Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jejak (Episode 2)

20 Juni 2020   06:58 Diperbarui: 20 Juni 2020   09:30 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu

Pukul 06.30

Sepagi ini kamu sudah datang ke toko bungaku. Bahkan sebelum aku datang dan membuka toko ini, kamu sudah berdiri di depan pintu. Tidak seperti biasa, kamu berdiri agak kikuk. Sisa pertengkaran kita selepas Lebaran bulan lalu masih begitu terasa. Sebenarnya, aku pun agak kaget waktu melihatmu sudah berdiri menungguku datang.

Kupikir setidaknya kamu tidak akan menemuiku hingga sebulan ke depan. Aku tidak pernah menulis lagi tentangmu sejak bulan lalu, sejak pertengkaran kita dan sejak kamu tidak datang lagi ke toko bungaku. Kupikir semua di antara kita sudah selesai.

“Masih marah?” kamu bertanya dengan suara yang sebisa mungkin dibuat biasa saja.

“Enggak, Bi.” Kujawab, kamu tidak percaya. Aku membuka pintu toko, masuk, segera memulai aktivitas seperti biasa. Kamu mengekor sebentar, kemudian tiba-tiba duduk di salah satu kursi di ujung ruangan. Sikapmu masih tidak biasa. Aku tahu kamu ingin bertanya banyak hal kepadaku.

“Sebentar lagi aku akan ditugaskan ke Amerika,” kamu membuka pembicaraan.

Ini masih soal lamaran itu kan, Bi?

Kamu melamarku lagi bulan lalu, di depan Mama. Ingat? Waktu kamu bilang ingin mengajakku jalan-jalan selepas tarawih, aku amat menantikannya. Aku selalu bahagia setiap mendengar kamu ingin mengajakku jalan-jalan. Aku selalu menduga-duga ke mana lagi kamu akan membawaku pergi.

Kamu pernah membawaku jalan-jalan keliling Jakarta pukul 3 dini hari waktu kita masih kuliah semester dua. Kamu pernah membawaku ke toko komik tua yang letaknya jauh tersembunyi di belakang keramaian kota. Kamu juga pernah tiba-tiba membawaku ke pasar tradisional yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Aku suka sekali mendeskripsikan setiap tempat yang kamu tunjukkan di setiap tulisanku. Tempat-tempat itu selalu luar biasa. Selalu bisa membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.

Malam itu, aku bertanya-tanya dalam hati, tempat mana lagi yang akan kamu tunjukkan?

Aku protes waktu kamu ternyata membawaku ke rumah Mama. Aku marah kepadamu waktu kamu tanpa aba-aba melamarku untuk kedua kalinya. Dan kali ini kamu melakukannya di depan Mama. Begitu saja. Padahal kamu lebih tahu dari siapa pun kenapa aku menolak lamaranmu.

...

“Nanti hati-hati ya, Bi. Kayaknya aku enggak bisa antar. Aku juga sebentar lagi ada kegiatan amal dengan Aza. Besok aku juga mau pergi. Kamu enggak usah datang ke sini,” kutanggapi perkataan retorismu.

“Boleh aku tahu kenapa?” kamu bertanya, pasti masih mau membahas soal lamaran itu. Padahal, aku sudah berusaha menutup pembicaraan. Aku berjalan ke arahmu, duduk menghadapimu.

“Bi, aku saja belum siap menerima dan memaafkan diriku sendiri. Aku belum selesai dengan semua masa laluku. Jadi bagaimana mungkin aku bisa berjalan ke depan untuk mendampingi kamu?”

“Aku bisa menunggu,”

Kamu tidak bisa menunggu, Bi. Kamu melamarku lagi malam itu. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kalau kamu tidak bisa menunggu. Aku pun tidak mau memintamu menunggu. Mau tahu kenapa? Karena aku tidak yakin kalau aku bisa berjalan ke depan lagi. Sejak kejadian itu, aku tidak pernah tumbuh. Aku selalu di sini dan tidak pernah ke mana-mana. Kupikir, kamu yang paling tahu betapa aku sebenarnya telah kehilangan duniaku. Ingat kan, Bi? Bertahun-tahun lalu, kamu yang duduk di sampingku waktu aku menangis di pojok kamar kost kecilku.

“Kenapa kamu mau aku menerima lamaranmu, Bi?”

Ini pertama kalinya aku bertanya soal itu. Kita sudah lama berteman. Rasanya sudah hampir seperti keluarga. Apakah aku mencintai kamu? Tentu saja, Bi. Perempuan mana yang tidak akan jatuh cinta dengan kamu? Tapi aku selalu merasa cukup dengan hanya mencintai kamu diam-diam. Aku selalu berdoa agar untukmu, Tuhan berkenan memberikan perempuan terbaik-Nya.

“Abimanyu,”

Aku memanggil nama depanmu. Kamu yang sedari tadi menunduk kini menatapku. Tapi segera beralih begitu aku memanggil nama depanmu untuk kedua kalinya.

“Nanti saja, Za. Nanti saja kita bicarakan ini,” katamu kemudian berlalu. Padahal aku tidak ingin ada nanti. Aku ingin semua hal tentang kita selesai saat ini juga.

...

Jejak (eps. 1) dapat dilihat di sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun