Diantara hiruk-pikuk masalah politik, hukum dan ekonomi negeri ini, semoga saja kita tetap peduli dan tidak melupakan perhatian terhadap pelestarian lingkungan, bagaimana menjalankan perilaku dan gaya hidup yang ramah lingkungan (environment friendly) dan konsisten. Konservasi fauna sebagai salah satu sumber daya hayati (biological diversity) bisa kita angkat sebagai salah satu tema lingkungan.
Pada tanggal 22 Januari 2011 tepat setahun peringatan deklarasi hari konservasi alam nasional, saat tahun lalu Wapres Boediono melepas-liarkan secara simbolis salah satu spesies yang terancam punah (endangered species), harimau sumatera (panthera tigris sumaterae). Ulasan mengenai momentum itu bisa dilihat disini. Mestinya segenap pemangku jabatan khususnya aparatur kehutanan dan penegak hukum, masyarakat, aktivis dan pengamat lingkungan bisa bersiap menikmati peringatan ini dengan tersenyum nyaman dan lapang dada, namun tahun ini ditandai dengan banyak kasus yang membuat geram karena nyatanya para penjahat dan bandit masih terus memburu spesies reptil bertempurung yang tidak mampu berlari ini.
Tidak tanggung-tanggung, perburuan penyu ini diketahui dalam selang waktu yang berdekatan sejak akhir tahun 2010 hingga pertengahan bulan di tahun 2011 ini. Tanggal 26 Desember 2010 perburuan penyu diungkap oleh Reskrim dan Satuan Narkoba Polres Mimika. Ada 10.914 ekor penyu moncong babi (carettochelys insculpta) atau labi-labi dalam 84 baskom dirumah milik Yenat Worang (disini). Mimika rupanya locus yang "nyaman" bagi para bandit karena tarcatat pernah terjadi juga di tahun 2008 (disini) dan tahun 2009 (disini). Selanjutnya, di Denpasar-Bali terungkap penyitaan 38 penyu hijau (chelonia mydas) oleh Polda Bali bersama BKSDA tanggal 10 Januari 2011 (disini). Kemudian tanggal 17 Januari 2011, ada 737 ekor penyu moncong babi disita BKSDA Papua bersama petugas AURI di Bandara Merauke, Papua (disini). Luar biasa, upaya gigih (baca : kebiadaban) para bandit/sindikat menjerat satwa langka memang tidak kenal lelah, dan tidak jarang "bermain mata" dengan aparat, tentunya dengan imbalan terselubung (red tape) .
Merujuk pada lampiran Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, ada 11 spesies penyu yang merupakan satwa dilindungi. Ini berarti perburuan dan perdagangan spesies tersebut adalah terlarang, kecuali merupakan hasil penangkaran keturunan kedua dan seterusnya (F2) sesuai Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, serta telah ditetapkan statusnya berdasarkan kajian LIPI sebagai scientific authority dan Ditjen PHPA sebagai management authority. 11 spesies tersebut adalah penyu tempayan (carettu caretta), kura-kura Irian (carettochelys insculpta) atau moncong babi, kura-kura Irian leher panjang (chelodina novaeguineae), penyu hijau (chelonia mydas), labi-labi besar (chitra indica), penyu belimbing (dermochelys coriacea), kura-kura Irian leher pendek (elseya novaeguineae), penyu sisik (eretmochelys imbricata), penyu ridel (lepidochelys olivacea), penyu pipih (natator depressa), dan kura-kura gading (orlitia borneensis).
Sekalipun secara normatif perburuan dan perdagangan penyu dilarang, namun toh secara empiris kita bisa menyaksikan penyu-penyu tersebut dijual di tengah masyarakat, baik dalam bentuk cindera mata, sajian makanan, maupun dalam keadaan hidup. Tentunya "disparitas" ini terjadi bukan tanpa sebab. Bisa masyarakatnya yang ndableg, tidak faham karena minim sosialisasi atau kampanye publik, pengawasan dan penindakan aparatur yang "byar-pet" karena berbagai alasan baik masuk akal maupun tidak, atau malah aparatur yang kurang faham dengan pemidanaan terhadap kejahatan lingkungan sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) dan sarat dengan anasir common law.
Kompasianer yang tinggal di Bali tentunya mahfum dengan semaraknya perburuan penyu, baik berupa sajian menu daging berbentuk sate maupun souvenir. Data yang saya ambil dari hasil riset Konservasi Satwa Bagi Kehidupan (KSBK) beberapa waktu lampau mengungkapkan, perdagangan daging, telur dan masakan daging penyu hijau terjadi secara bebas. Mulai restoran besar hinga pedagang kecil. Beberapa lokasi restoran yang dikenal menjual daging penyu ada di Denpasar Barat, Denpasar Selatan, dan sedikit Denpasar Timur. Sedangkan untuk souvenir, terutama dibuat dari karapas dalam bentuk korek api, gelang, jepit rambut, garpu, sendok, cincin, tempat perhiasan, gantungan kunci, dan lain-lain.
Rujukan lain menyebutkan, Tanjung Benoa, wilayah selatan Denpasar yang berdekatan dengan kawasan Nusa Dua atau Kuta, adalah lokasi yang menjadi penampungan atau "produksi". Alih-alih untuk upacara keagamaan atau adat, aksi ini bisa tetap berlangsung. WWF Indonesia pernah mencatat, sekitar 27 ribu ekor penyu per tahun musnah diburu dan dikuliti di Bali, padahal Pemerintah Propinsi Bali dengan Keputusan No. 22/1999 membatasi perburuan penyu "hanya" 5 ribu ekor per tahun. Bahkan restriksi penyu yang boleh diburu adalah yang minimal berukuaran 80 cm CCL (curvae carapace length/panjang lengkung karapas) melalui Keputusan Gubernur Bali No. 672/1996, dilanggar.
Adanya persepsi umum perihal kebutuhan daging penyu di Bali untuk kegiatan keagamaan pun ternyata dipahami misleading atau salah kaprah. Seorang pemuka agama di Denpasar, Ida Pedande Gede Putra Bajing dan Ida Pedande Kaleran, mengatakan dalam kitab Wedha tidak ada perintah tentang penggunaan daging penyu untuk upacara agama Hindu. Kalaupun ada, hanya untuk upacara Taur Agung selama Nyepi, setahun sekali. (Media Indonesia, 19 Maret 2000).
Lain di Bali, lain pula di Sukabumi. Melalui Perda No. 16 Tahun 2005 tentang Pelestarian Penyu di Kabupaten Sukabumi, pemerintah setempat pernah "merestui" pengambilan telur penyu, setelah Perda No 2 Tahun 2001 tentang Pajak Sarang Burung Walet, Telur Penyu dan Rumput Laut, diterbitkan.
Indonesia sebagai negara mega biodiversity di dunia adalah juga wilayah migrasi (migration) dan perteluran (nesting) penyu. Kepulauan Derawan di Kabupaten Berau, khususnya Pulau Sangalaki dan Sammana, menjadi lokasi perteluran penyu hijau. Sedangkan Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, merupakan lokasi pantai perteluran bagi 4 spesies penyu, yaitu penyu hijau, penyu sisik, penyu lekang dan penyu belimbing. Nah, ini masih sebagian kecil kekayaan hayati negeri ini. Mereka yang masih gemar mengonsumsi dan mengoleksi cinderamata penyu, cobalah berpikir-ulang, apakah masih bangga dan ingin melihat Indonesia sebagai negeri eksotis dengan status mega biodiversity. Kalau ya, ubah lah perilaku dan gaya hidup yang menghancurkan kekayaan hayati. Sebaliknya, tinggal lah menunggu "sapaan" bahasa alam.
Catatan : foto adalah ilustrasi, diambil dari myspace.com
“Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H