Efek rumah kaca merupakan gejala peningkatan suhu dipemukaan bumi yang terjadi karena meningkatnya kadar CO2 (karbon dioksida) di atmosfer. Gejala ini disebut efek rumah kaca karena diumpamakan dengan fenomena yang terjadi di dalam rumah kaca.
Pada rumah kaca, sinar matahari dapat dengan mudah masuk ke dalamnya. Sebagian sinar matahari tersebut digunakan oleh tumbuhan dan sebagian lagi dipantulkan kembali ke arah kaca.
Sinar yang dipantulkan ini tidak dapat keluar dari rumah kaca dan mengalami pemantulan berulang-ulang. Energi yang dihasilkan meningkatkan suhu rumah kaca sehingga rumah kaca menjadi panas.
Di bumi, radiasi panas yang berasal dari matahari ke bumi diumpamakan seperti menembus dinding kaca rumah kaca. Radiasi panas tersebut tidak diserap seluruhnya oleh bumi. Sebagian radiasi dipantulkan oleh benda-benda yang berada di permukaan bumi ke ruang angkasa. Radiasi panas yang dipantulkan kembali ke ruang angkasa merupakan radiasi infra merah. Sebagian radiasi infra merah tersebut dapat diserap oleh gas penyerap panas (disebut: gas rumah kaca). Gas penyerap panas yang paling penting di atmosfer adalah H2O dan CO2. Seperti kaca dalam rumah kaca, H2O dan CO2 tidak dapat menyerap seluruh radiasi infra merah sehingga sebagian radiasi tersebut dipantulkan kembali ke bumi. Keadaan inilah yang menyebabkan suhu di permukaan bumi meningkat atau yang disebut dengan pemanasan global (global warning).
Bahkan pada saat nara sumber mulai memaparkan berbagai akibat dan bencana alam yang ditimbulkan efek gas rumah kaca dan pemanasan global, maka cara pandang dan mind set saya sudah 100 % sama seperti mind set nara sumber.
Hanya saja ketika nara sumber menginjak memaparkan kaitannya dengan masalah pinalti dan factor ekonomi - yang disitu dicontohkan – salah satunya bahwa karena keterkaitannya dengan efek gas rumah kaca maka Negara kita ternyata terkena “ sangsi “ dimana kita tidak boleh dan DILARANG mengekspor CPO kita jika ditanam di lahan gambut ( dan juga beberapa contoh sangsi ekonomis lainnya ) dan juga bahkan mereka ( negara maju ), menuding bahwa sector Pertanianlah ( Indonesia termasuk Negara agraris ) yang merupakan salah satu penyumbang terbesar efek gas rumah kaca, tiba-tiba saja pola pikir dan mind set saya tentang efek gas rumah kaca bergeser bahkan berbalik mendekati 180 %.
Saya pikir, ini tidak beres, aneh dan patut dipertanyakan !
Setidaknya ada 2 :
Pertama :
Bahwa efek gas rumah kaca, sudah mereka ( Negara maju ) ketahui tidak hanya dalam dasa warsa belakangan ini, tapi sudah jauuuh dari dulu. Tapi anehnya baru dasa warsa belakangan ini mereka gerah, bahkan berteriak keras tentang hal tersebut. Dan menekan Negara-negara berkembang untuk segera mengurangi bahkan menghentikan laju gas rumah kaca tersebut.
Sedangkan sudah diketahui, Revolusi Industri yang dilakukan Negara majulah penyumbang terbesar meningkatnya konsentrasi gas CO2 dan sejenisnya dalam beberapa abad belakangan ini !
Ini tidak beres !
Kedua :
Dilihat dari efek yang ditimbulkan ( perubahan iklim dan terjadinya banyak bencana alam ) sebenarnya negara berkembanglah yang paling banyak terkena dampaknya dan menderita. Negara maju, meski juga terkena, tapi tidaklah separah Negara-negara berkembang.
Sebagai Negara maju, yang notabene adalah kapitalis sejati, dan selalu berorientasi pada factor ekonomi maka hal ini adalah ANEH !
Sedangkan “biasanya” jika Negara berkembang semakin menderita, semakin terbuka peluang Negara maju tersebut memberikan bantuan dan mencengkeramkan pengaruhnya.
( Meskipun bantuan yang diberikan sebenarnya “tidak terlalu banyak“.
Contoh : keseluruhan bantuan Amerika ke semua Negara-negara di Afrika adalah 1,8 Milyar Dollar US setahun. Bandingkan, bantuan yang diberikan kepada hanya untuk “mitranya” Israel guna memperkuat pertahanan negaranya, juga = 1,8 Milyar Dollar US setahun ! ).
Maka bisa diasumsikan, bahwa Negara-negara maju kelihatan gerah dan berteriak keras dasa warsa belakangan ini karena :
1. Saat ini mereka setidaknya sudah mampu meninggalkan teknologi yang banyak menghasilkan gas rumah kaca sedangkan Negara-negara berkembang masih harus berkutat dengannya.
2. Teknologi baru mereka perlu pembeli potensial, yang dalam hal ini tentu saja Negara-negara berkembang.
3. Mereka ingin memberi proteksi produk dalam negeri mereka dan menghambat laju pertumbuhan Negara-negara berkembang.
Untuk tujuan tersebut fenomena efek gas rumah kaca dengan peningkatan emisi CO2 adalah alasan yang dianggap paling logis sebagai kambing hitam untuk memperkuat kepentingan mereka.
Hanya saja ketika saya mencoba menyampaikan asumsi dan pernyataan ini pada acara diskusi seminar tersebut, keburu dipotong moderator dengan alasan waktu telah habis ( atau memang dihabisi ) dan dianggap terlalu menyimpang dari topik utama.
Sedang sang nara sumber masih cukup bijaksana mau memberikan beberapa jawaban dan penjelasan dengan memberikan beberapa contoh penyimpangan fenomena alam yang terjadi akibat pemanasan global, meski bagi saya belum cukup memuaskan. Dan seminar keburu selesai.
Dari jawaban akhir tersebut justru menimbulkan minat dan rasa penasaran saya untuk mempelajari lebih lanjut, sehingga pada akhirnya mencoba mencari-cari jawaban yang lebih dapat diterima.
Dan setelah beberapa lama akhirnya dapat beberapa materi dan data yang justru “berlawanan” dengan mind set dampak efek gas rumah kaca terhadap pemanasan global yang dicoba ditanamkan selama ini, yang “katanya” menyebabkan naiknya muka air laut, penurunan muka tanah, mencairnya es kutub, banjir, naiknya suhu dan perubahan iklim, gagal panen dan sebagainya.
Kurang lebihnya sebagai berikut :
Terjadinya es kutub mencair, naiknya muka air laut, banjir, dituding efek gas rumah kaca adalah biang keroknya.
Jika dihubungkan pada naiknya suhu bumi ada benarnya.
Pertanyaannya : apakah mencairnya es kutub, naiknya muka air laut serta banjir besar yang pernah menenggelamkan bumi beribu tahun lalu ( banjir besar Nabi Nuh ) adalah karena efek gas rumah kaca.
Jawaban yang pasti adalah TIDAK. Karena waktu itu tentu belum banyak yang namanya CO2, SO2 dsb, karena memang belum banyak manusia dan aktivitasnya.
Lalu, naiknya suhu bumi, perubahan iklik yang drastis sehingga banyak wilayah menjadi gurun pasir, juga beribu tahun lalu juga karena efek gas rumah kaca ?
Jawaban yang pasti juga TIDAK !
Karena waktu itu belum ada yang namanya bahan bakar fosil dan sebagainya.
Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Terlebih lagi jika kita simak beberapa temuan astronomi, kosmologi oleh para ilmuwan ( dan NASA ) beberapa dekade belakangan ini, akan lebih mencengangkan, diantaranya :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H