يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman: 17)
Ayat ini mengingatkan saya pada obsesi yang sudah sekian lama belum terwujud. Satu keinginan yang akhirnya membawa saya ke sebuah bangunan luas dengan pagar tembok tinggi mengelilinginya. Kita lebih mengenalnya dengan kata penjara. Kini, namanya sudah berubah dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Pria menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Pria Tangerang. Saya sangat setuju dengan kebijakan baru mengubah nama tersebut. Perubahan sebutan menjadi “pembinaan” akan memberikan kesan lebih mendidik.
Saat saya memberikan pelatihan dasar menulis (dokpri)
Lalu, apa obsesi saya yang belum terwujud itu? Ya, awalnya saya ke sana membawa status dan profesi sebagai penulis (lebih kerennya trainer menulis). Saya pun telah memberikan waktu di beberapa kali pertemuan untuk memberi pelatihan menulis kepada anak-anak di sana. Ada beberapa tulisan mereka yang masih saya simpan sampai sekarang. Namun, untuk mengubahnya menjadi kumpulan cerita pada sebuah buku, belum memenuhi syarat. Itu yang membuat angan-angan saya belum terpenuhi hingga hari ini.
Saya sudah berusaha dengan sekuat tenaga dan kemampuan. Namun, Allah menggiring niat saya untuk lebih memperhatikan hal yang lebih urgent ketimbang sekadar mengajarkan mereka menulis. Saya tidak bisa melawan taqdir Allah. Obsesi saya ingin mengumpulkan tulisan mereka menjadi kumpulan kisah akhirnya harus di-pending. Saya mengubah haluan dengan melebur bersama kegiatan teman-teman GPR (Gerakan Peduli Remaja) yang telah mengenalkan saya pada LPKA itu sejak 2012 lalu.
Rutinitas GPR berkunjung dan memberi layanan konseling, dakwah, pembinaan mental, dan belajar sholat serta membaca Al Qur’an, membuat saya tergerak untuk mengubah tujuan. Meskipun mengajarkan menulis tak kalah mulia dari semua layanan yang diberikan GPR kepada anak-anak LPKA itu, menurut saya saat ini mereka lebih membutuhkan pendampingan yang lebih spesifik. Saya dan GPR hadir sekali dalam seminggu untuk mendampingi mereka layaknya orangtua yang rindu pada anak-anaknya.
Selain itu, GPR juga sesekali menggelar event dengan menggandeng mantan artis/aktor yang telah hijrah dari kehidupan glamour, serta mengundang Ustad untuk memberikan dakwah dan siraman rohani. Ya, sepertinya saya sudah semakin melebur pada visi dan misi yang sangat mulia itu. “Begitu indahnya menggarap ladang amal jika hati dipenuhi keikhlasan,” pikir saya saat itu.
Bersama GPR, kini saya turut mendampingi, mendengar, memberi nasihat, contoh tauladan, serta menyediakan hati untuk anak-anak kurang beruntung itu menumpahkan keluh-kesahnya. Lalu, ayat di atas merupakan salah satu penyulut gerak hati saya yang paling kuat. Obsesi saya tidak lagi sekadar ingin berbagi pengalaman dan keterampilan menulis, tapi lebih pada memberikan pencerahan agar mereka mengerti arti kata mungkar itu.
Melihat dengan mata hati
Tidak ada anak yang terlahir nakal. Perkembangan karakter mereka tentu melalui proses panjang. Lalu, di mana mereka menjalani proses panjang yang menjadi standar ukurnya? Jawabannya adalah keluarga dan lingkungan. Jadi, jangan buru-buru menyalahkan jika akhirnya mereka terperangkap pada perbuatan yang melanggar hukum. Mari kita melihatnya dengan mata hati.
Dulu, sebelum mengenal dan mendengar kisah hidup mereka, saya pun sempat memandang sinis. Saya menganggap bahwa mereka terlalu cengeng, ingin mendapatkan kenikmatan dengan jalan pintas, tidak ikhlas menerima garis hidup yang kurang beruntung, dan lain sebagainya. Namun, begitu mendengar cerita dan alasan mereka melakukan semua itu, hati saya sontak seakan dicubit. Sakit. Sikap saya berbalik iba, prihatin, dan ingin sekali membantu mengeluarkan mereka dari alam pikir yang keliru itu.
Setiap Selasa, saya pun berkomitmen untuk mengosongkan jadwal demi bergabung bersama teman-teman GPR. Kami bersama-sama menyusun program, memilih materi yang pas, dan memosisikan diri layaknya seorang Ibu. Ya, teman-teman GPR semuanya perempuan. Ada Suci (sebagai ketua), ada Lisya, Edas, Sarah, Ratna, Indah, Ajeng, Ningsih, dan saya sebagai anggotanya. Kami sudah seperti keluarga yang sama-sama memiliki rasa kepedulian untuk membantu menyelamatkan anak-anak LPKA itu menuju perbaikan mental, moral, serta aqidahnya.
Apa yang kami rasakan tidak lagi karena efek melihat anak-anak itu dari sekadar lewat penilain kasat mata. Lebih pada ikatan hati yang ingin memberi tuntunan agar mereka bisa melihat dunia dan kehidupannya dari ajaran agama (Islam) yang dianutnya. Keyakinan bahwa Allah Swt, Tuhan yang diimaninya tidak meningggalkan mereka. Keberadaan mereka di sana hanyalah teguran pada khilaf yang telah mereka lakukan. Dan, jika memahami makna kata bertaubat, Allah Swt. akan memberi jalan terang untuk mengubah kehidupan mereka.
Rencana selepas masa hukuman
Sebuah perbincangan di sesi konseling mengingatkan saya pada janji Allah Swt. di beberapa firman-Nya. Antara lain;
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Az-Zumar: 53).
“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu, sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-A’raf: 153).
Dari ayat-ayat ini, saya dikuatkan untuk menyimak, menyampaikan, memotivasi anak-anak yang saat itu tinggal menunggu masa hukumannya berakhir.
“Saya sebentar lagi mau keluar, Bunda,” ujar si A dengan nada menggantung.
“Apa rencana kamu setelah bebas nanti?” tanya saya memancing semangatnya.
“Itu dia, Bunda. Masih bingung mau ngapain, kan sudah tidak sekolah. Sudah tamat,” balasnya menyambung nada yang menggantung tadi.
“Kamu masih punya keluarga ‘kan?” saya terus menggiringnya agar berpikir jernih.
“Kalau orangtua nggak di sini. Saya nanti pulang ke rumah Om. Cuma bingung mau kerja apa lagi ya, Bun?” jawabnya mulai galau.
“Pasti ada pekerjaan yang menghasilkan uang yang halal. Memang tidak banyak dan bisa buat kamu beli ini dan itu. Tapi, penghasilan yang kecil itu bisa menjagamu dari hal-hal berisiko seperti sebelumnya. Punya uang halal dari kerja yang halal itu pasti rasanya lebih nikmat dan aman. Kamu tidak perlu sibuk mikirin kalau-kalau tertangkap, apalagi belum gelisah dan sibuk sembunyi-sembunyi. Yang terpenting, kamu tidak dihantui rasa berdosa karena Allah Maha Melihat, Dia tidak pernah tidur. Kamu paham maksud Bunda?” papar saya agak sulit memilih kata-kata.
“Iya sih, Bunda. Saya malah kalau keluar, pertama kali mau ke masjid. Siapa tahu saya ditawari pekerjaan menjaga masjid, bersih-bersih masjid,” ujarnya di luar dugaan saya.
Kerongkongan saya tercekat sesaat. Sekuat tenaga saya menahan agar si A dan teman-temannya tidak melihat mata saya berkaca-kaca. Saya sedang duduk memosisikan diri sebagai Ibu mereka. Saya tidak boleh cengeng.
Saya buru-buru melanjutkan obrolan.
“Masya Allah, itu rencana yang mulia banget. Senang Bunda dengarnya.”
Begitulah ....
Itu bagian obrolan saat sesi konseling yang terkadang membuat hati saya berulang-ulang bertakbir, memuja kebesaran Allah. Masih banyak perbincangan lain yang lebih mengguncangkan perasaan. Setiap Selasa, selalu ada saja cerita penuh hikmah yang saya bawa pulang dari sana. Itu pula yang semakin menguatkan hati saya untuk terus menjalin ukhuwah bersama teman-teman GPR. Merekalah yang telah membuka mata hati saya.
Saya selalu bermohon agar Allah Swt. tidak marah jika sesekali saya masih memikirkan obsesi untuk membukukan tulisan mereka. Namun, mungkin saya harus menyelam lebih jauh dan membaur lebih lama serta memahami apa yang anak-anak itu rasakan. Sehingga ketika kisah-kisah yang mereka tulis dibukukan, akan memberi inspirasi lebih dalam bagi pembacanya. Semoga.... [Wylvera W.]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H