Perkenalkan. Aku Maye. Perempuan. Dan aku adalah si "Anak 2" yang pernah diceritakan oleh seorang penulis lepas dalam cerpen Kompasiana-nya yang berjudul "Puji". Aku tidak pernah bilang kepadanya, tapi kalau ditanya, aku tidak terlalu suka dengan caranya melukiskan aku.
Di cerita itu, rasa-rasanya dia sengaja mendeskripsikan keluarbiasaan Mama supaya aku terlihat seperti perempuan naif, seperti malaikat yang tidak sengaja mewujud di dunia. Di sana, aku tiba-tiba saja digambarkan sebagai sosok yang dengan begitu tulusnya mencintai dan mengagumi Mama---kalau tertarik, silakan baca ceritanya di sini.
Padahal, aku tidak demikian. Memang tidak banyak yang tahu, tapi bagiku, tidak pernah mudah jadi anak kedua, tidak pernah mudah jadi anak yang dianggap serba bisa, tidak pernah mudah menjadi aku. Dan ini adalah rahasia yang tidak ingin kusimpan lagi sendirian: aku tidak selalu bisa mencintai Mama.
"Mama mau ke mana?" Mama tiba-tiba saja muncul dengan berpakaian rapi.
"Mau jemput adikmu. Nanti sekalian mau ke rumah mbakmu,"
"Mama nginap?"
"Iya. Kan mbakmu lagi sakit,"
"Katanya demam biasa, Ma,"
"Memang demam biasa bukan sakit? Mama mungkin nginap 2 hari di sana,"
"Ya sudah, Ma. Hati-hati di jalan,"
Di halaman rumah, kulihat Mama kesulitan menyalakan motor. Aku ikut keluar, membantu. Mama tersenyum sebentar begitu aku bisa dengan mudah menyalakannya.
Setelah bilang kalau aku selalu bisa diandalkan, Mama berlalu. Hendak menjemput anak ketiganya di sekolah. Lantas setelahnya, hendak menginap di rumah anak pertamanya yang sedang demam.
Mama pasti lupa. Kemarin, Mama berjanji akan menemaniku ke pasar pagi-pagi untuk membeli kain-kain bahan jahitan yang akan kubawa ke Jakarta minggu depan. Waktu kubilang tumben dan kutanya kenapa, Mama tertawa sambil bilang ingin jadi penjahit juga dan menyaingiku suatu hari nanti.
Aku sudah besar sekarang.
Dulu, detail-detail kecil kejadian begitu bisa cepat sekali membuatku merasa kecil sekaligus dikecilkan, bahkan pernah juga membuatku menangis sampai sesenggukan. Apalagi waktu tahun lalu Mama batal datang ke acara pembukaan butikku karena mengurus adikku yang bermasalah di sekolahnya. Aku akhirnya uring-uringan seharian.
Sekarang, entah karena memang sudah dewasa atau cuma karena sudah terbiasa, kejadian begitu tidak lagi mengganjal di hati.
Teman-temanku sering bertanya kenapa aku suka sekali melakukan semua hal sendiri. Percaya atau tidak, pacarku pernah bilang, dia merasa aku terlalu mandiri untuk dibersamai. Kami pernah hampir putus gara-gara itu.