Sekarang aku sudah hampir 28.
Waktu aku 23, catatanku dipenuhi dengan ketakutan sekaligus optimisme untuk menapaki banyak tantangan baru. Waktu aku 24, catatan-catatanku lebih berwarna lagi: ada pemahaman yang lebih terhadap diri, keberanian yang lebih untuk berekspresi, tapi juga tetap dibumbui dengan keraguan di sana-sini. Di tahun itu, untuk pertama kalinya aku memberanikan diri menjemput harapan.
Lalu waktu aku 25, ceritaku sarat akan kisah-kisah pencarian jati diri. Harapan yang sebelumnya kuperjuangkan mati-matian entah bagaimana tiba-tiba terasa tak berharga. Di usia 25-ku, catatan-catatanku penuh dengan berbagai pertanyaan soal kenapa begini, kenapa begitu.Â
Lantas waktu aku 26, semuanya berjalan biasa saja: jalanku lurus, rasa-rasanya tak begitu banyak tikungan. Memang ada hal-hal yang tak berjalan sesuai rencana, memang ada harapan yang akhirnya harus terkubur, tapi rasanya itu sudah tak begitu jadi masalah. Di tahun itu, aku belajar bahwa di dunia ini, banyak hal yang memang harus di-yaudah-in aja.
"Waktu kamu 27?" Kamu bertanya, memutus ceritaku.
Sekarang aku juga masih 27, Di. Baru hampir saja menginjak 28. Tapi di awal-awal usia 27-ku, ceritaku penuh kejutan. Waktu aku menginjak usia itu, kupikir aku sudah baik-baik saja. Orang-orang di sekitarku bilang kalau aku jadi lebih ceria.
"Aku enggak pernah bilang kalau kamu lebih ceria," katamu, protes. Tentu saja, kamu bukan salah satu di antara orang-orang itu. Kamu kan tahu sendiri: kamu memang selalu spesial, kamu sering kali jadi pengecualian dalam setiap ceritaku.
Tapi yang jelas, waktu itu, bagi banyak orang, aku kelihatan lebih bahagia. Jangankan orang-orang, aku pun berpikir demikian. Aku jadi lebih cerewet, lebih suka bergaul di sana-sini, bahkan tak keberatan mengatur janji pertemuan lebih dulu dengan teman-temanku---aku yang sebelumnya mana pernah begitu.Â
Aku benar-benar jadi lain. Bahkan, dalam pertemuanku dengan siapa saja, aku tak pernah lagi jadi si kalem yang cuma akan bicara kalau ditanya, yang cuma ikut tertawa di setiap ujung cerita. Rasanya seperti tiba-tiba saja aku tak keberatan buat jadi banyak bicara.
Jadi kupikir, dengan semua perubahanku itu, artinya aku sudah bisa menerima segala hal yang sebelumnya, bagiku tak pernah masuk akal untuk diterima. Kupikir, aku sudah bisa memaafkan banyak kesalahan yang sebelumnya sulit sekali kumaafkan. Soal keluargaku, soal dia, dan soal banyak hal lainnya. Kupikir, luka yang sudah ada di dalam aku sejak lama sekali itu sudah membaik. Dan kupikir, aku sudah bisa tulus memberi dan mencintai orang-orang di sekitarku karena sepertinya aku sudah bisa mencintai diriku sendiri.
"Nyatanya enggak begitu, kan? Nyatanya kamu sering nangis tiba-tiba, random kayak enggak ada penyebabnya. Ingat enggak? Kamu pernah tiba-tiba nangis di tengah acara stand up comedy komika terkenal yang tiketnya sudah susah payah kita cari dari jauh-jauh hari. Di tengah stand up yang lagi lucu-lucunya, kamu tiba-tiba nangis. Kurang random apa coba?" Kamu ikut bercerita, mengenang kisah awal tahun ini.
"Itu karena saking lucunya stand up waktu itu, Di,"
"Heleh!"
Kamu mungkin satu-satunya orang yang menyadari itu: bahwa di awal usia 27-ku, aku sedang kacau-kacaunya, sedang berada di titik terendahku, dan sedang butuh-butuhnya dibersamai. Waktu itu, entah bagaimana aku bisa tiba-tiba menangis saat bangun tidur, bahkan bisa tiba-tiba sedih saat sedang menonton acara kartun Maruko-Chan atau Upin & Ipin di Youtube. Aku bisa mendadak meneteskan air mata ketika bekerja di depan laptopku, ketika merangkai bunga, ketika memasak, atau sekadar ketika sedang makan.
Tapi berkat semua itu, di usia 27-ku, aku menyadari bahwa ada banyak sekali rasa yang harus kutata. Di usia 27-ku, aku belajar banyak sekali hal baru: belajar mengerti bahwa aku tak harus lekas memaafkan karena memaafkan butuh proses; belajar paham bahwa segala yang terjadi harus diterima seberapa pun tidak adilnya bagi kita; belajar tahu bahwa setiap luka butuh disembuhkan, bukan sekadar ditutupi; dan yang terpenting, belajar untuk mencintai aku.
"Mantap sudah belajar mencintai diri sendiri. Terus kapan mau belajar mencintai aku?" Kamu bercanda, mengganggu kekhusyukan cerita ini.
"Nanti, kapan-kapan kalau sempat,"
...
Sekarang aku sudah hampir 28.
"Makin tua, ya!" astaga, tidak habis-habisnya kamu bercanda.
Iya, Aldi. Memang makin bertambah tua. Bayangkan saja. Dulu aku masih 15 tahun waktu pertama kali bertemu kamu. Sekarang, tiba-tiba saja aku sudah hampir 28 tahun. Ajaib, ya.
"Ajaib karena kita masih bareng-bareng sampai sekarang?"
"Ya, itu salah satunya. Tapi memang terasa ajaib saja hidup ini. Kamu tahu, Di? Aku sering dipuji baik oleh orang-orang. Aku dipuji cantik. Aku dipuji pintar. Aku dipuji mandiri ..."
"Woi! Narsis amat!"
Haha! Maksudku, Di, semuanya terasa ajaib. Kamu tahu seberapa banyak orang yang sering berterima kasih kepadaku karena merasa bahwa aku sudah berbuat baik kepada mereka? Hampir setiap orang yang kukenal, Di. Keluargaku, teman-temanku. Mereka bilang aku baik. Mereka bilang aku seperti malaikat. Mereka berterima kasih atas kehadiranku.Â
Tapi kamu tahu? Tiba-tiba saja terpikirkan olehku pada suatu waktu: aku lelah membahagiakan orang-orang sementara aku sendiri tidak tahu di mana bahagiaku. Entah bagaimana tiba-tiba saja terpikir: orang-orang melulu yang dibahagiakan, terus akunya kapan?
Aku, Di, di awal usia 27-ku, sering merasa jadi munafik. Kamu sudah baca ceritaku di "1:31 AM", "Old Love", dan "My Sea", bukan? Cerita yang buat sebagian orang membosankan karena cuma begitu-begitu melulu. Tapi memang serumit dan semelalahkan itu jadi orang baik yang baiknya cuma karena terpaksa. People pleaser. Dan di awal usia 27-ku, sepertinya aku sudah sampai di puncak lelahku. Aku ingin benar-benar menjadi aku.
"Sekarang sudah benar-benar jadi aku?"
Hmmm ...
Terkadang, jujur saja kupikir aku sudah benar-benar jadi aku. Tapi terkadang juga, rasanya aku kembali jadi orang lain. Cuma, kamu benar: memang begitu adanya manusia. Seberapa pun aku telah menjadi diri sendiri saat ini, akan ada saatnya aku lelah dan ingin menyerah. Akan ada saatnya aku kembali lagi dengan semua pertanyaan dalam kepalaku. People change, right?Â
Mungkin itulah sebabnya dari dulu Mama selalu bilang: bersyukur saja. Nasihat yang sedari dulu aku benci sebab sulit sekali kupahami ketika aku sedang jatuh-jatuhnya, sedang patah-patahnya. Sekarang, rasa-rasanya memang mau bagaimanapun, ya sudah, syukuri saja. Memang begini adanya manusia, kan, Di? Selalu berputar-putar mencari sesuatu yang katanya kebahagiaan. Padahal, pencarian itu yang sepertinya justru menjauhkan kita dari bahagia. Begitu selalu katamu.Â
"Terus?" Kamu bertanya lagi.
Kamu langsung menatapku begitu kuucapkan kalimat itu. Dari matamu, bisa kubaca pertanyaanmu: tumben amat ngomong begitu; kesambet apaan? Tapi sumpah, Di. Dicintai olehmu sedikit banyak membuatku bisa belajar mencintai diri sendiri.Â
Aku sudah pernah bilang kalau aku takut sekali dengan perubahan, kan? Sebab dia pernah membuat kehidupanku hampir mati dengan perubahan yang dia buat. Bertahun-tahun yang lalu. Tapi waktu sama kamu, aku tidak takut lagi dengan perubahan yang akan terjadi. Sebab aku selalu jadi bagian dari perubahan yang kamu lalui itu.
Kamu tertawa, tipis. Mengacak rambutku. Lalu tertawa lagi.
Terima kasih sudah menjadi bagian dari cerita 27-ku, ya, Di. Terima kasih sudah menjadi seseorang yang selalu siap menjadi tempatku pulang. Jangan bosan bersamaku, ya, Di.Â
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H