Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyimak Pidato Awal Presiden Jokowi Pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI 2019-2024

21 Oktober 2019   18:53 Diperbarui: 21 Oktober 2019   19:16 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyimak pidato awal Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo (Jokowi) yang terlihat tanpa teks, pada Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden R.I periode 2019-2024, Minggu 20 Oktober 2019 dalam Sidang Paripurna MPR R.I, ada beberapa hal yang menarik sebagai terobosan dan penting dicerna.

Dalam pidatonya yang lugas, Presiden Jokowi nampaknya lebih berorientasi kepada peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) dan kemajuan perekonomian. Dan sangat terlihat jelas, spirit dan komitmennya untuk mewujudkan impian peningkatan strata income per capita, dari kelas Negara berkembang menuju Negara maju.

Dikatakan pada pembukaan pidatonya, bahwa mimpi Indonesia di tahun 2045 pada satu abad Indonesia merdeka mestinya, Indonesia telah keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah. Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan menurut hitung-hitungan Rp. 320 juta per kapita per tahun atau Rp. 27 juta per kapita per bulan. Itulah target kita bersama, katanya.

Menurutnya, mimpi di tahun 2045 itu, Produk Domestik Bruto Indonesia mencapai 7 triliun dollar AS, Indonesia sudah masuk dalam 5 (lima) besar ekonomi dunia dengan kemiskinan mendekati nol persen. Dan untuk mengarah ke sana, harus terus mengembangkan cara-cara baru dan nilai-nilai baru.

Sebab itu, ada 5 (lima) poin yang menjadi penekanan untuk mewujudkan impian di 2045 tadi yaitu: pertama, dalam pembangunan SDM yang menjadi prioritas utama; kedua, melanjutkan pembangunan infrastruktur; ketiga, menyederhanakan segala bentuk kendala regulasi; keempat, penyederhanaan birokrasi; dan kelima, transformasi ekonomi, menjadi sangat strategis.

Tentu, yang menjadi pertanyaan, apakah nanti 25 tahun lagi, income per capita akan masih tetap di posisi sekarang yang tercatat sebesar Rp. 320 juta per kapita per tahun? Dan apakah terobosan sekarang akan masih cukup up to date untuk mewujudkannya?

Kendati demikian, yang pasti, terobosan Presiden Jokowi yang ditarget sekarang ini, menjangkau 2,5 (dua setengah) dekade ke depan. Ini jelas sangat berani dan sekaligus menjadi pekerjaan berat. Dan kalau tidak dimulai dari kerja keras yang dilakukan dari masa pemerintahannya periode lalu, maka sang Presidenpun mungkin tidak akan berani menargetkan seperti itu.

Menyibak data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2018 menurut Badan Pusat Statistik (BPS), maka Pendapatan per kapita (income per capita) meningkat menjadi US$ 3.927 atau sekitar Rp 56 juta per kapita per tahun. Sedangkan tahun 2017 PDB per kapita Indonesia mencapai Rp 51,89 juta setara US$ 3.876,8, atau naik sekitar US$ 50,2 (naik 1,2%).

Jika dikaitkan dengan target pencapaian PDB Rp. 320 juta per kapita 25 tahun lagi dibandingkan sekarang masih di PDB Rp. 56 juta per kapita per tahun, maka dibutuhkan angka Rp. 264 juta lagi, atau 5,7 kali lipat dari sekarang atau 570% lagi peningkatannya. Sedangkan periode Jokowi menurut UUD 1945, tinggal periode ini saja, karena sudah dua periode berturut-turut. Bagaimana 4 (empat) periode setelah 2024 nanti? Siapa yang menjamin sustainable dari apa yang dicanangkan sekarang ini?

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian income per capita itu adalah: PDB/GDP pada harga yang berlaku periode tertentu, dengan jumlah penduduk. Jika faktor hasil produksi dan jasa yang masuk dalam perhitungan PDB tidak memiliki peningkatan yang progresif, maka akan mempengaruhi laju income per capita.

Demikian juga jika laju pertumbuhan penduduk tidak dapat dibendung, maka peningkatan riil dari income per capita, akan menjadi tidak signifikan. Artinya, kalau pertumbuhan barang dan jasa naik, tapi pertumbuhan penduduk juga naik, maka pendapatan riil rata-rata masyarakat tidak akan terasa lompatannya.  

Oleh sebab itu, maka 5 (lima) poin yang dikatakan Presiden Jokowi, nampaknya merupakan kebijakan (policy) yang sekaligus akan menjadi strategi untuk mencapai target meningkatkan kelas penghasilan dari Negara berkembang ke Negara maju. Tentu, dengan beberapa asumsi yang mendukung kebijakan tersebut, dari aspek yang mempengaruhi langsung faktor-faktor tersebut, hingga tahun 2045 nanti.

Dimulai dengan membenahi SDM, dengan kebijakan peningkatan kualitas SDM, antara lain meningkatkan pendidikan, yang nantinya diharapkan akan meningkatkan kreatifitas dan produktivitas. Didukung dengan mendatangkan talenta-talenta global untuk kerja sama. 

Hal pendidikan ini bisa jadi berpengaruh terhadap konsentrasi bidang pendidikan tinggi, yang mungkin akan menciptakan nomenklatur baru kementerian pendidikan tinggi secara spesifik.

Dalam hal regulasi berkaitan, Presiden Jokowi akan melakukan penyederhanaan. Hal ini dimaksudkan untuk mengefisienkan cost, dan memotong waktu proses pengurusan izin yang masih dianggap berbelit-belit. Tentu penyederhanaan ini akan mendorong peningkatan usaha, terutama UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang didukung pertumbuhannya.

Ada hal yang menarik tentang rencana adanya UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan UMKM. Sebab menurutnya, selama ini ada puluhan UU berkaitan yang menghambat penciptaan lapangan kerja, sehingga Omnibus law izin ini perlu langsung direvisi sekaligus. Demikian juga puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM, juga akan langsung direvisi.

Komitmen ini tentu akan membuka seluas-luasnya kesempatan kerja, dengan SDM yang berkualitas tadi. Demikian juga dalam hal UMKM, dengan revisi UU, akan membangun ekosistem investasi, dan pasti akan mendorong peningkatan hasil produksi dan jasa.

Dalam mendukung pelayanan, komitmen penyederhanaan birokrasi harus perlu dilakukan besar-besaran. Investasi yang penciptaan lapangan kerja harus diprioritaskan, dan prosedur yang panjang harus dipotong dan Eselonisasi harus disederhanakan.

Untuk hal ini, Presiden Jokowi nampaknya tidak tanggung-tanggung. Sebab selain memangkas prosedur, juga memperpendek mata rantai birokrasi, tapi membuka kesempatan jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi. Lebih dahsyat lagi, akan segera mencopot Menteri atau pembantunya yang tidak serius bekerja.

Jika dikaitkan dengan programnya di periode pertama dengan Revolusi Mental, maka nampaknya kini tiba saatnya Presiden Jokowi ingin memacu dan menuntut SDM birokrasi yang handal. Sekaligus hal ini akan menyaring orang-orang yang bermental dan berbudaya amtenar seperti yang dikenal dalam masa Orde Baru, untuk segera melakukan perubahan dan mengikuti tuntutan kemajuan.

Yang lebih serius lagi, ukuran kinerja akan dilihat dari beberapa aspek tadi, setidaknya: apakah rajin atau tidak; kreatif atau tidak; inovatif atau tidak; dan produktif atau tidak. Hal ini nampaknya seperti budaya di swasta yang selalu mengukur kinerja dengan produktivitas dan hasil kerja.

Sedangkan untuk bidang infrastruktur, ini merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dilakukan dalam periode pertama kepemimpinannya. Tentu, dalam hal transformasi ekonomi, ini merupakan peningkatan daya saing dari sumber daya alam, yang mengarah kepada peningkatan nilai tambah secara ekonomisnya.

Tak Singgung Radikalisme 

Dalam pidato yang kurang lebih 15 menit dan tidak monoton itu, anehnya sama sekali tidak menyinggung soal politik, sosial, pertahanan keamanan, pendidikan tinggi, lingkungan hidup dan lain-lain. Apalagi soal radikalisme yang nyata-nyata menjadi ancaman terhadap rongrongan ideologi Negara.

Padahal, situasi terakhir menjelang pelantikan, demo mahasiswa dan maraknya pengaruh terpaparnya radikalisme yang ditemukan, makin menimbulkan ketidaktenteraman masyarakat. 

Ditambah lagi dengan tertusuknya Menkopolhukam, jenderal TNI (Purn) Wiranto, oleh seseorang yang terindikasi jaringan teroris, yang bagi sebagian orang nyinyir menjadi bahan olok-olok.

Namun, Presiden Jokowi nampaknya meyakini, hal itu akan tetap ditanggulangi secara intensive dari sisi pertahanan dan keamanan. Karena, secara sepintas Jokowi juga mengatakan, bawa peningkatan kualitas SDM harus didukung oleh ekosistem politik yang kondusif dan dengan ekosistem ekonomi yang kondusif.

Memang, jika rakyat Indonesia masih saja berkutat dalam perselisihan dan pertengkaran yang tidak mendukung terhadap peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan, maka energi Pemerintah dan aparat juga akan tersedot hanya untuk mengatasi persoalan yang tidak menghasilkan nilai tambah kualitas hidup. Gangguan-gangguan yang kontraproduktif seperti itu, harus secara paralel ditanggulangi juga dengan serius.

Oleh sebab itu, maka dengan strategi meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan, diharapkan akan meminimalisasi kesenjangan cara pikir dan pola perilaku, menuju karakter masyarakat yang makin beradab dan bermartabat.

Semoga kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden K.H Ma'ruf Amin dapat menorehkan keberhasilan dari segala sesuatu yang menjadi harapan dan cita-cita bangsa, menuju Negara maju dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun