Mohon tunggu...
Syarif Dhanurendra
Syarif Dhanurendra Mohon Tunggu... Jurnalis - www.caksyarif.my.id

Pura-pura jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Diplomasi Bisik-Bisik ala Jokowi dan Polemik Putin

4 Juli 2022   11:20 Diperbarui: 5 Juli 2022   06:52 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Rusia Vladimir Putin (MIKHAIL SVETLOV/GETTY via BBC INDONESIA)

Diplomasi Bisik Bisik Ala Jokowi. Siapa bilang aksi aksi perundingan serta diplomasi tidak membuat mereka yang ikut serta jadi berdebar debar jantungnya? Bisa jadi, kita dapat mengamati gimana sulitnya perundingan yang terjalin antar negara dalam film Bridge of Spies (2015) yang diperankan oleh Tom Hanks.

Dalam film tersebut, seseorang pengacara asal Amerika Serikat (AS) yang bernama James B. Donovan memperoleh tugas buat jadi negosiator di antara beberapa negeri di masa Perang Dingin, ialah dengan Jerman Timur serta Uni Soviet. Donovan diwajibkan buat mangulas perihal pertukaran tahanan politik serta perang di antara AS dengan negara negara tersebut.

Pastinya, tugas Donovan ini tidaklah masalah gampang. Alasannya, baik Uni Soviet ataupun Jerman Timur, bersama mempunyai permintaan mereka sendiri-sendiri. Belum lagi, Donovan pula wajib berkoordinasi dengan pemerintah AS di Washington D. C.

Walaupun begitu, kesimpulannya, Donovan sukses menyelamatkan tahanan tahanan politik yang lebih dahulu ditangkap Uni Soviet serta Jerman Timur. Cerita berhasil ini juga sesungguhnya didasarkan pada cerita nyata dari Donovan itu sendiri.

Bukan tidak bisa jadi, kerumitan diplomasi serta perundingan semacam ini pula wajib dialami oleh pemerintahan Jokowi (Joko Widodo). Gimana tidak? Indonesia merasa kalau Presiden Rusia Vladimir Putin senantiasa berhak buat diundang muncul dalam KTT G20 2022--walaupun AS serta beberapa negeri anggota G20 menolak kedatangan Putin.

Di satu sisi, AS kesimpulannya memohon supaya Jokowi mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky apabila Putin dapat muncul. Bisa jadi, prinsipnya merupakan supaya mereka berdua dapat bersama muncul serta berbincang soal pemecahan damai.

Sebagian waktu kemudian pada April 2022, misalnya, Menteri Luar Negari (Menlu) Retno Marsudi melaksanakan beberapa kunjungan ke negara negara Eropa. Retno juga menemui beberapa petinggi negara negara Eropa, semacam Menlu Prancis Jean-Yves Le Drian.

Tidak cuma Retno, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman serta Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan pula melaksanakan kunjungan ke AS serta berjumpa beberapa petinggi serta pebisnis negara Paman Sam. Pemerintahan Joe Biden di AS juga jadi salah satu pihak yang getol mendesak Indonesia supaya mengundang Ukraina di KTT G20 2022.

Apabila benar kunjungan yang dicoba oleh Retno di Eropa serta Luhut di AS ini berkaitan dengan tekanan tekanan diplomatik dari AS serta negara negara Eropa terpaut kedatangan Rusia serta Ukraina di KTT G20, strategi diplomasi apa yang sesungguhnya digunakan oleh pemerintahan Jokowi? Kenapa, sehabis lebih dahulu melaporkan ketegasan terpaut KTT G20, Indonesia malah memutuskan buat menuruti permintaan AS serta negara-negara Eropa?

Diplomasi 'Bisik bisik' ala Jokowi?

Foto: setkab.go.id
Foto: setkab.go.id

Satu perihal yang sangat diketahui dari style serta metode diplomasi yang diambil Indonesia, ialah diplomasi yang tidak dilaksanakan secara terbuka. Saking seringnya style diplomasi ini digunakan, Indonesia hingga identik dengan sebutan "diplomasi diam-diam" ataupun "queit diplomacy".

Umumnya diplomasi diam-diam digunakan oleh pemerintah Indonesia buat melindungi ikatan baik dengan banyak pihak. Terkadang, diplomasi semacam ini dinilai diperlukan kala mengalami situasi situasi yang genting ataupun emergency.

Pendekatan diplomasi semacam ini sempat digunakan oleh Menlu Marty Natalegawa pada tahun 2012 silam--kala negara-negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) kandas menciptakan statment formal bersama( joint communique) terpaut sengketa LCS (Laut Cina Selatan). Atas instruksi Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), Marty melaksanakan diplomasi diam-diam dengan berkunjung ke bermacam pemerintahan negara negara ASEAN.

Metode diplomasi diam-diam ini apalagi diakui oleh Marty selaku metode terbaik buat mempertahankan serta mendapatkan keyakinan (trust) di antara negara negara ASEAN. Menurutnya, dalam kerangka ASEAN, metode ini lebih baik dibanding diplomasi megafon (megaphone diplomacy).

Metode yang sama kesimpulannya pula digunakan oleh penerus Marty, Retno Marsudi. Mantan Duta Besar (Dubes) Indonesia buat Belanda yang saat ini jadi Menlu tersebut memakai pendekatan diplomasi diam-diam kala terjalin krisis Rohingya di Myanmar yang berujung pada memanasnya ikatan antara Myanmar serta Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Dekat tahun 2017, pemerintahan Jokowi mulai menghindar dari posisi OKI yang dikira sangat konfrontasional terhadap Myanmar. Mengacu pada tulisan Claire Q. Smith serta Susannah Gram. Williams yang bertajuk Why Indonesia Adopted' Quiet Diplomacy' over R2P in the Rohingya Crisis, Indonesia berupaya mengambil posisi tengah antara Myanmar serta OKI supaya dapat melindungi ikatan baik di antara keduanya.

Bukan tidak bisa jadi, metode yang sama dicoba dalam suasana ketegangan antara Rusia serta Ukraina, ialah dengan melaksanakan diplomasi 'bisik bisik' di antara negara negara yang berkepentingan--semacam upaya upaya Retno yang disebutkan di bagian dini tulisan. Lagipula, Indonesia pula jadi negeri yang mempunyai kepentingan tertentu di antara negara negara yang bersitegang, semacam Eropa, Rusia, serta AS.

Tetapi, apakah benar Indonesia wajib ditekan terlebih dulu supaya pimpinan diplomat dapat melakukan jurus diplomasi 'bisik bisik' mereka? Mungkinkah seluruh tekanan dari kekuatan kekuatan asing di G20 dapat dicegah?

Polemik Putin, Gara-gara Retno?

Foto: twitter
Foto: twitter

Ada suatu analogi yang menarik dari Iver B. Neumann terpaut kedudukan diplomat dalam politik internasional. Dalam tulisannya yang bertajuk To Be a Diplomat, Neumann menganalogikan kalau terdapat 3 naskah yang dimainkan oleh para diplomat.

Naskah awal merupakan naskah birokratis--yang mana mewajibkan diplomat buat fokus pada rutinitas yang ada. Naskah kedua merupakan naskah heroik--yang mana mewajibkan seseorang diplomat buat fokus pada satu tugas buat menghasilkan perubahan/pergantian. Sedangkan, yang terakhir merupakan naskah mediator yang mewajibkan diplomat buat mewujudkan tujuan di luar entitas politik sehalus mungkin.

Bagi Neumann, 3 naskah ini tidak dapat dipertemukan. Malah, 3 naskah ini wajib dilaksanakan pada prinsip juggling (satu sama lain).

Pastinya, ada beberapa kedudukan yang dapat diambil oleh seseorang diplomat. Melanjutkan 3 naskah yang disebutkan Neumann tadi, Corneliu Bjola mengatakan beberapa style kepemimpinan diplomatik dalam tulisannya yang bertajuk Diplomatic Leadership in Times of International Crisis.

Terkait diplomat ini, kita tahu kalau Indonesia telah mengirim undangan kepada Ukraina ke forum G20. Hal itu diungkap langsung oleh Zelensky via Twitter. Zelensky sebut hal itu soal ketahanan pangan. Ia pun mengapresiasi undangan Indonesia untuk ke KTT G20. Diasamping itu, ada pula yang mempersoalkan lobi-lobi Retno. Diketahui bahwa Retno keliling Eropa pada tanggal 19-22 April yang lalu. Retno kunjungi Inggris, Prancis, Belanda, dan Turki. Hal itu disebut mengenai pembahasan penyelenggaraan G20.

3 pemimpin diplomat ini terdiri dari the maverick, the congregator, serta the pragmatist. The maverick merupakan pemimpin yang mempunyai gagasan yang kokoh namun tidak dapat menginspirasi aktor aktor lain. Di sisi lain, the congregator merupakan diplomat pemimpin yang dapat membangun konsensus namun tidak mempunyai visi yang kokoh. Sedangkan, terakhir, the pragmatist merupakan diplomat pemimpin yang dapat membangun visi yang kokoh sekalian membangun ikatan yang beresonansi.

3 style kepemimpinan diplomatis inilah yang bisa jadi butuh dicermati oleh para pegiat diplomasi Indonesia. Apabila diamati, Menlu Retno--serta pula Marty--bisa jadi ialah seseorang congregator yang dapat membangun jembatan serta konsensus di antara banyak pihak--apabila dilihat dari pemakaian pendekatan diplomasi diam-diam dalam beberapa suasana semacam polemik Rusia Ukraina.

Tetapi, bukan tidak bisa jadi, Jokowi pula membutuhkan seseorang pragmatist yang dapat mempunyai visi yang kokoh guna mengalami tekanan-tekanan dari bermacam kekuatan asing.

Selaku Presiden G20, inilah peluang untuk seseorang pragmatist buat menanamkan visi yang kokoh serta mengajak negara negara lain berjalan secara bersesuaian--terlebih Jokowi sendiri mempunyai visi supaya ekonomi global dapat berjalan cocok kepentingan banyak negeri.

Boleh jadi, Indonesia sesungguhnya sempat mempunyai seseorang Menlu yang ialah seseorang pragmatist, ialah Ali Alatas yang berprofesi pada tahun 1988-1999. Kala Ali berprofesi selaku penasihat diplomatik di masa SBY, Indonesia memainkan kedudukan berarti buat mengajak negara negara ASEAN buat menyepakati ASEAN Charter--suatu konvensi yang memiliki prinsip prinsip ASEAN.

Kesuksesan diplomatik Ali Alatas pula mengantarkannya jadi calon Sekretaris Jenderal PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Tetapi, mungkin masa depan kariernya di PBB ini diucap diveto oleh Presiden Soeharto.

Terlepas dari itu, posisi Alatas yang dihormati serta dapat jadi the pragmatist ini bukan tidak bisa jadi butuh dipelajari oleh para insan Departemen Luar Negari (Kemlu) dikala ini. Siapa ketahui Retno serta para diplomat Indonesia sesuatu hari nanti wajib beraksi bak Tom Hanks di film Bridge of Spies? Bukan begitu?

Catatan: https://nuonline.or.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun