Mohon tunggu...
Syarif Dhanurendra
Syarif Dhanurendra Mohon Tunggu... Jurnalis - www.caksyarif.my.id

Pura-pura jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Fatalnya Belajar Sejarah Senantiasa Hafalan

15 Juni 2022   12:24 Diperbarui: 16 Juni 2022   16:30 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi belajar sejarah. (Foto: freepik.com)

Fatalnya Belajar Sejarah Senantiasa Hafalan dan Tidak Membuat Anak Belajar Dari Sejarah 

Hari ini saya ingin menulis mengenai pelajaran sejarah di sekolah. Kata kuncinya antara lain: sejarah, pelajaran sejarah, sejarah Indonesia, pengertian sejarah, sejarah adalah, cerita sejarah, dan sejarah Islam. Semua hal itu seakan-akan menjadi hal yang rumit untuk dipelajari, apa lagi harus dihafalkan.

Banyak yang beranggapan, sejarah merupakan pelajaran menghafal bertepatan pada serta nama belaka. Modul yang diajarkan pula dikira sangat banyak. Seperti itu yang membuat pelajaran sejarah semacam neraka bonus di sekolah, sehingga tidak disukai oleh sebagian besar siswa.

Sebetulnya, nyaris segala pelajaran mengharuskan siswa buat menghafal. Semacam pelajaran Agama Islam yang mewajibkan siswa hafal banyak doa ataupun pesan pendek. Tetapi, itu seluruh jelas bermanfaat untuk siswa yang bersangkutan. 

Demikian pula pelajaran kimia pula mewajibkan siswa menghafal rumus ataupun simbol zat-zat kimia. Tidak terdapat permasalahan bila siswa yang menghafalnya hendak mendalami sains ataupun metode.

Tetapi, kenapa pelajaran menghafal sejarah semacam beban besar untuk mayoritas siswa? Barangkali sebab menghafal bertepatan pada serta nama dalam sejarah tidak banyak bersentuhan dengan kehidupan mereka sehabis tes. 

Terlebih sehabis berhasil menghafal banyak perihal dalam peristiwa sejarah, nyatanya timbul perdebatan nyatanya apa yang telah dihafalkan itu tidak cocok dengan kenyataan.

Tidak Membuat Anak Belajar Dari Sejarah

Foto: freepik.com
Foto: freepik.com
Waktu sekolah dahulu, salah satu bocah bandel Italia bernama Benito Amilcare Andrea Musolini, begitu menggemari pelajaran sejarah. Nilai sejarahnya, pula bahasa serta sastra Italia di rapor merupakan yang paling tinggi. Sejarah Italia membuat Musolini memiliki mimpi serta tekad besar mengembalikan kejayaan Italia semacam di masa Romawi, Italia la prima.

Alexander Agung, malah belajar sejarah Perang Troya, dari ceritera Iliad karya Homerus. Lepas dari permasalahan akurasi kebenarannya, sejarah yang direnungkannya dari Iliad, Alexander Agung memiliki motivasi buat jadi ksatria tangguh berbagai Achiles sang pahlawan Yunani dalam perang tersebut. Seluruh ketahui, Alexander Agung saat sebelum mati muda sudah menaklukkan banyak daerah di dekat Eropa serta Asia.

Baik Musolini ataupun Alexander, tidak bermaksud buat hafal seluruh perihal dari pelajaran yang mereka baca. Rasa penasaran, membuat mereka membaca, apalagi lebih banyak dari yang lain, sampai tidak terasa mereka semacam hafal di luar kepala. 

Sayangnya, tidak seluruh siswa memiliki rasa penasaran yang sama. Mereka yang tidak mempunyai rasa penasaran yang besar terhadap sejarah kesimpulannya semacam terjebak buat menghafalkan.

Sementara itu, esensi dari belajar sejarah tidak lain merupakan menggali nilai- nilai dalam peristiwa sejarah ataupun belajar gimana tokoh sejarah mengalami hidup serta membuat sejarah. 

Misalnya, dari peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, seseorang guru harusnya dapat menggali soal betapa berartinya harga diri suatu bangsa walaupun cuma bersenjata golok dalam melawan pasukan tangguh dunia yang baru saja menang Perang Dunia II. 

Pula belajar dari Syahrir, walaupun negeri baru merdeka serta masih serba kekurangan bukan berarti tidak boleh menolong rakyat kelaparan di India. 

Dari Mayor Abdullah, tokoh Pertempuran 10 November 1945, seseorang guru harusnya dapat menerangkan gimana seseorang pemuda tukang becak yang buta huruf dapat jadi komandan yang begitu dihormati.

Sejarah harusnya dapat menanamkan semangat juang kanak- kanak buat berjuang mencapai impiannya. 

Guru dapat mengajak kanak- kanak dengan belajar dari Gajah Mada yang pantang makan buah palapa saat sebelum mempersatukan nusantara, ataupun soal Hatta yang pantang menikah saat sebelum Indonesia merdeka. 

Menceritakan tanpa panjang lebar diiringi tanya jawab, asal perihal yang dikisahkan tidak melulu yang terdapat di buku, siswa umumnya ingin mendengar. Sebab apa yang terdapat di buku dapat dibaca di rumah. Pasti saja, apa yang dikisahkan bukan buat dihafal tetapi jadi bahan renungan bersama.

Beredarnya film-film sejarah di Youtube pasti dapat menolong siswa buat belajar dari suatu peristiwa ataupun tokoh sejarah. 

Tetapi, lagi- lagi, pendidikan sejarah senantiasa terpaku pada kurikulum sejarah yang kaku, diulang- ulang dari SD, SMP sampai SMA itu- itu saja serta tolok ukurnya hafalan lagi. 

Bila menanggapi tidak cocok dengan uraian si guru, murid cenderung disalahkan ataupun dikira kandas. Soal yang digunakan umumnya opsi ganda ataupun esai, yang wajib mirip kata guru.

Mencari nilai- nilai ataupun menggali semangat- semangat positif buat berjuang mengalami hidup bukan tujuan yang kerap dicapai dunia pembelajaran Indonesia. 

Nilai yang berbentuk angka senantiasa jadi tolak ukurnya. Tanpa menggali semangat serta nilai- nilai positif dalam sejarah, serta cuma semata- mata memburu nilai saja, guru serta siswa cuma belajar sejarah tanpa belajar dari sejarah.

Fatalnya Belajar Sejarah Senantiasa Hafalan

Foto: freepik.com
Foto: freepik.com

Walaupun banyak orang yang hirau pada pembelajaran setuju kalau menguasai jauh lebih berarti, tampaknya menghafal begitu dominan dalam pelajaran sejarah. 

Hafal tidaknya siswa pada nama- nama tokoh ataupun tempat pula bertepatan pada kerap kali jadi tolak ukur kemampuan modul pendidikan sejarah di sekolah. 

Siswa yang lemah hafalannya dapat bisa nilai rendah di raport, walaupun telah bekerja mati- matian. Sementara itu tidak seluruh orang memiliki memori yang baik.

Hampir jadi komentar universal, walaupun menyesatkan, kalau sejarah merupakan pelajaran menghafal. Banyak kanak- kanak sekolah membenci pelajaran ini. 

Apalagi bocah yang semula suka pada sejarah sebab pengalaman jalan- jalan ke museum ataupun menyaksikan film sejarah, dapat lenyap rasa sukanya pada sejarah begitu di sekolah dijejali banyak hafalan. Kecuali kala tes sejarah, hafalan itu tidak bermanfaat di masa depan.

Warnanya, tidak cuma opini anak warga saja yang menyebut sejarah pelajaran hafalan, tetapi pula para pakar pembelajaran. 

Perington, dalam The Idea of an Historical Education( 1980) menuliskan, sejarah sangat didominasi oleh pengajaran hafalan. Sebagian sebab memiliki komentar kenyataan sangat berarti dalam peristiwa sejarah, jadi dirasa butuh dihafal.

Sementara itu, bila kurang ingat pada nama tokoh, tempat, peristiwa ataupun bertepatan pada dalam kehidupan tiap hari lumayan membuka lagi buku sejarah, ensiklopedi ataupun mencari melalui mesin pencari juga bukan permasalahan. 

Perihal yang dibiarkan tadi dapat ditemui lagi. Jadi menghafal itu tidak esensial dalam pendidikan sejarah, walaupun terus menerus diterapkan oleh dunia pembelajaran Indonesia.

Telah bukan perihal yang aneh, kala telah lulus sekolah, seseorang mantan siswa menciptakan kalau apa yang diajarkan, pula dihafalkannya, di sekolah dahulu salah. 

Misalkan, soal penyiksaan di Lubang Buaya. Di sekolah diajarkan oleh guru serta buku sejarah, penyiksaan itu terdapat. 

Tetapi sehabis membaca pengakuan dokter yang melaksanakan otopsi soal tidak terdapatnya penyiksaan, apa yang diajarkan di sekolah guru runtuh telah. Dampak panjang perihal ini, dapat membuat keyakinan warga terhadap guru serta sekolah pula menurun.

Telah perihal biasa di Indonesia, apa yang masih jadi perdebatan di golongan sejarawan, namun telah jadi suatu yang wajib dihafal. Seakan telah dikira kenyataan oleh pembentuk kurikulum. Guru Besar Sejarah, Universitas Indonesia Profesor Dr Susanto Zuhdi berkata, penataan kurikulum mata pelajaran sejarah pendidikan dasar serta menengah tidak mengaitkan sejarawan.

Tidak cuma soal banyak hafalan. Pelajaran ini tidak aktraktif, sebab guru sejarah mayoritas mendongeng kala mengantarkan modul. 

Sementara itu buku sejarah yang berisi modul yang didongengkan si guru itu, gampang didapat saat ini. Mendongeng satu arah, kerapkali membuat siswa mengantuk serta tidak dapat menangkap pelajaran. Terlebih bila pelajaran ini ditempatkan di jam terakhir. 

Kerapkali, pelajaran yang dikira aksesoris ini terdiskriminasi di sekolah- sekolah, demi nilai UN yang lebih besar. Pelajaran sejarah juga terus terpuruk di mata kanak- kanak. Bila dibiarkan, sejarah cuma hendak tercatat di lembar- lembar buku tanpa sempat diingat oleh generasi terkini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun