Lihat saja cerita berjudul "Heaven" yang dibiarkan menggantung tanpa ujung. Seharusnya dia menulis kelanjutan cerita itu minggu ini, tapi katanya sedang tidak punya ide.
"Awas kalau aneh-aneh, ya!" katanya, entah sudah keberapa kali mengingatkan. Aku tertawa. Teringat betapa sulitnya membuat dia mau mengizinkan aku menulis di akunnya dan membuat dia berjanji tidak akan melihat tulisan ini sampai kapan pun.
"Enggak aneh. Percaya deh, orang enggak akan tahu kalau ini bukan tulisan kamu. Kubuat mirip,"
"Memangnya kamu bisa nulis?"
"Loh, di cerita 'Puji' saja aku jadi penulis novel,"
"Itu fiksi, Maye. Kamu yang di sini kan nyata, mana bisa nulis beginian kamu?"
"Bisa!"
"O iya, Mama ke mana?" dia bertanya lagi. Kali ini mengingatkan aku pada inti cerita ini.
"Jempuk Adik, terus katanya langsung nginep di rumah Mbak,"
"Terus kamu?"
"Aku kenapa?"
"Besok katanya mau belanja kain. Sendirian? Aku enggak bisa temenin loh ya besok,"
"Ya sendiri. Dari dulu juga biasa sendiri,"
"Me, jujur deh, kamu enggak pernah benci sama Mama? Sama Bapak? Sama Mbak? Sama Adik?"
"Memangnya kenapa?"
"Ya. Ya. Salah memang aku tanya begitu sama kamu. Malaikat kayak kamu mana pernah benci orang?"
"Pernah,"
"Kapan? Benci siapa?"
"Sekarang. Benci sama kamu,"
Dia tertawa, lalu masuk kembali ke kamarku.
Dia pasti tidak menyangka, aku benar-benar membencinya saat dia bilang bahwa aku adalah malaikat. Aku membencinya setiap kali dia memujiku. Sebab setiap pujian itu membuatku merasa jadi orang munafik. Dan aku benci orang munafik.
Sekali lagi, perkenalkan. Aku Maye. Perempuan. Orang-orang bilang, aku seperti malaikat. Tapi sebenarnya, aku cuma si penakut yang tidak pernah menunjukkan sisi buruknya kepada dunia.
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H