Sejarah dan sastra tidak dapat dipisahkan secara kaku dan saklek. Apa lagi menjust bahwa sastra bukanlah sejarah, dan sebaliknya. Sastra adalah produk budaya yang berupa bahasa yang dituliskan. Bahasa dalam bentuk budaya dan intelektual merupakan media pertukaran bagi hubungan antar kekuatan dan konstitutor terakhir dari kebenaran dalam penulisan dan pemahaman tentang masa lalu.
Sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat tergantuing pada wacana dan bentuk representasi antarteks pada konteks sosial dan institusional yang lebih luas di dalam atau melalui bahasa karena realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu.
Sejarawan hanya merekonstruksi kejadian di masa lalu tersebut, dan sampai kapan pun sejarawan tidak akan bisa secara pasti mengetahui kejadian di masa lalu tersebut. Waktu memberikan jarak untuk sejarawan dalam melihat peristiwa di masa lalu tersebut.Â
Sementara itu, pada saat yang sama sastra berhasil menampilkan citra dirinya sejajar sebagai sejarah karena mampu menghadirkan situasi faktual dari masa lalu sebagai sebuah narasi kebahasaannya. Hal itu berarti bahwa kebenaran sejarah maupun sastra adalah kebenaran relatif.
Realitas masa lalu adalah laporan tertulis, bukan hanya sekedar masa lalu sebagaimana yang terjadi. Oleh sebab itu, bagi Manslow, sejarah tidak hanya sekedar pengkajian tentang perubahan dalam konteks waktu melainkan sejarah merupakan pengkajian tentang informasi atau pengetahuan yang dihasilkan oleh sejarawan". Tahun 1957 merupakan tonggak penting dalam perkembangan historiografi Indonesia, ketika disusun sebuah rumusan baru tentang landasan filosofis penulisan sejarah Indonesia.Â
Penyusunan konsep dasar yang dikenal sebagai indonesiasentris itu merupakan reaksi terhadap tradisi historiografi kolonial, Belanda, atau Eropa yang mengecilkan arti masyarakat Indonesia dalam proses sejarahnya sendiri.
Secara teoretik dan filosofis, di dalam tradisi indonesiasentris sejarah Indonesia dipahami dari dalam yang berorientasi pada masyarakat Indonesia sebagai sebuah keutuhan bangsa. Keberadaan historiografi nasional ini tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan untuk menentukan identitas bangsa.Â
Dalam perkembangan kemudian di dunia akademik, tradisi indonesiasentris itu dikembangkan bersama-sama dengan tradisi pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam historiografi Indonesia. Namun, apakah persoalan intersubjektivitas yang menjadi ciri penting dari historiografi kolonial dapat diatasi oleh historiografi pascakolonial yang indonesiasentris itu?
Historisisme baru, sama seperti tradisi empirik, bukan sesuatu yang perlu ditakutkan. Meminjam istilah Alun Manslow, yang paling penting adalah adanya kesadaran dekonstruktif untuk merekonstruksi masa lalu yang tetap didasarkan pada fakta.
Dalam kenyataannya, sejarah sebagai realitas objektif telah berjarak dengan sejarah yang dipahami saat ini sehingga tidak mungkin dihidupkan kembali seperti apa yang terjadi pada masa lalu. Sementara itu, sejarah sebagai naratif juga tidak akan dapat dibangun jika tidak ter- dapat sejarah sebagai realitas objektif masa lalu.
Harus disadari dengan baik, bahwa biarpun metode dan metodologi sejarah modern mendapat dasar yang sangat kuat dari Leopold von Ranke, tidak semua prinsip dasarnya yang menekankan pada masa lalu berbicara sendiri tentang dirinya dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin, dalam arti sekedar rekonstruksi faktual, dijalankan sela- ma ini oleh para sejarawan, termasuk mereka yang menentang wacana dekonstruktif. Pengggunaan konsep dan teori-teori ilmu sosial - yang beberapa di antaranya hanya hasil generalisasi dan tidak historis - dalam analisis dan sistesis sejarah, sebenamya juga merupakan sebuah bentuk dari penisbian terhadap fakta. Banyak eksplanasi yang dilakukan untuk merangkai fakta-fakta masa lalu menjadi sebuah deskripsi historis harus diakui hanya merupakan spekulasi konseptual dan teoretik, yang sebagian darinya bahkan tidak memiliki basis sama sekali pada realitas sejarah sebagai peristiwa objektif.
Maka dari itu, waktunya sejarawan Indonesia mencoba merumuskan kembali prinsip-prinsip dasar historiografi Indonesiasentris, tanpa perlu takut terhadap perkembangan pemikiran pascamodemisme dan menentang wacana dekonstruksi secara membabi buta.
Para sejarawan di perguruan tinggi perlu memberikan wawasan, substansi baru, dan pertanyaan-pertanyaan baru melalui pembenahan terhadap kurikulum yang telah digunakan selama ini sehingga para sejarawan yang dihasilkannya mampu memahami masa kini dan masa depan masyarakatnya melalui rekonstruksi masa lalu yang mendekati sejarah objektif.
Atau dalam bahasa Kuntowijoyo, menjadikan sejarah sebagai kritik sosial sehingga sejarah sebagai sebuah rekonstruksi dan sejarawannya tidak hanya sekedar menjadi alat pembenar dan menara gading, atau hanya mampu berdialog dengan dirinya sendiri.
Kemudian sejarah nasional adalah simbol dari identitas nasional yang secara logis akan sangat mudah terjerumus pada egosentrisme dan kecenderungan yang memihak. Hal itu telah terbukti pada sebagian besar tulisan sejarah yang dilabelkan dengan pendekatan Indonesiasentris selama ini.
Namun, hal itu bukan berarti bahwa histoniografi yang didasarkan pada Indonesiasentris tidak mampu menghasilkan karya sejarah Indonesia yang berkadar subjektivitas rendah.
Kata kuncinya adalah para sejarawan Indonesia harus berani dan mampu mendekonstruksi secara rasional wacana dasar dari historiografi yang ada sekarang, sebagai salah satu langkah untuk memperkaya metodologi yang telah ada atau merumuskan sebuah metodologi alternatif yang mampu merekonstruksi masa talu Indonesia mendekati peristiwa yang sebenarnya.
REVIEW ARTIKEL
HISTORISME BARU DAN KESADARAN DEKONSTRUKTIF: KAJIAN KRITIS TERHADAP HISTORIOGRAFI INDONESIASENTRIS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H