Dulu, sebelum mengenal dan mendengar kisah hidup mereka, saya pun sempat memandang sinis. Saya menganggap bahwa mereka terlalu cengeng, ingin mendapatkan kenikmatan dengan jalan pintas, tidak ikhlas menerima garis hidup yang kurang beruntung, dan lain sebagainya. Namun, begitu mendengar cerita dan alasan mereka melakukan semua itu, hati saya sontak seakan dicubit. Sakit. Sikap saya berbalik iba, prihatin, dan ingin sekali membantu mengeluarkan mereka dari alam pikir yang keliru itu.
Setiap Selasa, saya pun berkomitmen untuk mengosongkan jadwal demi bergabung bersama teman-teman GPR. Kami bersama-sama menyusun program, memilih materi yang pas, dan memosisikan diri layaknya seorang Ibu. Ya, teman-teman GPR semuanya perempuan. Ada Suci (sebagai ketua), ada Lisya, Edas, Sarah, Ratna, Indah, Ajeng, Ningsih, dan saya sebagai anggotanya. Kami sudah seperti keluarga yang sama-sama memiliki rasa kepedulian untuk membantu menyelamatkan anak-anak LPKA itu menuju perbaikan mental, moral, serta aqidahnya.
Apa yang kami rasakan tidak lagi karena efek melihat anak-anak itu dari sekadar lewat penilain kasat mata. Lebih pada ikatan hati yang ingin memberi tuntunan agar mereka bisa melihat dunia dan kehidupannya dari ajaran agama (Islam) yang dianutnya. Keyakinan bahwa Allah Swt, Tuhan yang diimaninya tidak meningggalkan mereka. Keberadaan mereka di sana hanyalah teguran pada khilaf yang telah mereka lakukan. Dan, jika memahami makna kata bertaubat, Allah Swt. akan memberi jalan terang untuk mengubah kehidupan mereka.
Rencana selepas masa hukuman
Sebuah perbincangan di sesi konseling mengingatkan saya pada janji Allah Swt. di beberapa firman-Nya. Antara lain;
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Az-Zumar: 53).
“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu, sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-A’raf: 153).
Dari ayat-ayat ini, saya dikuatkan untuk menyimak, menyampaikan, memotivasi anak-anak yang saat itu tinggal menunggu masa hukumannya berakhir.
“Saya sebentar lagi mau keluar, Bunda,” ujar si A dengan nada menggantung.
“Apa rencana kamu setelah bebas nanti?” tanya saya memancing semangatnya.
“Itu dia, Bunda. Masih bingung mau ngapain, kan sudah tidak sekolah. Sudah tamat,” balasnya menyambung nada yang menggantung tadi.
“Kamu masih punya keluarga ‘kan?” saya terus menggiringnya agar berpikir jernih.
“Kalau orangtua nggak di sini. Saya nanti pulang ke rumah Om. Cuma bingung mau kerja apa lagi ya, Bun?” jawabnya mulai galau.
“Pasti ada pekerjaan yang menghasilkan uang yang halal. Memang tidak banyak dan bisa buat kamu beli ini dan itu. Tapi, penghasilan yang kecil itu bisa menjagamu dari hal-hal berisiko seperti sebelumnya. Punya uang halal dari kerja yang halal itu pasti rasanya lebih nikmat dan aman. Kamu tidak perlu sibuk mikirin kalau-kalau tertangkap, apalagi belum gelisah dan sibuk sembunyi-sembunyi. Yang terpenting, kamu tidak dihantui rasa berdosa karena Allah Maha Melihat, Dia tidak pernah tidur. Kamu paham maksud Bunda?” papar saya agak sulit memilih kata-kata.
“Iya sih, Bunda. Saya malah kalau keluar, pertama kali mau ke masjid. Siapa tahu saya ditawari pekerjaan menjaga masjid, bersih-bersih masjid,” ujarnya di luar dugaan saya.
Kerongkongan saya tercekat sesaat. Sekuat tenaga saya menahan agar si A dan teman-temannya tidak melihat mata saya berkaca-kaca. Saya sedang duduk memosisikan diri sebagai Ibu mereka. Saya tidak boleh cengeng.
Saya buru-buru melanjutkan obrolan.
“Masya Allah, itu rencana yang mulia banget. Senang Bunda dengarnya.”
Begitulah ....
Itu bagian obrolan saat sesi konseling yang terkadang membuat hati saya berulang-ulang bertakbir, memuja kebesaran Allah. Masih banyak perbincangan lain yang lebih mengguncangkan perasaan. Setiap Selasa, selalu ada saja cerita penuh hikmah yang saya bawa pulang dari sana. Itu pula yang semakin menguatkan hati saya untuk terus menjalin ukhuwah bersama teman-teman GPR. Merekalah yang telah membuka mata hati saya.
Saya selalu bermohon agar Allah Swt. tidak marah jika sesekali saya masih memikirkan obsesi untuk membukukan tulisan mereka. Namun, mungkin saya harus menyelam lebih jauh dan membaur lebih lama serta memahami apa yang anak-anak itu rasakan. Sehingga ketika kisah-kisah yang mereka tulis dibukukan, akan memberi inspirasi lebih dalam bagi pembacanya. Semoga.... [Wylvera W.]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H