Mohon tunggu...
Wyndra
Wyndra Mohon Tunggu... Konsultan - Laki-laki

Profesional, penikmat film Warkop DKI & X-File.\r\nHORMATILAH KARYA TULIS MILIK ORANG. Tidak ada FB dan Twitter

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengangkat Artis Syahwat Sejagat, Menggesek Kocek Khalayak

13 Oktober 2010   21:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film adalah karya budaya. Ini bukan klaim sepihak insan perfilman dan pengamat budaya semata, melainkan penegasan formal dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Dengan klaim itu, sebagian insan perfilman, aktris dan aktor, menggugat sensor atas film yang dimiliki Lembaga Sensor Film, alih-alih memasung kebebasan berekspresi (freedom of expression), mengukuhkan dominasi kekuasaan negara, atau melemahkan kemandirian dan daya kritis masyarakat dan komunitas terhadap film (baca disini dan disini). Kewenangan sensor mereka gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), walau pada akhirnya ditolak karena MK menilai kebebasan berekspresi tidak berarti tanpa kendali, sehingga sensor dianggap masih relevan, dan berlaku conditionally constitutional (baca disini dan disini).

Adalah film dagelan dan pernah menjadi kontroversi masyarakat ketika Maxima Pictures dan produser Ody Mulya Hidayat memunculkan artis esek-esek Miyabi dalam film berjudul "Menculik Miyabi". Tidak sampai disitu, film tadi juga didaftarkan Maxima Pictures sebagai peserta sebagai peserta Festival Film Indonesia (FFI) 2010 (Warta Kota, 2 Oktober 2010). Kontroversi peran Miyabi tersebut tidak menyurutkan ide produser film layar lebar lain untuk mengekor bak itik berjalan. Bahkan kontroversi berbau nir etika itu seolah membangkitkan adrenalin, memberikan rasa kepuasan serta kebanggaan tersendiri.  Halaman Utama Warta Kota, tanggal 13 Oktober 2010 hari ini, mengonfirmasi kontroversi itu, setelah tanggal 9 Oktober lalu mengulas peran dan cerita artis Angel Lelga dalam film produksi K2Production dengan produser KK Dheeraj berjudul "Rintihan Kuntilanak Perawan" bersama artis esek-esek Amerika Serikat, Tera Patrick. Ya, layar lebar nasional bakal diramaikan kembali dengan peran artis penikmat syahwat, kali ini Tera Patrick. Siapa Tera Patrick, Kompasianer bisa melihat ulasan singkatnya disini.

Apa yang bisa saya cermati dari kedua fenomena diatas adalah adanya "kemiskinan" kreatifitas, rendahnya respek terhadap khalayak (baca : penonton), praktek bisnis instan mengeruk keuntungan serta potensi buruk timbunya imitasi dalam merintis ketenaran bagi penonton generasi "abg". Coba saja jujur, apa sih alasan sebenarnya kedua produser itu memilih bintang esek-esek sejagat dalam filmnya, padahal Indonesia memiliki penduduk 237 juta orang? Bayangkan  efek psikologisnya bagi penonton di kota/kabupaten yang memiliki etika dan tradisi kuat, semua bisa terkoyak dengan "pengakuan"  peran kedua artis itu dalam industri film layar lebar nasional, yang sudah menjadi ruang publik.

Mengangkat para artis syahwat sejagat dalam film layar lebar nasional nampaknya sudah terpola. Memang bukan suatu pelanggaran, yang terjadi adalah akal-akalan produsernya. Melakukan tangkal terhadap para artis tersebut adalah tidak berdasar, sesuai prinsip "selective policy" yang dianut Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 1994 tentang Tatacara Pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan, yang menegaskan, hanya orang-orang asing yang membahayakan keamanan dan ketertiban serta  bermusuhan terhadap rakyat dan Negara lah yang dapat dilakukan tangkal.

Demikian halnya, UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman "cukup" membatasinya dengan Pasal 6 dan 7, antara lain berisi larangan mendorong dilakukannya kekerasan, narkotika, menonjolkan pornografi, dan pertentangan antar-golongan. Inilah ukuran dilakukannya sensor oleh LSF (Pasal 60). Atau "sekedar" penegasan kewajiban insan perfilman, untuk menjunjung tinggi nilai agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya bangsa (Pasal 48). Larangan yang secara tegas dan konkrit dilakukan terhadap film impor yang bertentangan dengan agama, etika, moral, kesusilaan dan budaya (Pasal 41).

Inilah salah satu dampak "konyol" dari "mazhab" kebebasan berekspresi. Menyensor  sendiri (self-censorship) faktanya kerap diabaikan produser/sutradara, disensor lembaga resmi dituding otoriter a la Orde Baru. Mengutip ucapan Michael Douglas dalam film "Wall Street : Money Never Sleeps" : "It is legal, though it is unethical". Dampak selanjutnya adalah moral hazard yang merugikan masyarakat luas.

Catatan : Foto diatas adalah ilustrasi, diambil dari : http://entertainment.kompas.com/read/2010/10/07/16481570/Tera.Patrick.Cuma.Mau.Main.dengan.Suami.atau.Sesama.Perempuan

"Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun