Mohon tunggu...
Achmad Zamzami
Achmad Zamzami Mohon Tunggu... -

Achmad Zamzami\r\nASISTEN AHLI BIDANG KELEMBAGAAN\r\nKomisi Penyiaran Indonesia Pusat\r\n08111231926

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Televisi Merupakan Urat Nadi Informasi

17 Mei 2017   15:43 Diperbarui: 17 Mei 2017   16:58 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Peran media televisi sangat penting dalam membangun masyarakat dan bangsa. Sebab, televisi merupakan urat nadi informasi melalui televisi. Namun di tengah ketatnya persaingan untuk memperoleh keuntungan tersebut, televisi swasta juga tampaknya berjuang mempersembahkan tayangan yang layak tonton dan berkualitas bagi masyarakat. Ini tampak dari program-program acara yang memang sesuai untuk kebutuhan masyarakat. Seperti acara program untuk anak contohnya Si Bolang, Laptop si Unyil, Keluarga Somat, Asal-usul,dsb yang merupakan beberapa acara yang bersifat mendidik, kemudian acara-acara siaran tv yang menayangkan berita-berita yang aktual dan bersifat realita yang berperan sebagai sarana informasi bagi masyarakat, seperti liputan 6 petang, reportase, reportase investigasi, dan masih banyak lagi.[1]

Pokok-pokok persoalan yang ditemukan.

a. Profesi penyiaran televisi lebih menonjolkan sisi tontonan dibanding tuntunan.

Tahun 1989 adalah tonggak perkembangan penyiaran (broadcasting) di Indonesia setelah hampir 37 tahun TVRI menjadi single fighter dalam berkiprah di dunia pertelevisian yakni dengan mengudaranya siaran televisi swasta pertama di Indonesia yakni Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang menyelenggarakan siaran terbatas. Kehadiran televisi swasta tersebut mendapat sambutan gempita dari masyarakat khususnya di daerah-daerah yang terjangkau oleh siaran RCTI kehadiran TV swasta tersebut di awali dan sebagai konsekuensi terbitnya SK Menteri Penerangan RI Nomor : 190A / Kep/ Menpen / 1987 tentang saluran siaran terbatas, yang membuka peluang bagi televisi swasta untuk beroperasi. Adapun setelah mengudaranya RCTI pada Agustus 1989, maka berturut-turut muncul TV-TV swasta lainnya di Indonesia, adalah SCTV (24 / 8 / 1990), TPI (23 / 1/ 1991), ANTV (7/ 3/ 1993), Indosiar (11 /1/ 1995), Metro TV (25 / 11 2000), Trans TV (25 /11/ 2001), dan Lativi (17 / 1 / 2002). Selain itu, muncul pula TV 7 dan Global TV. Jumlah televisi swasta nasional belum mencakup tv lokal-regional, seperti Bali TV, Jogya TV, RBTV, TV Borobudur Semarang, JTV Surabaya, Bandung TV, dan lain-lain.

Kehadiran stasiun-stasiun TV swasta ternyata lebih banyak mengumbar hiburan daripada aspek pendidikan. Akibatnya, sampai Juni ini, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jabar misalnya telah menerima 95 keluhan warga masyarakat berkaitan dengan tayangan TV tersebut. Acara hiburan di televisi dinilai tidak berkualitas. Begitu juga hasil survei yang dilakukan oleh Yayasan Sains dan Estetika, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, Yayasan TIFA, serta Departemen Komunikasi dan Informatika. Sebanyak 45,8 persen responden menilai acara hiburan sangat buruk, 36,3 persen menilai biasa saja, dan hanya 15,6 persen yang menjawab baik. Survei ini dilakukan pada Maret dan Oktober 2008 di 11 kota besar di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Batam, Pontianak, dan Palembang. Survei semula menyertakan 221 orang, namun hanya jawaban 212 responden yang bisa dianalisis. Untuk acara hiburan, responden memberi nilai buruk. Alasannya: mengandung kekerasan (63,2 persen), mengandung pornografi (46,2 persen), tidak relevan atau tak bersentuhan dengan kenyataan (61,3 persen), tidak ramah anak (69,3 persen), tidak ramah lingkungan (55,7 persen), bias terhadap gender (57,1 persen), dan tidak berpihak pada kepentingan publik (57,8 persen). Tayangan hiburan juga dinilai tak memberi contoh perilaku yang baik (61,8 persen). Sayangnya, acara yang dinilai bagus itu tak memiliki rating tinggi. Sejumlah program berita yang dinilai berkualitas hanya memiliki rating 0,9 sampai 1,9 dan share iklan 3,5 sampai 16,8.[2]

b. Rendahnya kompetensi profesi penyiaran

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mencatat pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran tidak pernah surut. Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi selama ini, seperti menampilkan adegan vulgar serta kekerasan dan pelecehan terhadap kelompok tertentu. Pelanggaran tersebut terjadi baik di media penyiaran radio maupun televisi.

Salah satu sebab jumlah pelanggaran meningkat adalah SDM lembaga penyiaran masih lemah. Ditengarai, kesadaran pekerja media penyiaran masih rendah, terutama pada pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Sebagian lain bahkan diduga tidak paham tentang pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Dari pengamatan lapangan, pekerja media penyiaran lebih berkesan mengembangkan semangat komersial ketimbang menghadirkan siaran sehat penuh nuansa tanggung jawab. Di sisi lain, media penyiaran memainkan posisi strategis di masyarakat di mana pun di dunia, termasuk Indonesia. Berbagai penelitian membuktikan bahwa media penyiaran mampu memberikan pengaruh besar, baik aspek persepsi, sikap maupun perilaku. Karena posisi yang sangat penting tersebut, sudah semestinya KPI saat ini lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas SDM lembaga penyiaran dibandingkan dengan pengawasan siaran.

c. Kelembagaan KPI yang masih belum kuat

Di sisi lain, posisi Komisi Penyiaran Indonesia justru dikebiri dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah 50/2005. Tugas KPI pun hanya mengawasi kontens saja dan tidak bisa memberi sanksi kepada media penyiaran yang melanggar UU Penyiaran.

Dalam urusan kewenangan pemberian izin frekuensi, KPI hanya sebagai pengusul (counsilor body) dan delivery man. Dalam urusan isi (contents) siaran, KPI didesain sebagai superbody dengan kekuasaan sebagai pengaturnya. Dalam keseluruhan otoritas KPI tersebut, urusan regulasi, eksekusi, dan pengenaan sanksi, adalah semata-mata sesuai petunjuk, dan di bawah kendali pemerintah. Berdasarkan desain tersebut di atas tersimpul bahwa bila wakil-wakil rakyat di DPR tidak memihak perjuangan pemberdayaan civil society, akhirnya KPI hanya akan menjadi kaki tangan pemerintah dengan tujuan strategis untuk memperlemah independensi, kebebasan, dan mematikan kreativitas pers penyiaran.[3]

d. Publik kurang kritis terhadap program televisi

Masyarakat Indonesia belum kritis, sehingga dibutuhkan Literasi Media atau pencerdasan informasi dari media, kepada masyarakat. Masyarakat Indonesia masih dalam tahap pecandu informasisehingga mudah dimainkan melalui opini yang dibuat media terutama televisi untuk kepentingan tertentu. Padahal, menurutnya di beberapa negara, literasi media sudah masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Dengan literasi media, untuk tahap pemula siswa diajarkan membongkar informasi. Misalnya apa, siapa, dan mengapa informasi itu disampaikan. Sehingga masyarakat bisa lebih kritis dalam memandang berita yang disajikan media. Selama ini, yang terjadi adalah pesan yang terus-menerus/berulang-ulang disampaikan melalui media televisi-lah, yang merekonstruksi pendapat masyarakat. Kalau tayangan dianggap laris, maka akan terus disampaikan ke masyarakat. Misalnya, perseteruan antara Eyang Subur dan Adi Bing Slamet yang pernah terjadi.Tidak dipungkiri, persoalan rating akhirnya menjadi ” Berhala “ baru, yang menjadi acuan pengelola televisi.

Kesulitan pun bertambah, karena tidak mudah untuk memutus tali rantai kecanduan di tengah masyarakat, karena tayangan yang ditampilkan bentuknya menghibur.Untuk itu, masyarakat harus dibekali kecerdasan terhadap media. Mulai dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, instansi terkait seperti KPID maupun KPI Pusat. Kalau memungkinkan, dibuat dalam sebuah regulasi khusus. Saat ini, media televisi utama di Indonesia dikuasai oleh lima perusahaan. Kelima perusahaan tersebut antara lain adalah : MNC Grup selaku pemilik dari stasiun televisi RCTI, MNC, dan Global TV. Kemudian, Emtek Grup melalui penguasaan SCTV dan Indosiar. Viva yang menguasai stasiun televisi TV One dan ANTV, sementara itu Transcorp selaku pengelola Trans TV dan Trans7, serta Metro Grup yang menguasai stasiun televisi Metro TV.[4]

Jadi, semua terserah dari kita semua, bagaimana memaknai sebuah informasi

---------------------*******--------------------------------

[1] http://ambassadorrahayu. wordpress.com /2012/04/17/ ELF'island

[2]) http://agussudibyo.wordpress.com/2008/12/08

[3]) www.kompas.com/ opini/0211/12/10

[4]) iswandi Syahputra/ http://nrmnews.com/2013/05/04)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun