Mohon tunggu...
Syamsir Abduh
Syamsir Abduh Mohon Tunggu... -

Syamsir Abduh. Lahir di Soni Toli-Toli Sulawesi Tengah, tanggal 16 Desember 1968. Saat ini adalah Guru Besar Tetap FTI Universitas Trisakti dalam bidang Gejala Medan Tinggi dan Ekonomi Tenaga Listrik. Aktif di berbagai organisasi seperti Persatuan Insinyur Indonesia, Masyarakat Standardisasi Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money

Krisis Listrik dan Solusinya

14 November 2009   16:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kondisi kelistrikan telah menunjukkan keadaan yang menghawatirkan, bahkan manajemen PLN menyatakan sistem kelistrikan dalam keadaan defisit. Apakah ini pertanda bahwa telah terjadi krisis kelistrikan? Persoalan terbakarnya trafo Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi 500 kV Cawang hanya merupakan salah satu pemicu terjadinya pemadaman listrik di Jakarta dan sekitarnya. Kondisi pemadaman bergilir ini juga merebak di daerah-daerah lain. Jika mencermati persoalan kelistrikan akhir-akhir ini, maka salah satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah aspek pendanaan/terbatasnya pendanaan. Sumber dana bagi penyediaan listrik dapat diperoleh dari berbagai sumber, baik yang berasal dari penjualan kepada pelanggan ataupun sumber dana pemerintah yang kemudiannya harus diseimbangkan dengan tingkat pendapatan perusahaan listrik (PLN) agar kelangsungan pembagkitan dapat berkelanjutan. Selain dari kedua sumber dana di atas, perusahaan listrik dapat memperoleh dana yang berasal dari investasi. Namun terdapat kelemahan dari alternatif ini karena rate yang diinginkan oleh investor umunya lebih tinggi dari rate of return yang ditetapkan oleh perusahaan listrik. Ketiga sumber pendanaan di atas akan mewujudkan perbedaan kepentingan. Pertama, perusahaan listrik akan berusaha bekerja efisien dalam pengoperasian dan penggunaan modal. Kedua, pemilik akan mengutamakan peningkatan keuntungan dari waktu ke waktu. Ketiga, investor akan mementingkan return dari hasil investasi mereka.

Skenario di atas menggambarkan bahwa penyediaan dan pengelolaan tenaga listrik bukanlah persoalan sederhana apatah lagi dalam perekonomian yang tidak stabil (misalnya krisis ekonomi yang berkepanjangan). Dalam kondisi seperti ini: Pertama, pemerintah kesulitan finansial dalam memenuhi penyediaan tenaga listrik yang terus meningkat. Kedua, menurunnya investasi baru di bidang kelistrikan yang disebabkan oleh selain rate of return yang rendah juga oleh country risk yang tinggi, sehingga perusahaan listrik akan berusaha menaikkan harga listrik (TDL), padahal harga mempunyai pengaruh (price do matter).

Bagaimana mengatasi persoalan ini? Beberapa skenario dapat dijalankan: Pertama, persoalan investasi dapat dipecahkan melalui upaya kontrak jangka panjang, mengapa? Investor umumnya akan mengalami kesulitan jika diberikan opsi jangka pendek, karena jika terjadi sesuatu dan lain hal yang menyebabkan diputusnya kontrak, maka investor akan kesulitan untuk menjual aset (pembangkit) oleh karena jaringan listrik hanya dimiliki oleh PLN, jadi perlu adanya kepastian investasi (menurunkan risiko investasi). Kedua, menghindari terjadinya kerugian kesejahteraan (welfare loss), welfare loss bagi ekonom adalah sumber daya yang tidak bermanfaat, atau bagi seorang insinyur seakan-akan disipasi panas yang berlebihan. Namun, kurangnya perlengkapan maupun adanya kendala menyebabkan halangan mencapai solusi optimal. Seorang ekonom tentu menyadari siatuasi kelasik terdapatnya konflik "efisiensi" dan "ekuiti". Agar konflik ini tidak terjadi, perlu pemisahan dalam pelaksanaan kebijaksanaan tersebut. Jan Tinbergen mengingatkan bahwa "number of instruments for policies more than number policies. Sehingga bilamana sektor listrik terdapat dua kebijaksanaan, yaitu efisiensi dan ekuiti, maka instrumen pelaksana kebijakan itu harus paling kurang dua buah. Dalam kerangka berfikir alan Timbergen ini, maka penyelesaian konflik efisiensi dan ekuiti pada TDL, dapat ditetapkan dengan dua cara. Pertama, penyelesaian di luar tarif. Teknik ini khas Timbergen, penyelesaian efisiensi dan ekuiti secara terpisah. Contoh yang pernah ada, adalah food stamp dan energy stamp, keduanya pernah diberlakukan di Amerika Serikat. Sebagai ilustrasi, misalnya penerima food stamp tetap berbelanja di supermarket pada pasar yang dianggap kompetitif, jadi efisien. Pada waktu selesai berbelanja, food stamp kemudian diserahkan dan merupakan potongan dari belanjaan, pemilik supermarket kemudian menukarkan semua food stamp yang diterimanya pada kas negara menjadi uang tunai. Unsur ekuiti dipenuhi karena adanya food stamp. Skema ini dapat dijalankan pemerintah pada TDL PLN. Siapa yang berhak menerima subsidi maupun jumlahnya sepenuhnya di tangan pemerintah dan/atau DPR, katakanlah dalam bentuk suatu electrcity stamp. TDL ditetapkan pada tingkat harga marjinal jangka panjang, pelanggan tetap membayar TDL menurut harga marjinalnya, tetapi kemudian langsung mendapatkan potongan sebesar stamp yang dimilikinya. Tentunya potongan ini tidak boleh lebih besar dari tagihan listrik yang ditagihkan PLN waktu itu. PLN kemudian mengumpulkan semua stamp lalu menukarkannya menjadi uang tunai pada Kas Negara, Kedua, penyelesaian di dalam tarif. Dalam rangka memperbaiki alokasi sumber daya nasional, maka harga ditetapkan pada tingkat biaya marjinal jangka panjang, kemudian pada tingkat selanjutnya dilakukan koreksi untuk menampung tujuan ekuiti dan hasil akhirnya merupakan struktur tarif yang bebas dari welfare loss.

Welfare loss lainnya yang terjadi adalah terkait dengan manajemen beban listrik dan hubungannya dengan kebijakan penentuan harga. Secara teoritis, suatu harga listrik yang ditetapkan atas prinsip biaya marjinal akan memberikan price signal ke pelanggan untuk menggunakan listrik secara efisien dan dengan demikian akan mempengaruhi pola pemakaian listrik pelanggan itu. Sebai contoh, pemakai industri yang biaya listriknya merupakan komponen besar dari total biaya produksi, mereka bekerja dalam multi-shift akan sangat sensitif kepada insentif tarif. Di Eropa (Perancis, Belgia, Swedia dan Inggeris) merupakan suatu kebiasaan bagi perusahaan listrik untuk mempengaruhi pola harian pemakaian listrik pelanggan melalui tarif waktu beban puncak (WBP) dan di luar beban puncak (LWBP), perusahaan listrik di negara-negara tersebut mempromosikan penggunaan peralatan listrik sfesifik yang dapat memperbaiki bentuk kurva beban sistem, dengan menawarkan time of day metering bagi pelanggan yang menggunakan peralatan tersebut. Hal ini akan menaikkan angka faktor beban sistem dan dengan sendirinya mengurangi keperluan peaking power plant.

Total kurva beban sistem dapat dipengaruhi dengan dua cara yang saling berkaitan. Pertama, dengan perlakukan insentif harga melalui tarif yang berbeda menurut periode harga dalam sehari, misalnya WBP, LWBP, juga midninght, dan early morning. Atau yang berbeda dalam setahun, season dan off season. Skema harga yang berbeda diharapkan dapat mempengaruhi pola pemakaian listrik pelanggan. Kedua, perusahaan listrik dapat mempengaruhi pola pemakaian pelanggan secara langsung dengan merubah waktu penggunaan alat tersebut, atau pun dengan mempromosikan penggunaan peralatan listrik yang dapat merubah waktu penggunaan dari WBP menjadi LWBP.

Masalah manajemen beban listrik dan hubungannya dengan kebijakan harga pada WBP, adalah penting bagi PLN di masa mendatang, mengingat bahwa faktor beban sistem keseluruhan masih relatif rendah dan perlu diperbaiki. Contoh, pelanggan rumah tangga pada kWh sekitar 50%, mereka menggunakan listrik terutama pada WBP, yaitu dari pukul 17.30 hingga 21.30. Manajemen beban sektor rumah tangga memerlukan analisis mendalam mengenai pola beban sistem. Agar dapat ditentukan perubahan mendasar apa yang diperlukan agar tercapai penghematan optimum dari biaya sistem, maka dapat ditentukan dengan menggunakan cara yang saling berkaitan, yaitu mengusahakan menggeser beban ke periode LWBP, sedang saat yang sama mengusahakan beban sektor rumah tangga yang datar selama 24 jam.

Welfare loss karena manajamen beban di sektor rumah tangga tidak begitu serius dibanding welfare loss karena penetapan TDL tidak di tingkat biaya marjinal jangka panjang. Karena penggunaan listrik di sektor rumah tangga di Indonesia umumnya digunakan untuk penerangan, maka secara intuitif sangat sukar untuk mengubah pola pemakaian ke periode LWBP. Meskipun demikian di masa mendatang masalah manajemen beban merupakan aspek yang harus diperhitungkan dalam penentuan harga listrik di Indonesia, terutama bila tegangan menengah dijadikan andalan PLN serta pelanggan rumah tangga menggunakan listrik tidak hanya untuk sekedar penerangan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun