Mohon tunggu...
Achmad Zamzami
Achmad Zamzami Mohon Tunggu... -

Achmad Zamzami\r\nASISTEN AHLI BIDANG KELEMBAGAAN\r\nKomisi Penyiaran Indonesia Pusat\r\n08111231926

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengembalikan Marwah Media Penyiaran

4 November 2016   15:17 Diperbarui: 7 November 2016   03:52 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Definisi kata-kata marwah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata-kata muruah yang berarti kehormatan diri; harga diri; nama baik. Dalam kondisi tersebut, muncul pertanyaan apakah media penyiaran Indonesia memiliki marwah, kehormatan diri; harga diri; nama baik?. Apakah media penyiaran Indonesia butuh marwah? Jawabannya tentu saja tegas, bahwa media penyiaran Indonesia membutuh marwah.

Dalam UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 dengan visi “Indonesia yang maju, adil dan makmur” pemerintah menetapkan satu misi pembangunan nasional yaitu menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat.

Hal ini disadari oleh adanya fakta kebebasan pers dan media telah jauh berkembang yang antara lain ditandai dengan adanya peran aktif pers dan media dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Walaupun demikian, pemerintah menilai kalangan pers belum dapat mengatasi dampak dari kebebasan tersebut antara lain masih berpihak pada kepentingan industri daripada kepentingan publik yang lebih luas.

Kondisi tersebut tak mungkin dilepaskan dari kebijakan Pemerintah yang keliru selama Orde Lama dan Orde Baru dalam pengelolaan lembaga penyiaran dalam hal ini media siaran televisi yang menempatkannya lebih sebagai agen politik, bukan sebagai agen perubahan sosial. Reformasi sebagai semangat perbaikan Orde Baru, ternyata memberi imbas negatif. Hal ini terlihat pada kualitas UU Pers yang terbit pada tahun 1999. 

Jelas terlihat dalam pasal-pasal yang tercantum tidak satupun menyebutkan adanya perlindungan kepada masyarakat atas dampak negatif media massa. Secara substansial, UU Pers No.40/1999 hanya memuat rumusan yang memberi kesempatan kepada media untuk melaksanakan profesionalismenya.

Sementara regulasi UU No.32/2002 tentang Penyiaran yang juga menjadi dasar kelahiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kini sudah memiliki kekuatan. Pada awal kemunculan KPI diharapkan sebagai lembaga independen yang mampu menjadi perpanjangan tangan dan personifikasi kekuasaan rakyat seperti yang diamanatkan oleh undang-undang untuk menangani berbagai hal yang terkait dengan perilaku penyiaran di Indonesia.

Keberadaan KPI diharapkan bisa menjadi lembaga independen yang mengatur segala persoalan di bidang penyiaran dan menurut hemat saya memiliki peran dan wewenang penuh mengeluarkan izin penyiaran, menyusun standar isi program iklan, sponsor dan kualitas teknis penyiaran, memberi sanksi jika ada pelanggaran dalam isi program, iklan, sponsorship, dll.

Model ideal yang saat itu dibayangkan adalah bahwa KPI akan menjadi lembaga publik yang independen, memiliki kapasitas untuk mengatur, mengawasi, mengontrol dan mengembangkan lembaga penyiaran dan memiliki perangkat teknologi yang memungkinkan KPI menjalankan seluruh tugas-tugasnya, sehingga pada akhirnya KPI penyiaran semestinya diarahkan untuk memperkuat posisi KPI.

Namun apa yang terjadi saat ini justru memarjinalkan peran KPI, dengan langkah-langkah Depkominfo yang menjadikan dirinya sebagai regulator dan pengontrol penyiaran. Kemunculan PP No 50, 51, dan 52 Tahun 2005 semakin meminggirkan kewenangan Komisi Penyiaran.

Dalam tataran tata negara, sepatutnya UU No.32/2002 tentang Penyiaran diamandemen untuk mereformasi media yang sudah dijangkiti kepentingan politik tertentu. Agar media dapat kembali ke habitatnya sebagai ruang publik.

Dalam kondisi dominasi stasiun televisi komersial, kita tidak akan dapat mengharapkan lahirnya sikap kritis terhadap kebijakan pemilik modal maupun lajunya ekspansi perusahaan-perusahaan transnasional. Hal ini terjadi bukan karena tidak ada jurnalis profesional dengan gagasan-gagasan tercerahkan yang bekerja di divisi pemberitaan stasiun tersebut, atau karena divisi pemberitaan ditekan oleh para pemasang iklan, tapi bisa juga karena alasan yang lebih mendasar yaitu terbentuknya kesadaran bersama soal gagasan di antara para pengelola dan pekerja media bahwa bersikap kritis terhadap kecenderungan-kecenderungan utama dalam sistem kapitalistik adalah sesuatu yang bertentangan dengan kodrat media komersial itu sendiri sebagai institusi pencari laba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun