Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Presiden Berhati Rakyat

9 Februari 2022   01:58 Diperbarui: 9 Februari 2022   02:10 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto (ist): Jokowi di Pasar Dairi, Sumut (03/02/2022)

Secara universal, jabatan itu bisa merubah karakter seseorang. Jangankan Presiden, pejabat daerah sekalipun, bisa berubah perilakunya, karena dipengaruhi segala atribut, fasilitas dan derajat jabatan itu sendiri.

Namun anehnya, Joko Widodo alias Jokowi, semenjak menjadi Walikota 2 (dua) periode, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden 2 (dua) periode, tak tampak perubahan signifikan dalam perilakunya sebagai sosok orang nomor-1 dan sangat penting di Negara ini. 

Perhatian dan orientasinya terhadap kesulitan rakyat, selalu menjadi pekerjaan rutinnya. Apa sebenarnya yang membuatnya demikian konsisten? Apa yang membuatnya tidak berubah dalam kedekatannya dengan rakyat di jabatan manapun dia berada? 

Belajar dari beberapa pemimpin dunia yang selalu dekat dengan rakyat, hanya dapat dihitung jari. Sebut saja Nelson Mandela, pejuang anti apartheid Afrika Selatan yang pernah dipenjara, namun akhirnya menjadi Presiden dan selalu dekat dengan rakyat; Mahatma Gandhi, Pemimpin Spiritual dan Politik, yang berjuang melawan kolonial Inggris di India, hingga akhirnya dipenjara berkali-kali, dan menghantar kemerdekaan India, walau akhirnya ditembak mati dan tidak sempat jadi Perdana Menteri walau tinggal menunggu waktu; Presiden pertama Indonesia, Soekarno yang selalu dekat dengan rakyatnya, sejak perjuangan kemerdekaan hingga jadi Presiden; dan ada beberapa nama lainnya yang masih ada dalam sejarah dunia.

Bahkan para pemimpin model ini, sering membuat penguasa menjadi gerah dan khawatir. Karena memang banyak pengikutnya. Keputusan-keputusan dan sikapnya sering menabrak tembok-tembok pertahanan zona nyaman.

Tak dapat dipungkiri, ada benang merah yang menjadi pakem dalam diri mereka yang memimpin rakyat. Yang paling nyata tentunya, perjuangan melawan ketidak-adilan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai komponen dari rakyat itu sendiri. Kepentingan banyak orang, menjadi yang utama.

Pemimpin Ideal

Belajar dari beberapa literatur tentang Kepemimpinan (Leadership), maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan, untuk selanjutnya dijadikan sebagai pencirian yang tampak dari seorang Jokowi sebagai Pemimpin Negara yang ideal di mata rakyat. Tentu, tidak lepas dari Visi dan Misinya sebagai Presiden, yang ingin mewujudkan Negara Indonesia masuk ke strata Negara Maju, dengan Income per Capita minimal US $ 12.000.

Pertama; Adanya tingkat kesadaran yang tinggi (high level awareness) terhadap kehidupan masyarakat. Tingkat kesadaran ini berasal dari kehidupan realitas masing-masing tokoh, sehingga mereka dapat merasakan langsung, apa yang terjadi sesungguhnya. Hal itu pula yang menjadi akar dalam diri mereka, sehingga membuat prinsip hidup yang kemudian mempengaruhi perilakunya, memiliki peredam atau 'self control' yang kuat dalam dirinya.

Jokowi hadir dari keluarga miskin, yang rumahnyapun ngontrak di pinggiran kali. Bhakan hingga 3 (tiga) kali pindah-pindah dan akhirnya juga tergusur penertiban. Ketika kuliah di UGM (Universitas Gajah Mada), Jokowi juga sangat prihatin, karena ayahnya hanya seorang sopir truk dan pernah jualan bambu. Inilah yang membuatnya merasakan betapa sulitnya kehidupan rakyat, di masa ia kecil hingga kuliah.

Kedua; Adanya komitmen yang kuat (strong commitment), yang menjadi pegangan mereka, sehingga tidak mudah goyah dalam posisi atau jabatan apapun yang diembannya. Komitmen yang merupakan sebuah janji terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, menjadi platform standar, baik dalam bermasyarakat, berorganisasi maupun berpolitik. Komitmen menjadi sesuatu yang harus diwujudkan dalam langkah-langkah berikutnya, sehingga terbukti bahwa janji tersebut dijalankan.

Komitmen itu juga datang dari sebuah impian, yang menjadi cita-citanya kemudian, sehingga menimbulkan semangat juang (fighting spirit). Termasuk keinginan untuk beranjak dari kemiskinan. Beranjak dari kemelaratan, menuju kejayaan.

Ketiga, Kejujuran (honesty) terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, termasuk terhadap sumpah jabatannya. Kejujuran mestinya dapat dijadikan sebagai sebuah kebiasaan (habit), sehingga tidak membuat seorang Pemimpin menjadi terkurung dalam berbagai taktik tipu muslihat atau mungkin jebakan batman yang dibuatnya sendiri atau lingkungannya.

Tentu, jujur itu belum tentu dapat dilakukan dalam segala hal. Ada hal-hal tertentu yang mungkin membatasi, dari beberapa aspek kepentingan Negara maupun Pemerintahan. Namun, jika kejujuran terhadap kebijakan yang dibuat, tidak menyengsarakan rakyat, itupun sudah baik. Kejujuran itu sangat ditentukan oleh tingkat kesadaran dan komitmen itu tadi, sehingga dapat terlihat selaras dengan perwujudannya. Kejujuran itu sering diukur dari segi keselarasan antara perkataan dan perbuatan.

Keempat; Ikhlas (Sincere). Perihal ikhlas atau tulus ini terkait dengan keluhuran seseorang berbuat atau mengerjakan sesuatu, tanpa pernah berharap imbal jasa di kemudian hari. Inilah yang paling berat bagi seorang Pemimpin atau Pejabat Negara, karena sebagai seorang Pemimpin atau Pejabat, melekat kekuasaan atau kewenangan (authority).

Kewenangan yang paling menggiurkan atau menggoda adalah dalam hal menentukan anggaran. Karakter dan sifat manusia, bisa sangat mempengaruhi sikap manusia, jika memiliki kekuasaan yang tinggi. Disinilah sebenarnya tingkat kerawanan bagi setiap Pejabat, jika imannya tidak kuat.

Yang jadi pertanyaan, sudah 17 tahun (sejak tahun 2005, Jokowi Walikota Solo, hingga sekarang tahun 2022, Presiden) memegang anggaran dari ratusan milyar hingga ribuan triliun, mengapa Jokowi tidak tergiur memanfaatkan kewenangannya untuk korupsi? Padahal kesempatan itu sangat terbuka peluangnya. Disinilah letaknya, kejujuran dan keikhlasan serta komitmen itu menguasai dirinya, hingga menjadi habit dan standar platformnya dalam bertindak.

Bahkan beberapa pemberian kepadanya sebagai Pejabat, diserahkan kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), baik yang diterimanya dari luar Negeri maupun dalam Negeri. Apakah Pemimpin Negara yang lain ada yang demikian?

Kelima; Sudah selesai dengan dirinya sendiri (done with himself). Perihal ini menggambarkan, bahwa dirinya tidak lagi ingin memperkaya diri sendiri. Dia sudah selesai dengan ambisi pribadinya, untuk menjadi orang terkaya, misalnya. Jokowi tidak silau lagi dengan harta benda yang pada umumnya diagung-agungkan banyak Pejabat atau Penguasa, sehingga membuat mereka menjadi seorang koruptor.

Sebab, jika Presiden Jokowi masih belum selesai dengan dirinya, maka segala sesuatu sebenarnya sangat mudah dia ciptakan. Seperti zaman Presiden Soeharto, yang membuat berbagai Keppres, Inpres, dan berbagai pras-pres lainnya, hingga tekanan terhadap para Menterinya, untuk memuluskan bisnis anak-anaknya di zaman Orde Baru.

Namun, sekali lagi, Jokowi membuktikan, kekuasaan itu tidak identik dengan kerakusannya. Dia tidak bergeming dengan kekuasaan yang nyaris mutlak di tangannya. Dia memegang teguh terhadap komitmen dan kesadarannya yang tinggi, bahwa anggaran itu adalah uang rakyat. Bukan uangnya.

Selalu Dekat Dengan Rakyat

Kunjungan Presiden Jokowi ke kawasan Danau Toba baru-baru ini (3 & 4 Feb 2022), kembali membuktikan kedekatannya dengan rakyat. Beberapa kali dia kunjungan ke pasar, seperti di kabupaten Toba, Humbahas dan Dairi, dia tak pernah kelihatan canggung dekat dengan rakyat. Sekalipun dia Presiden dengan derajat atau levelnya sangat-sangat tinggi.

Salah satu yang paling menarik di pasar Dairi, seperti yang kita ketahui dari video yang tersebar di media sosial, yang menunjukkan ada seorang pria tiba-tiba memperlihatkan sebuah gambar, yang nampaknya meminta tandatangannya. Kendati pria yang menyodorkan gambar tidak siap dengan pulpen untuk tandatangan, sehingga membuat para pengawal sibuk mencari pulpen, namun Jokowi tetap saja sabar menunggu pulpen didapatkan, dan kemudian menandatanganinya.

Karena itu tampaknya diluar agenda, sebenarnya bisa saja dia tolak secara halus, karena pulpen tidak disediakan pria tersebut. Bisa saja Presiden mengatakan akan ditandatangani nanti jika tidak sibuk, dan foto itu sementara dibawa pengawal. Atau, ada beberapa alasan lain yang mungkin saja diungkapkan. Tapi, itupun tidak. Dia tetap menandatangani dengan ikhlas.

Hal lain yang menarik, ketika Jokowi ingin masuk ke mobil jeep atap terbuka, dia belok sebentar ke arah kerumunan masyarakat. Bertegur sapa dan salam-salam, baru naik ke jeep dan dadagh-dadagh. Tampak sangat tulus dia lakukan. Bahkan mungkin, ada atau tidak ada kamera, sikapnya akan sama saja seperti itu.

Disinilah letak sosoknya sebagai Pemimpin Negara yang sangat lekat dengan hati rakyat. Dia tahu, rakyat hadir disitu untuk setidaknya melihat secara dekat, wajah dari Presidennya. Jokowi sangat menyadari itu, sehingga dia sepertinya tidak terlalu membatasi diri untuk berdekatan dengan rakyat.

Padahal, Paspampres dan aparat sudah sangat repot menjaga kondisi yang seperti itu. Karena bisa saja tingkat kerawanan yang tidak disadari akan terjadi, jika berada diantara kerumunan seperti itu. Namun sekali lagi, Jokowi sangat yakin rakyatnya juga akan tertib, walaupun dirinya mendekat ke kerumunan itu.

Hal serupa juga dilakukan Jokowi seperti di Maumere, Nusa Tenggara Timur pada waktu itu. Melihat antusiasme masyarakat, dia turun dari mobil ditengah jalan yang tidak beraspal. Bahkan ada seorang anak histeris ingin mendekat, dan dicegat aparat. Namun dia memperbolehkan mendekat. Luaaarr biasa.

Demikian juga di Papua, dan di beberapa daerah lainnya, sejak tahun 2014 dirinya menjadi Presiden. Konsisten dalam kedekatannya dengan rakyat. Sama juga ketika dia ke mancanegara, dimana warga negara Indonesia maupun penduduk asal Indonesia, bisa berselfi-ria dengannya. Nyaris tanpa jarak, yang kadang-kadang kita melihat para Paspampres jadi kelabakan.

Banyak lagi contoh yang dapat dijadikan pembuktian. Kendati ada saja beberapa gelintir orang yang selalu nyinyir mengatakan Presiden Jokowi menciptakan 'pencitraan'. So, apalagi namanya, kalau bukan disebut: Jokowi itu Presiden berhati rakyat? (Jakarta, 05 Februari 2021). Telah ditayangkan di batakindonesia.com

Oleh: Danny PH Siagian, S.E., M.M (Pemerhati Sosial Masyarakat dan Ekonomi/ Dosen)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun