Dalam peristiwa konkrit, kita bisa menunjuk beberapa kasus. Pada kasus yang telah diputus pengadilan misalnya, Lanjar Sriyanto, pengendara motor yang jatuh karena tabrakan, dan menyebabkan istri yang diboncengnya meninggal, dinyatakan bersalah karena kelalaiannya, sekalipun dinyatakan tidak dapat dipidana karena ada alasan penghapus pidana (Pasal 48 KUHP : daya-paksa/overmacht), Kompas, 5 Maret 2010. Pada kasus lain yang tengah berjalan, misalnya: ambruknya konstruksi perluasan proyek di Tanah Abang yang melibatkan petugas P2B Propinsi DKI Jakarta, ambruknya tenda sirkus di Senayan (sekalipun saat ambruk yang pertama telah dinyatakan tidak ada kelalaian), dan lainnya.
Demikian halnya terhadap orang menyimpan informasi/barang yang bersifat rahasia dan bukan untuk konsumsi/kepentingan publik, memiliki tanggungjawab untuk menyimpan secara ketat. Kita bisa tengok Pasal 114 KUHP (menyimpan rahasia negara) sebagai contoh sederhana. Oleh karena itu, semakin kuat sifat kerahasiannya, semakin besar tanggungjawab pemilik untuk membatasi/melarang orang lain untuk mengetahuinya, sehingga semakin tinggi resiko si pemilik untuk terjerat/terlibat karena kelalaiannya atas publikasi di masyarakat.
2. Turut Serta (Deelneming/Complicity).
Beberapa teoritisi menganggap bahwa elemen ini merupakan perluasan dari syarat obyektif, yaitu dapat dipidananya perbuatan, sedangkan sebagian pengajar mengelompokkan sebagai syarat subyektif, yaitu dapat dipidananya orang. Dalam kajian turut serta, ada 2 kelompok yang terlibat, yaitu peran sebagai pembuat (dader) dan pembantu (medeplichtige). KUHP mengaturnya pada Pasal 55 dan 56. Di masyarakat dikenal dengan istilah kongkalingkong, persekongkolan atau persekutuan. Indikasi kuat orang terlibat dalam turut-serta diantaranya adalah mereka mengenal satu sama lain, baik langsung maupun tidak dengan perantara orang lain, dan mereka mendapat manfaat, baik uang maupun barang, atas perbuatan atau akibat yang menyimpang atau merugikan pihak lain.
Termasuk sebagai pembuat (dader) adalah pelaku (pleger), orang yang menyuruh-lakukan (doenpleger), orang yang turut-serta (medepleger) dan penganjur (uitlokker). Sebagai yang menyuruh-lakukan (doenpleger) bisa terbagi lagi kedalam 2 pihak, yaitu pembuat langsung (auctor physicus/manus ministra), dan pembuat tidak langsung (auctor intellectualis/manus domina). Adapun orang yang turut-serta (medepleger) adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat mengerjakan sesuatu. Sedangkan penganjur (uitlokker) hampir sama dengan yang menyuruh-lakukan (doenpleger) : ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai pembuat materiil (auctor physicus), bedanya pembuat materiil dalam konstruksi penganjur (uitlokker) dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan termasuk kedalam pembantuan (medeplichte), harus ada orang yang dibantu, yaitu yang melakukan kejahatan. Konstruksi ini diatur pada Pasal 56 KUHP. Kekhasan yang sederhana dalam pembantuan (medeplichte) adalah perbuatan tersebut merupakan perbuatan membantu/menunjang (ondersteuningshandling), tidak harus ada kerjasama yang disadari (beweste samenwerking), dan sebagainya. Secara konkrit, identifikasi pembantuan dapat diketahui dari redaksi seperti "memberi kesempatan, sarana atau keterangan" dalam peraturan.
Konstruksi turut-serta memang kompleks dan pelik. Kita dapat menengoknya pada kasus pidana yang melibatkan para terdakwa Antasari Azhar, Wiliardi Wizard dan lainnya terhadap Nasrudin Zulkarnaen yang hingga kini dalam proses kasasi. Namun adakalanya turut-serta terlihat sederhana, misalnya dalam hubungan kerja dimana staf yang diminta menandatangani dokumen oleh atasannya, padahal hal tersebut bukan merupakan pekerjaannya. Bisa juga terlihat dalam hal hubungan kerja diantara staf dan atasan yang tidak sesuai prosedur (SOP) sehingga merugikan pihak lain. Dalam hal ini, layaklah bila kita merujuk pada banyak kasus penyelewengan (fraud/discrepancy) yang mengemuka di perbankan.
3. Pembiaran (ommission).
Secara normatif dikenal sebagai delik tidak berbuat. Dikualifikasikan kedalam tindak pidana karena tidak berbuat. Tentunya kompasianer pernah mendengar adagium "tidak berbuat adalah tindak pidana". Di KUHP bisa lihat Pasal 224 (tidak datang dipanggil sebagai saksi), 225 (tidak menyerahkan surat yang dianggap palsu), 226 (tidak hadir dipanggil sebagai orang atau pengurus perseroan yang dinyatakan pailit), selain juga Pasal 164 (tidak memberitahukan permufakatan jahat), Pasal 289 (membiarkan dilakukan perbuatan cabul), dan sebagainya.
Indikator yang paling sederhana dari pembiaran adalah kewajiban hukum yang melekat pada setiap individu. Kewajiban ini timbul dari hukum, bukan saja yang tertulis, tapi juga dari yang tidak tertulis berwujud norma masyarakat. Saya melihat ada persinggungan yang kuat antara pembiaran ini dengan kelalaian diatas. Taruh kata orang yang mengetahui dan berdekatan dengan fasilitas umum yang tidak layak dan membahayakan masyarakat, lebih baik memberitahukannya kepada pihak yang bertanggunjawab, semisal pimpinan proyek, ketua lingkungan atau pihak lain, baik lisan maupun tertulis. Kita dapat merujuk pada runtuhnya (collapsed) tanggul di Situ Gintung-Ciputat beberapa waktu lalu yang menyebabkan beberapa orang meninggal dunia.
Ulasan ketiga elemen diatas satu dengan lainnya bisa saling melengkapi. Ketiganya juga bisa diterapkan pada kejahatan lain diluar KUHP. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencermati lingkungan dan waspada dalam menjalin kerjasama usaha serta berinteraksi sosial. Ada satu maksim yang perlu ditelaah bersama, yaitu "everyone is presumed to know the law" atau "ignorantia juris haud excusat", yang diterjemahkan "setiap orang dianggap tahu akan hukumnya". Sekalipun maksim ini telah tereduksi dengan nilai-nilai good corporate governance yang menekankan asas transparansi dan akuntabilitas, namun toh maksim tersebut tidak hilang atau lenyap.