Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malika: Anomali

18 April 2021   20:40 Diperbarui: 18 April 2021   21:12 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Aku Malika. Bukan Malika si kedelai hitam yang dibesarkan layaknya anak sendiri seperti dalam iklan salah satu merek kecap ternama di Indonesia. Namaku Malika Riyadi. Perempuan. Delapan belas tahun. Anak ketiga dari tiga bersaudara. Dan di mata banyak orang, aku adalah anomali.

Orang-orang selalu bilang, anak Mama yang pertama adalah yang paling ramah, pandai bergaul, sekaligus bisa memandang sesama tanpa prasangka. Anak Mama yang kedua jangan ditanya. Dia paling pendiam, tetapi mandiri dan selalu bisa diandalkan. Saat tiba giliran untuk mengomentari anak ketiga (aku), orang-orang akan mendesah panjang lebih dulu sebelum melanjutkan. Kemudian, mereka menggelengkan kepala sambil akhirnya cuma bilang: anak Mama yang ketiga memang paling berbeda.

Bahwa aku bukan anak yang baik, aku tahu. Bahwa aku tidak pernah berhasil memenuhi ekspektasi orang tuaku, aku juga paham. Dan bahwa aku tidak akan pernah mampu menjadi semalaikat kedua kakakku, aku sepenuhnya menyadari.

"Ri, dipanggil Mama," Maye, kakak keduaku, membuka pintu kamar sambil mengingatkan. Minggu pertama bulan puasa. Dia yang setamat SMA lebih sering menghabiskan waktu dengan merantau di Jakarta kebetulan sedang di rumah. Tapi besok dia akan kembali ke Jakarta. Malah Lebaran tahun ini, sama seperti Lebaran tahun-tahun sebelumnya, mungkin dia tidak akan pulang.

Sejak setidaknya tiga hari lalu, dia sudah diceramahi Mama, diminta untuk mengusahakan agar pulang Lebaran nanti. Kalaupun tidak bisa pulang, Mama memintanya tinggal di rumah barang sehari atau dua hari lebih lama. Dia, seperti biasa dan seperti yang sudah kuduga, tetap kukuh dengan keputusan awalnya. Sedikit banyak aku paham mengapa dia selalu punya alasan untuk pergi dari rumah cepat-cepat. Dia tidak pernah cerita, tapi semua orang di rumah kami pasti paham alasannya.

"Mama mau bicara, Ri. Nanti diomongin baik-baik, ya," sekali lagi Maye mengingatkan. Sejak awal, dia satu-satunya yang tidak mempertanyakan keputusanku. Dia cuma selalu berpesan supaya aku membicarakan semuanya baik-baik dengan Mama. Katanya, dia akan mendukung apa pun keputusanku selama aku mendapat izin dari Mama.

"Iya, Mbak," kujawab sambil lalu. Dia menutup pintu kamar. Aku beranjak memenuhi panggilan Mama. Ini akan menjadi pembicaraan yang panjang dan serius. Pembicaraan yang, mungkin, lagi-lagi tidak akan menemukan titik temu.

...

 "Ri," Mama memanggilku, lembut. Di rumah ini, bahkan mungkin di seluruh jagat raya, Mama adalah satu-satunya yang tidak pernah menunjukkan kekecewaannya kepadaku.

Waktu tahun lalu Mama dipanggil ke sekolah gara-gara aku membuat masalah, Mama cuma mengelus kepalaku setibanya di rumah. Padahal, Bapak sudah marah besar kepadaku hari sebelumnya. Tapi Mama, entah mengapa, justru meminta maaf kepadaku, memelukku sambil menangis. Aku tidak pernah menceritakan masalahku, tidak pernah membeberkan perkara sebenarnya. Tapi anehnya, Mama selalu tahu apa pun yang kusembunyikan.

Aku, untuk pertama kalinya dalam hidupku, hari itu luluh sepenuhnya. Aku balas memeluk Mama. Balas menangis di pelukannya. Juga aku, untuk pertama kalinya dalam hidupku, meminta maaf kepada Mama untuk segalanya. Apalagi, gara-gara mengurus masalahku itu, Mama jadi harus membatalkan perjalanannya ke Jakarta, batal menemani kakak keduaku di hari pembukaan butiknya. Padahal, jauh-jauh hari sebelumnya, Mama sudah menyiapkan banyak hal untuk dibawa ke Jakarta. Aku paham betul, Mama amat bangga dengan anak keduanya.

"Kamu yakin ndak mau melanjutkan kuliah, Nduk?" Mama bertanya, membuka pembicaraan. Ah, pembicaraan serius ini sudah dimulai. Tapi berapa kali pun Mama bertanya, jawabanku akan tetap sama. Aku cuma menggeleng, tidak. "Kalau masalah biaya, Maye sudah bilang dia siap menanggung semuanya. Lagipula, Mama juga kan masih punya sawah, masih bisa membantu sedikit-sedikit," Mama melanjutkan. Aku tahu, Mama ingin memperlakukan ketiga anaknya sama rata. Kedua kakakku kuliah meski harus susah payah. Jadi Mama pasti ingin memastikan aku juga bisa kuliah.

"Ma, kuliah kan bukan satu-satunya jalan. Riri memang ingin pilih jalan yang beda. Riri sudah mantap mau langsung kerja. Riri sudah punya rencana sendiri," kataku, mencari jalan lain supaya Mama tidak lagi mengungkit masalah biaya.

"Mama cuma takut kamu menyesal, Nduk,"

"Kalau Riri menyesal suatu hari nanti, Riri enggak akan nyalahin Mama. Riri enggak akan nyalahin siapa pun karena ini keputusan Riri,"

Mama diam. Agak lama. Keputusanku benar-benar sudah final.

"Riri memang ingin langsung kerja setelah lulus SMA, Ma. Enggak apa-apa. Mama enggak usah khawatir. Riri sudah punya rencana,"

"Bapak, ya?"

Mama bertanya sekali lagi. Suaranya terdengar berat, penuh pertimbangan. Bapak, ya?

Kemarin malam, waktu Mama membujuk Maye supaya tinggal lebih lama di rumah, kalimat itu juga akhirnya keluar dari mulut Mama. Maye diam lama sekali, tidak menjawab. Benar-benar cuma diam sampai akhirnya Mama menyerah dan mengizinkannya untuk kembali ke Jakarta besok pagi. Juga sekaligus mengizinkannya untuk sekali lagi melewatkan Lebaran di rumah tahun ini.

"Riri sudah besar. Sudah waktunya mandiri seperti dua kakak Riri. Riri juga anak Mama. Riri enggak mau jadi anomali seperti kata orang-orang. Riri juga sayang sama Mama,"

Malam ini, akhirnya Mama memelukku. Meminta maaf. Aku tidak mengiyakan permintaan maafnya. Tidak juga bertanya untuk apa. Tapi kami sama-sama paham, sama-sama mengerti bahwa tidak ada lagi yang bisa dibicarakan.

...

Cerita sebelumnya yang serupa: "Titan: Sebelah Tangan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun