Ketika anaknya pulang dalam kondisi lebam bekas pukulan, tanpa cross check mereka langsung melabrak ke sekolahan bahkan menghajar anak yang memukul anaknya.
"Sudah, Pak. Anak itu bisa mati," ujar seorang guru menyadarkannya.
Mereka menceritakan kebodohan mereka dulu. Seharusnya, kita tanya dulu apa yang terjadi pada anak kita sebelum melakukan balas dendam.
Anak-anak itu gampang mengampuni. Saat ortunya masih mendendam, anak-anak yang tadinya berkelahi sudah saling rangkul dan makan es bersama.
Mengapa hajatan lima tahun sekali ini merusak persahabatan yang sudah terjalin puluhan tahun? Mengapa kerukunan tetangga terusik gara beda pilihan?
3. Tidak Senaif yang Orang Dewasa Bayangkan
Seorang anak tampak menundukkan kepala dan komat-kamit sebelum bertanding. Seorang temannya yang melihatnya khusus berdoa berbisik, "Kamu berdoa supaya menang ya?"
"Oh tidak," jawab yang ditanya, "Saya berdoa agar kalau kalah tidak menangis."
Begitu wise, bukan? Mengapa kita orang dewasa kehilangan kesadaran itu? Saat para kontestan dipertemukan, mereka berjanji untuk saling menghormati keputusan apa pun yang rakyat pilih. Menang kalah oke oce. Namun, mengapa saat kalah ternyata tidak terima dan menunduh lawannya curang? Dari oke oce menjadi okeh ngoceh!
Saatnya bagi kita untuk belajar dari kepolosan dan ketulusan anak-anak. Mereka, kata Sang Guru Agung, adalah empunya Kerajaan Surga. Setuju?
* Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.