Mohon tunggu...
Fityah Xahnny
Fityah Xahnny Mohon Tunggu... Jurnalis - Melalui tulisan

'99.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Nyeritain Cirebon (Sekalian Curhat)

22 Mei 2018   12:06 Diperbarui: 23 Juni 2019   21:24 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Toktoktok) "Buruan, udah ditungguin, mau berangkat ini" kalimat terburu-buru pada pukul 04.00 WIB, untuk membuat orang yang berada di toilet menyegerakan aktivitas membersihkan dirinya. Sibuk mondar-mandir dalam kepanikan antara kamar -- toilet -- kamar. Melihat kamar penuh dengan ransel besar, penanda masih ada nyawa yang akan masuk ke sana, melihat toilet dengan pintu yang tertutup dan suara air mengalir, penanda masih ada nyawa di dalamnya. Merepotkan diri membawa dua ransel besar, menjajaki tangga demi tangga dari lantai atas untuk menandai bahwa sudah ada satu orang yang siap berangkat, karena mobil yang akan menuju Stasiun Gambir telah berada di depan rumah, menanti tiga orang untuk segera masuk ke dalamnya. Meninggalkan rumah kost yang penghuninya akan jarang bersua satu sama lain selama empat hari.

Belum sampai ke tujuan, suasana hati sudah tidak baik akibat drama pagi ini. Di mobil hitam milik teman yang bersedia memberikan tumpangan, hanya diam menjiwai rasa bersalah karena telah membuat dia menunggu. "kok lu diem aja, biasanya banyak ngomong" kata seorang teman yang lain, dijawab dengan riang untuk menutupi badmood yang menyelimuti.

Telah berkumpul orang-orang memakai seragam hitam di stasiun yang commuter line tidak dapat berhenti. Memenuhi ruang tunggu besar bagian tengah berwarna hijau. Terlihat berbagai macam ekspresi untuk mengawali perjalanan kali ini, ngantuk, bosan, lesu, dan senang. Wajah itu mungkin menunjukkan mana yang biasa bangun pagi dan tidur pagi. Beberapa diantaranya menuju masjid kecil untuk sembahyang pagi, subuh. Dan lainnya memenuhi tempat makan bergambar seorang kakek dengan menu utama nasi ayam goreng untuk sarapan, membeli kopi agar mata lebih terbuka dan segar, membuka bekal roti yang dibawanya dari rumah, dan ada pula yang menahan lapar karena puasa sunah dihari kamis. Terlihat juga mereka yang baru datang, merapat dengan teman sekelasnya di stasiun yang melayani perjalanan jarak jauh ini. Ketika dirasa lengkap baik perlengkapan dan manusianya, semua mulai mempersiapkan tiket dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk ditunjukkan kepada petugas, sehingga dapat memasuki kereta api satu per satu.

***

Cirebon, itulah tujuan kali ini, salah satu kota di Provinsi Jawa Barat yang pertama kali dijadikan pilihan tempat wisata selama 18 tahun hidup. Bukan dengan sengaja memilihnya, namun itulah yang kampus berikan untuk hunting photography mahasiswanya.

Tiba di Stasiun Cirebon, cerita dimulai

***

Bus yang kurang nyaman akibat air conditioner tidak dingin rupanya menguji kesabaran. Tapi itu tidak penting untuk diceritakan --- memasuki Taman Budaya Hati Tersuci di Jl. Dukuh Semar No. 34 memiliki reaksi yang aneh, "Di mana tamannya?" hanya terlihat gereja di sana, setelah berjalan lurus sebentar, baru terlihat taman yang dimaksud, terletak di belakang gereja yang luas. Posisi terdepan dari taman ini adalah patung Malaikat Mikael berwarna perak yang indah.

Mengamati teman-teman seangkatan dengan "alat perang"nya masing-masing cukup mengesankan, berbeda-beda dalam memainkan alat mahal itu atau bahkan sekedar dibawa agar tidak ditanya dosen. Mereka yang piawai akan mengatur kamera pasti sibuk mencari sudut gambar yang apik, ada yang sibuk mengatur kamera dalam waktu lama dan tak kunjung mengabadikan gambar, sering bertanya kepada dosen disetiap gambar yang diambilnya, berteriak untuk mengusir temannya karena tertangkap oleh lensa kamera, pesimis dalam membidik gambar, mengganggu teman yang sedang serius, mengeluhkan sinar matahari yang begitu terik, dan hanya mengikuti teman tanpa memotret sama sekali.

Selanjutnya Keraton Kasepuhan, namun salat terlebih dahulu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Jl. Jagasatu, Kesepuhan, Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Masjid ini didominasi warna merah dan cokelat. Arsitektur yang khas membuatnya menarik. Banyak yang meminta uang di pintu masuk masjid. Keratonnya sendiri terletak di seberang kiri masjid. Tiket yang murah membuat kalangan manapun dapat mengunjunginya. Tempat yang luas menjadikan mata lebih sering menatap jauh.

Melihat teman-teman mendatangi setiap sudut keraton untuk mendapatkan foto dengan angle berbeda dari yang lain. Variasi cara memotret lebih beragam, dari yang biasa adalah berdiri, berdiri sedikit nunduk, bertumpu dengan tiang, dengan bahu orang lain, dengan lutut, duduk, telentang di lantai, hingga telungkup di rerumputan. Di sini lebih banyak yang mengeluhkan panas, karena memang begitu adanya. Setelah selesai di tempat terbuka yang mendapat sinar matahari langsung, mereka menuju pendopo untuk mendinginkan diri. Penjual minuman botol dingin pun laris dibeli.

Keraton merupakan tempat sakral, sehingga cara berpakaian setiap tamunya turut diperhatikan, tidak ada yang menggunakan celana pendek dan sandal jepit di sana. Himbauan ini sudah disampaikan sebelum keberangkatan ke Cirebon, menandakan betapa pentingnya hal tersebut.

Desa Sitiwinangun di Kecamatan Jamblang menjadi pemberhentian selanjutnya, dikenal dengan nama desa gerabah karena mayoritas pekerjaan penduduknya adalah pengrajin gerabah. Disambut oleh pejabat setempat sebelum mengelilingi desa. Diceritakan sejarah wilayahnya dan ucapan terima kasih telah datang berkunjung, disediakan pula berbagai macam buah-buahan.

Setiap objek selalu terlihat penuh ketika hanya dikelilingi beberapa orang saja. Sedikit sempit namun banyak pilihan gerabah tidak membuat bingung, karena tersebar diseluruh tempat. Mendapatkan "oleh-oleh" yang tidak akan terlupakan di tempat ini, hari pertama di tujuan terakhir sebelum ke hotel, sore hari yang cerah namun badan mulai lelah, kamera jatuh membentur tanah, hati sedih mencoba tabah.

***

Khas Cirebon lainnya adalah batik, akan banyak menemukannya di Pusat Batik Trusmi. Melewati gapura batik trusmi di perempatan Plered akan mulai terlihat jajaran toko dan rumah yang memproduksi batik.

Memori yang kosong setelah memindahkan foto kemarin ke laptop dan baterai kamera yang sudah kembali penuh, mengartikan seluruhnya telah siap memulai hari. Teman-teman yang sedari tadi disebutkan dalam cerita ini telah berganti pakaian, tak diubahnya masker yang menutupi hidung hingga dagu dan memakai topi. Banyaknya rumah dan belokan mengharuskan ingat akan tanda yang telah dibuat, bahwa tanda silang tidak ada pengrajin di dalamnya, dan tanda bintang terdapat pengrajin yang siap dipotret.

Mereka terbagi dalam dua kelompok, untuk memasuki ruangan besar dengan banyak pembatik perempuan. Kelompok lainnya, mengelilingi kampung dan memotret hal yang sama.

***

Jalan kaki menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Bondet di Desa Mertasinga, Kecamatan Gunungjati adalah jalan terjauh yang dilalui, diiringi topik pembicaraan tanpa arah setelah mendapat harapan palsu bisa tidur dalam waktu lama di bus. Dari yang sudah memejamkan mata ketika baru duduk, mencoba menatap kosong ke luar jendela agar mengantuk, masih sibuk memilih lagu yang akan diputar di bus karena belum ingin tidur, mengobrol dengan teman dan membahas dirinya yang tidak bisa terlelap, dan bermain handphone, mereka bersahutan tak berurutan ketika kendaraan besar itu berhenti, "loh kok udah nyampe, katanya jauh".

Hanya ada satu kapal yang bersandar ketika tiba di TPI Bondet, terbilang sepi dari bayangan teman-teman yang akan melihat aktivitas nelayan dengan latar belakang kapal berjejer. Menyusuri TPI untuk tetap mengambil foto, naik ke kapal salah satunya. Hijau yang mendominasi warna kapal berubah menjadi biru tua, warna dari baju orang-orang yang menaikinya. Lainnya merapat menuju dermaga kecil, terdapat anak-anak dan orang dewasa yang memancing, sesekali berpindah tempat karena kurang nyaman diikuti banyak kamera. Dari sana juga terlihat jelas hamparan air yang indah, membuat beberapa teman ingin diambil gambar dirinya dengan background yang luas itu dan biasanya ..... ehem dijadikan foto profil.

***

Memperoleh tantangan untuk menangkap setiap gerak dari Tari Topeng, ini dirasakan oleh semua yang melakukannya. Minim cahaya lampu yang ditangkap kamera menjadikan perlunya pengaturan ulang ISO, Shutter Speed, dan Diafragma. Lampu obor yang disediakan kurang sebanding dengan jumlah kamera yang ada, ditambah pemotretan dilakukan pada malam hari, karena memang pentas tari ini diadakan saat malam datang. Saling berdekatan antar teman agar mendapat foto penari dalam jarak dekat, saling mengerti untuk mengalah jika disuruh bungkuk agar teman di belakang dapat mengambil gambar tanpa halangan.

Menjelajahi Cirebon dan mengabadikannya dalam foto, bersama mereka yang tiga tahun akan bisa ditemui di kampus. Tidak dapat digantikan oleh apapun, tiga hingga enam Mei 2018 - "pasukan biru" -- Cirebon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun