah itu? Tebak saja apa yang menimpanya.

Penyebar berita bohong cepat atau lambat akan termakan oleh kebohongannya sendiri. Kalau sudah begitu siapa yang mau menolong meskipun dia melolong? Atlet yang memenangkan pertandingan karena doping jika akhirnya ketahuan akan dicopot gelarnya. Demikian juga peserta pemilu yang memakai berita bohong untuk memboyong kemenangan, tidak bisa terus-menerus memakai senjata bodong. Rakyat yang berulangkali dibohongi pasti punya filter yang semakin tebal. Siapa saja yang terus menerus menyebarkan berita bohong pada saat pemilu nanti pasti masuk tong!

  • Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun