Mohon tunggu...
Wyndra
Wyndra Mohon Tunggu... Konsultan - Laki-laki

Profesional, penikmat film Warkop DKI & X-File.\r\nHORMATILAH KARYA TULIS MILIK ORANG. Tidak ada FB dan Twitter

Selanjutnya

Tutup

Money

Menggerus Pundi (Penumpang) dari Dominasi Transportasi di Ahmad Yani

7 Agustus 2010   07:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:14 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini tidak berhubungan dengan centang-prenang manajemen transportasi ibukota yang lagi-lagi mengemuka. Transportasi yang saya maksudkan disini adalah jasa transportasi penumpang di bandara Ahmad Yani, Semarang. Sama sekali bukan ingin menebar "provokasi" dari permasalahan transportasi yang dialami bandara lain dan pernah "diselesaikan" Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Ihwal peristiwa itu terjadi saat saya melakukan perjalanan dinas pertengahan Juli lalu ke Semarang dan kebetulan menggunakan jasa angkutan pesawat udara. Apa pasal? Penyediaan jasa transportasi penumpang (baca : konsumen) bandara membuat saya terperangah, bukan karena  terobosan modernisasi atau manajemen yang memanjakan penumpang. Justru sebaliknya,  cukup  irasional dan menjengkelkan. Ya penyediaannya, ya tarif nya. "Geregetan", begitu bila merujuk lirik lagu Sherina yang "dibundling" salah satu operator selular. Bukan cuma tanpa pilihan, tarif nya pun melesat hingga langitan dan terkesan diluar kewajaran.

Turun dari pesawat,  hanya ada 1 operator penyedia jasa angkutan penumpang. Seperti taksi, bercat putih. Apa boleh buat, operator itu menjadi penyedia tunggal layanan angkutan penumpang bandara sehingga praktis konsumen tidak punya pilihan lain. Sudah begitu, dalam antrian ke-3, saya terhenyak mendengar tarif sang penjual tiket. Ya, tanpa argo, tarif ditentukan "ketok palu" berdasarkan zona wilayah. Untuk tujuan Jl. Indraprasta, yang saya taksir berjarak kurang dari 5 km dari bandara, saya diminta merogoh kocek Rp 35 ribu. Dengan tingkat kepadatan lalu lintas dan jarak sepanjang itu di kota Semarang jelas irasional bagi saya.

Sebagai konsumen tentunya kita berhak mendapat pelayanan yang layak dan rasional, dan untuk itu diperlukan persaingan yang sehat antar-pelaku usaha agar tercipta harga yang efisien. Demikian kira-kira kaidah dan relevansi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. "

"Nasib" saya diatas mengingatkan pada 2 putusan KPPU atas penerapan hukum persaingan dalam penyediaan jasa angkutan penumpang di bandara. Kompasianer bisa membaca dan memeriksanya lebih jauh (disini) dan (disini). Apabila ditelisik, kedua putusan tersebut menyangkut pasar produk (product market) yang sama, yaitu jasa pelayanan angkutan taksi/penumpang bandara. Sedangkan pasar geografis (geographical market) masing-masing ada dalam wilayah hukum PT. Angkasa Pura I (Persero) cabang Bandara Internasional Sultan Hasanudin, Makasar, dan wilayah hukum PT. Angkasa Pura I (Persero) cabang Bandara Juanda, Surabaya. Keduanya juga menyangkut tuduhan pelanggaran pasal yang mirip, yaitu Pasal 17 dan Pasal 19 UU No. 1999.

Sedikit mempersingkat, dari 2 tuduhan pelanggaran pasal tersebut, akan diuraikan Pasal 19 saja  dibawah ini :

Pasal 19 :

"Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau

c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau

d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu."

Lantas, bagaimana hasil pemeriksaan KPPU atas tuduhan pelanggaran kedua Pasal tersebut terhadap (antara lain) pengelola bandara BUMN tersebut? Berikut adalah ringkasan beberapa butir pada masing-masing putusan.

Putusan No. 18/KPPU-I/2009.

PT. Angkasa Pura I (Persero) cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin adalah Terlapor tunggal. Koperasi Taksi Bandara (Kopsidara) memiliki 185 armada yang beroperasi di bandara. 6 Operator angkutan diberikan kuota masing-masing 10 armada (taksi dan sewa), ditambah 1 operator bus Damri sebanyak 2 armada, sehingga terdapat 62 tambahan armada untuk 7 operator, semua dibebankan biaya lain-lain berupa stiker, parkir, sewa loket, dan tarif buka pintu (flag fall).

Pasal 29 ayat (2) (c) Keputusan Menteri Perhubungan No. 35/2003 menentukan tarif taksi menggunakan argometer, sedangkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan No. 6/2008, taksi bandara menggunakan zonasi.

Majelis Komisi menilai Terlapor :

a. menghambat operator taksi lain untuk dapat menyediakan layanan jasa taksi di bandara,;

b. penerapan 2 jenis tarif : zonasi bagi Kopsidara dan argometer bagi operator lain (PerGub Sulsel No. 62/2008 vs Ps 29 KM No. 35/2003) telah menimbulkan ketimpangan persaingan diantara operator taksi;

c. menerapkan perlakuan diskriminatif untuk berusaha di bandara hanya kepada sekelompok operator taksi diantara operator lain yang sudah mendapat ijin operasi dari Dinas Perhubungan;

d. tidak melakukan praktek monopoli dengan kebijakan biaya operasional bandara.

Putusan No. 20/KPPU-I/2009.

PT. Angkasa Pura I (Persero) cabang Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya sebagai Terlapor I. Primer Koperasi Angkatan Laut Surabaya sebagai Terlapor II.

Pasal 1 Angka 9 PP No. 41/1993 mendefinisikan taksi sebagai kendaraan umum dengan jenis mobil penumpang yang diberi tanda khusus dan dilengkapi dengan argometer. Pasal 48 PP yang sama menjelaskan bahwa tarif angkutan penumpang tidak dalam trayek, kecuali taksi, ditetapkan oleh penyedia jasa. Sedangkan Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa trayek taksi terdiri dari tarif awal, tarif dasar, tarif jarak, dan tarif waktu yang ditunjukkan dengan argometer.

Lebih lanjut Pasal 28 KM No. 35/2003 menjelaskan bahwa angkutan orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek terdiri dari, antara lain, angkutan taksi dan angkutan sewa. Pada Pasal 64 diatur mengenai keharusan adanya kerjasama dengan otorita/badan pengelola, seperti bandara, stasiun kereta api, dan pelabuhan, selain persyaratan izin operasi dari Gubernur.

Terlapor II adalah pengelola 516 unit armada taksi di bandara Juanda, terdiri dari 416 unit Taksi Prima (dimiliki Terlapor II) dan 100 unit Taksi Wings (dimiliki PT. Prima Bahari Juanda, yang sebagian sahamnya dimiliki Terlapor II).

Selanjutnya Majelis Komisi menilai antara lain :

a. Terlapor I telah memberikan perlakuan berbeda kepada Terlapor II dalam mengoperasikan taksi Bandara Juanda Surabaya, karena antara lain Tergugat I sengaja membiarkan Terlapor II untuk tetap menjadi pengelola tunggal dalam pengoperasian taksi di Bandara Juanda Surabaya;

b. Tentang argometer:

1.  Tidak ada peraturan yang membedakan antara operasional taksi yang beroperasi di Bandara dengan Non Bandara, dan semua taksi yang beroperasi di luar bandara menggunakan argometer sesuai ketentuan;

2. Meskipun hasil survey menyatakan tarif zona sudah sesuai, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan sistem argometer karena selama ini konsumen di Bandara Juanda tidak diberi kesempatan untuk menggunakan taksi dengan argometer;

3. Konsumen tidak diberikan pilihan untuk menggunakan taksi sistem argometer sesuai ketentuan yang berlaku, karena Banda Juanda Surabaya hanya  tersedia taksi yang menggunakan sistem zona yang secara jelas telah menyalahi ketentuan yang berlaku.

Oleh karena itu, Majelis Komisi menyatakan konsumen telah dirugikan karena hanya terdapat taksi yang menyediakan tarif dengan sistem zona sehingga tidak ada pilihan untuk menggunakan sistem argometer sesuai ketentuan yang berlaku. Atas putusan ini, dinas perhubungan darat dan pengelola bandara kabarnya "menyiasatinya" dengan penghapusan angkutan "taksi" menjadi angkutan "sewa".

Kilasan 2 putusan KPPU diatas tentunya tidak serta merta menjadi preseden terhadap praktek penyediaan angkutan penumpang Bandara Ahmad Yani yang dikelola PT. Angkasa Pura I (Persero) saat ini. Namun tidak pula serta merta "membebaskan" pengelolanya tetap menerapkan jasa angkutan penumpang sistem zonasi dan tanpa opsi yang berlaku sekarang.

Setidaknya pengelola "tahu diri", terapkanlah prinsip-prinsip good corporate governance karena ini menyangkut pelayanan publik. Sebaliknya bagi calon penumpang pesawat tujuan Bandara Ahmad Yani, bersiaplah untuk menunggu jemputan kerabat. Atau menikmati tarif zonasi.

Foto adalah ilustrasi, diambil dari matanews.com

Menyadur, mengutip, menyalin, termasuk copy-paste, materi dan/atau kalimat dalam tulisan ini tanpa menyebut/merujuk sumber/pemiliknya adalah pelanggaran etika, dan pidana hak cipta (copy rights)”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun