Bila kau jaga aku, ku jaga kau kembali. Berhentilah mengeluh, ingat kau yang pegang kendali. Bersatulah hajar selimut polusi. Ingatlah wahai kau manusia. Tuhan menitipkan aku. Hoo... Di genggam tanganmu.
Aneka rupa rasa di hati begitu saja muncul ketika mendengar bait lagu 'Dengarkan Alam Bernyanyi'. Syair yang digubah oleh Laleimanino ini, bisa begitu saja mengubrak-abrik perasaan di hati. Pesan mulia untuk menjaga bumi tersampaikan dengan jelas dan nyaring, siapa lagi jika bukan untuk manusia yang diamanahkan sebagai pemegang kendali.
Kini bumi tengah sakit. Bukan hanya akibat pemanasan global, tapi juga ketimpangan ekonomi yang diwariskan pandemi. Hiruk-pikuk perdagangan global akibat perubahan iklim dan invasi Rusia ke Ukraina pun semakin menambah rentetan pilu bumi. Sudah bukan saatnya lagi kita mengeluh dan bermain sendiri. Perlu ada gotong royong dan langkah yang riil, serta kolaborasi positif dari milyaran manusia di bumi ini.
Demi menyelaraskan aksi, perlu ada kebijakan global yang diketok pasti. Maka itu, mandat Presidensi G-20 yang dipegang Indonesia dapat diibaratkan seperti trampolin, sebuah landasan yang mampu melambungkan kembali ekonomi dunia yang tengah kritis. Dengan adanya agenda investasi hijau jalur di keuangan, perbaikan ekonomi yang berkelanjutan adalah kunci terselamatkannya ekonomi dunia ini. Siapa lagi jika bukan untuk manusia itu sendiri.
Urgensi Investasi Hijau Untuk Ekonomi Yang Berkelanjutan
Sungguh percuma jika manusia melulu fokus pada raihan pertumbuhan ekonomi, tanpa melirik dampaknya terhadap lingkungan. Pola praktek business as usual memang memberi profit yang tinggi, tapi perannya dalam produksi emisi karbon pun tak kalah besar. Jika dibiarkan, lama-lama sumber daya alam (SDA) akan habis dan keruntuhan ekonomi di masa depan kian pasti.
Emisi karbon dihasilkan tak hanya dari bidang industri dan manufaktur, tapi juga transportasi, elektronik, serta industri barang dan jasa yang dikonsumsi manusia. Alih-alih memberi keuntungan yang besar, tata kelola industri yang tak ramah lingkungan justru menaikkan suhu bumi sehingga mengeruk SDA yang digunakan untuk menghidupkan industri itu sendiri.
Menilik kajian yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), hasil perikanan laut bisa turun hingga 3 juta ton per tahun hanya gara-gara kenaikan temperatur global sebesar 2 derajat. Setali tiga uang, hasil panen pun ikut turun sebesar 7 persen per tahun. Tak hanya itu, risiko lain seperti kenaikan permukaan laut, kepunahan flora fauna, dan terumbu karang pun niscaya terjadi.
Didasari dampak negatif itulah, urgensi pelaksanaan ekonomi hijau menjadi prioritas global. Hal ini tercermin dalam Perjanjian Paris 2015 yang berisi komitmen dalam pembatasan laju pemanasan global di bawah 2 derajat. Investasi hijau dikatakan sebagai langkah akurat demi terciptanya ekonomi yang berkelanjutan. Memiliki fokus pada tata kelola lingkungan dan sosial, investasi hijau melirik perusahaan atau investor yang berkomitmen pada konservasi SDA, produksi dan temuan energi baru terbarukan (EBT), implementasi proyek air dan udara bersih, juga kegiatan investasi yang ramah terhadap lingkungan.
Investasi hijau berkelindan erat dengan prinsip environmental, social, and governance (ESG) yang mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan keuangan dalam pengambilan keputusan investasi. Berbeda dengan business as usual yang menghamba pada keuntungan semata, prinsip ESG dalam investasi diharapkan dapat menyasar dua hal, yakni financial return dan positive impact. Dengan demikian tak hanya keuntungan yang didapat, tapi juga kelestarian alam untuk perputaran ekonomi di masa depan.
Indonesia Maju dengan Investasi Hijau
Indonesia dibekali dengan sumber EBT yang melimpah. Dari mulai tenaga air, panas bumi, biomassa, tenaga surya dan angin, hingga panas laut, ombak dan pasang surut air laut. Dengan variasi dan jumlah EBT yang besar, Indonesia sejatinya memiliki peluang investasi hijau yang sangat besar.
Mengutip dari Kompas.com, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Medrilzam mengatakan, pendapatan per kapita Indonesia akan terus stagnan dan tidak akan mencapai target 12.000-13.000 dollar AS jika tidak menerapkan ekonomi hijau. Dengan demikian, cita-cita menjadi negara maju 2045 akan sulit terealisasikan.
Dengan ekonomi hijau, penciptaan lapangan kerja dan investasi hijau bisa didorong. Menurut Medrilzam, ekonomi hijau dapat menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru di Indonesia pada 2030, yang tiga perempatnya menyerap tenaga kerja perempuan. Masih di tahun yang sama, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dapat meningkat hingga Rp593-Rp638 triliun.
Dengan segala keuntungannya, kini Indonesia tengah serius menerapkan ekonomi hijau yang saat ini jadi fenomena global. Hal ini dibuktikan dengan kenaikan persentase EBT Indonesia yang mencapai 11,20 persen pada tahun 2020. Jika investasi hijau terus diprioritaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 6 persen per tahun, yang ujung-ujungnya memberi dampak positif berupa kenaikan pendapatan per kapita.
Motori Presidensi G-20, Indonesia Punya Taring Untuk Mengembangkan Investasi Hijau
Rangkaian pertemuan dan diskusi Presidensi G20 dilakukan sejak 1 Desember 2021 hingga puncak KTT G20 November mendatang.Â
Forum G20 merupakan pertemuan antar petinggi negara, Gubernur Bank Sentral, kementerian, dan ahli di bidang terkait untuk merumuskan kebijakan strategis demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif pasca badai COVID-19.Â
Demi menyuarakan pentingnya G20 bagi Indonesia, Bank Indonesia pun menyelenggarakan G20 BI-Stronger Fest yang salah satu agendanya adalah Greenfest (festival gaya hidup ramah lingkungan).
Sebagai presidensi dan satu-satunya wakil Asia Tenggara, Indonesia punya taring kuat untuk menentukan arah pembahasan G20 nanti. Indonesia dapat mengorkestrasi agenda pembahasan G20 untuk menghasilkan dampak positif dalam pemulihan aktivitas perekonomian dunia, juga mengangkat isu topikal agar bisa disolusikan bersama dengan negara anggota lainnya.
Presidensi G20 Indonesia memiliki tiga isu prioritas utama, yakni arsitektur kesehatan global, transformasi digital, serta transisi energi berkelanjutan. Transisi energi menjadi isu penting sebab anggota G20 menyumbang sekitar 75 persen dari permintaan energi global. Merupakan bagian dari Jalur Sherpa atau jalur non keuangan, transisi energi memiliki kelompok kerja bernama Energy Transitions Working Group (ETWG) yang fokus pada keamanan energi, akses, efisiensi, transisi energi, teknologi ramah lingkungan, serta investasi hijau.
Mempromosikan investasi hijau menjadi penting karena mampu memulihkan ekonomi nasional dan internasional, juga mengukuhkan posisi geoekonomi Indonesia di pentas global. Investasi hijau juga berperan besar dalam akselerasi penurunan emisi karbon.
Pengejawantahan transisi energi sejatinya telah diterapkan Indonesia secara mandiri dalam beberapa kebijakan, seperti target penurunan emisi karbon, peningkatan pemanfaatan EBT, penggalakan bio energi ke B50, pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT, dan penerbitan green sukuk.
Dari sisi kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia mengembangkan ekosistem Sustainable Finance Instrument (SFI) yakni obligasi hijau dan instrumen pasar keuangan hijau. Bank Indonesia juga terus meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang keuangan berkelanjutan kepada masyarakat melalui capacity bulding yang relevan.
Meski Indonesia sudah mengarah ke sistem ekonomi hijau, transisi energi di Indonesia terbentur kendala berupa investasi dalam bentuk adaptasi teknologi EBT. Bank Indonesia mengungkapkan, transisi energi terbarukan dari energi fosil membutuhkan biaya hingga USD 3,5 triliun dollar AS atau sekitar 50 triliun rupiah. Sungguh nilai yang fantastis, dan agaknya sulit dicapai bila bergantung hanya pada APBN.
Selain teknologi dan dana, kendala transisi energi lainnya adalah keterbatasan sumber daya manusia, ekosistem investasi hijau yang belum sepenuhnya terbentuk, juga masih adanya kebijakan pemberian subsidi untuk energi fosil. Menurut catatan Climate Transparency 2021, Indonesia menghabiskan dana senilai 8,6 miliar dollar AS untuk subsidi bahan bakar fosil di tahun 2019. Pemberian subsidi ini sangat kontra produktif terhadap upaya Indonesia dalam melakukan transisi energi dari fosil ke EBT.
Oleh karenanya, G20 ini menjadi momen penting bagi Indonesia menjalin kerja sama yang lebih erat dengan negara mitra dan lembaga keuangan internasional untuk menemukan mekanisme pendanaan yang inovatif, juga menemukan solusi atas upaya penghentian subsidi bahan bakar fosil yang sejatinya mampu menciptakan level playing field bagi energi terbarukan.Â
Tak hanya itu, harus ada kebijakan yang adil dalam pemberian insentif (misalnya pengurangan pajak penghasilan) dan kemudahan pagi pengembang investasi hijau, juga membentuk ekosistem investasi yang mudah, terbuka, dan pasti bagi para investor.
Dalam rangkaian ETWG yang sedang berlangsung, Indonesia menetapkan target optimis untuk mencapat net zero emission pada tahun 2060.Â
Maka itu, dalam Presidensi G20 ini Indonesia mengajak negara anggota untuk fokus pada sumber pendanaan investasi hijau, salah satunya dengan pembentukan Dana Perantara Keuangan atau Financial Intermediary Fund (FIF) yang menjadi salah satu target pencapaian agenda Jalur Keuangan G20 Indonesia.
Beberapa strategi lain yang perlu dilakukan Indonesia dalam kapasitasnya sebagai presidensi G20 adalah memperkenalkan potensi dan karakteristik EBT di Indonesia, pembuatan skema kerja sama dengan anggota G20 yang sudah mumpuni dalam pengembangan EBT, juga menginisiasi negara anggota untuk menerapkan pajak karbon.
Dukungan negara maju terhadap negara berkembang dalam investasi hijau diyakini sebagai solusi terbaik untuk pemulihan ekonomi dunia yang merupakan tujuan utama Presidensi G20. Jika tujuan ini tidak tercapai, ekonomi dunia bisa semakin carut marut.
Kekompakkan dan gotong royong yang tercermin dalam tema Presidensi G20 amat selaras dengan pesan lagu Dengarkan Alam Bernyanyi. Katanya dalam syair itu, manusia adalah pemegang kendali. Dalam forum G20 ini, kendali itu hadir dengan nyata. Oleh karenanya, diharapkan perhelatan tahunan ini bukan sekadar seremoni. Lebih dari itu, semoga ada kebijakan investasi hijau yang dihasilkan G20, demi terwujudnya pemulihan ekonomi untuk bumi yang kita cintai ini.
Dalam Presidensi G20 Indonesia, dunia harus tumbuh kuat. Dengan investasi hijau, mari kita bangkit dan pulih bersama, demi masa depan yang indah dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H