"Kamu yakin ndak mau melanjutkan kuliah, Nduk?" Mama bertanya, membuka pembicaraan. Ah, pembicaraan serius ini sudah dimulai. Tapi berapa kali pun Mama bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku cuma menggeleng, tidak. "Kalau masalah biaya, Maye sudah bilang dia siap menanggung semuanya. Lagipula, Mama juga kan masih punya sawah, masih bisa membantu sedikit-sedikit," Mama melanjutkan. Aku tahu, Mama ingin memperlakukan ketiga anaknya sama rata. Kedua kakakku kuliah meski harus susah payah. Jadi Mama pasti ingin memastikan aku juga bisa kuliah.
"Ma, kuliah kan bukan satu-satunya jalan. Riri memang ingin pilih jalan yang beda. Riri sudah mantap mau langsung kerja. Riri sudah punya rencana sendiri," kataku, mencari jalan lain supaya Mama tidak lagi mengungkit masalah biaya.
"Mama cuma takut kamu menyesal, Nduk,"
"Kalau Riri menyesal suatu hari nanti, Riri enggak akan nyalahin Mama. Riri enggak akan nyalahin siapa pun karena ini keputusan Riri,"
Mama diam. Agak lama. Keputusanku benar-benar sudah final.
"Riri memang ingin langsung kerja setelah lulus SMA, Ma. Enggak apa-apa. Mama enggak usah khawatir. Riri sudah punya rencana,"
"Bapak, ya?"
Mama bertanya sekali lagi. Suaranya terdengar berat, penuh pertimbangan. Bapak, ya?
Kemarin malam, waktu Mama membujuk Maye supaya tinggal lebih lama di rumah, kalimat itu juga akhirnya keluar dari mulut Mama. Maye diam lama sekali, tidak menjawab. Benar-benar cuma diam sampai akhirnya Mama menyerah dan mengizinkannya untuk kembali ke Jakarta besok pagi. Juga sekaligus mengizinkannya untuk sekali lagi melewatkan Lebaran di rumah tahun ini.
"Riri sudah besar. Sudah waktunya mandiri seperti dua kakak Riri. Riri juga anak Mama. Riri enggak mau jadi anomali seperti kata orang-orang. Riri juga sayang sama Mama,"
Malam ini, akhirnya Mama memelukku. Meminta maaf. Aku tidak mengiyakan permintaan maafnya. Tidak juga bertanya untuk apa. Tapi kami sama-sama paham, sama-sama mengerti bahwa tidak ada lagi yang bisa dibicarakan.