Mohon tunggu...
Syarif Dhanurendra
Syarif Dhanurendra Mohon Tunggu... Jurnalis - www.caksyarif.my.id

Pura-pura jadi Penulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berusaha Tetap Ajeg

4 Februari 2019   05:00 Diperbarui: 4 Februari 2019   04:58 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini otakku (dengan agaknya ada rasa sungkan untuk menulis 'Tuhan') memaksaku untuk menulis sesuatu perihal kehidupan. Minimal, tulisan ini adalah catatan perjalanan spiritual yang pernah masuk dalam memori kehidupan diriku. 

Pertama, tulisan ini berdasarkan perspektif agama yang dulu kupelajari di PP Al Ischaqiyyah Banjarsari. Gus Ahmad Baidhowi Ihsan adalah guru pembimbingku selama belajar di pondok tersebut, khususnya dalam hal ilmu tasawuf. Beliau pernah berpesan, bahwa alangkah baiknya setiap santri memiliki minimal satu ibadah sunnah yang diistiqomahkan. Hal tersebut sebagai penunjang kekuatan spiritual agar menjaga jiwa santri untyk tetap terhubung kepada Allah. Sebab, masa tholabul ilmi sangat berat, dan jangan sampai santri tidak memiliki aurot untuk diistiqomahkan. 

Sekecil apa pun ibadah sunnah yang diistiqomahkan tersebut, hal tersebut akan tetap memiliki 'labet' untuk pribadi santri. Bahkan, lebih jauh lagi, juga akan berdampak secara spiritual ke anak-cucunya kelak.

Misalnya, jika aku memiliki keistiqomahan berupa membaca sholawat sebanyak 1000 kali setiap hari, maka sholawat tersebut akan membawa kita menuju jalan yang lebih indah. Sebab, ada dorongan berupa petuah-petuah yang kita yakini hal itu. Keyakinan itu akan dengan sendirinya menjadi motivasi sekaligus doktrinasi atas jiwa kita. Sebuah doktrin positif untuk merjalan menuju cahaya pagi hari.

Pesan Gus Dhowi selanjutnya adalah mengenai 'nerimo'. Orang yang selalu 'nerimo', maka dia tidak akan pernah merasa kekurangan. Hidupnya akan selalu dalam keadaan kecukupan. Dia tidak akan merasakan kegalauan, kebingungan, atau pun frustasi dengan apa pun dan seberapa pun materi yang ia miliki. S'atu catatan lain dari kisah beliau adalah, ketika saat itu tidak ada beras sama sekali, kecuali hanya 1 kg, beliau malah memberikan beras tersebut kepada seorang mbok rondo. 

Namun, setelah memberikan beras tersebut, tidak malah habis, malah datang beras dari arah yang tidak beliau sangka. Kasus ini bukan saklek, intinya, beliau berpesan agar santri-santrinya 'ora medit, ora kamiduiten, ora kedunyan, lan ora gedhi endhase, dermawan kepada siapa pun, khususnya kepada orang-orang yang membutuhkan.'[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun