Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pasca-pemilu 2019, Mestinya Rakyat Kembali Damai

26 Mei 2019   05:21 Diperbarui: 27 Mei 2019   05:39 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa sesungguhnya yang ingin direbutin dan diributin lagi pasca Pemilu (Pilpres dan Pileg) 2019 ini? Bukankah sudah terlaksana dengan baik tanpa 'chaos'? Bukankah sudah diumumkan siapa Presiden dan Wakil Presiden Terpilih? Apakah perhitungan manual KPU (Komisi Pemilihan Umum) dari tingkat daerah hingga pusat bukannya disaksikan puluhan juta pasang mata, sehingga dapat ditentukan hasil perhitungannya?

Mencermati situasi dan kondisi masyarakat pasca Pemilu 2019, yang justru menimbulkan kerusuhan di berbagai daerah, khususnya di Jakarta, dan pecahnya peristiwa 22 Mei 2019 yang menimbulkan 250 orang lebih korban bentrok di jalanan, maka menjadi sesuatu yang aneh, jika masih ada yang ribut-ribut. Bahkan informasi belakangan ketahuan, ada 8 (delapan) orang yang meninggal.

Sangat disayangkan, jika kematian diantara korban, ada yang tidak mengerti sama sekali, dan tidak pro terhadap pihak manapun, hanya karena ikut-ikutan melihat para pendemo. Yang menjadi polemik lagi, korban meninggal disebabkan kena tembak peluru. Dan untuk hal ini, polisipun membantah, bahwa peluru yang ditemukan, bukan jenis peluru yang biasa digunakan polisi. Nah lo, siapa dong yang nembak?

Jika ada pihak-pihak yang menilai adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu, hendaknya masalah tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang perihal sengketa Pemilu. Bukan menciptakan kegaduhan baru, yang berakhir bentrok di jalanan, dan menyisakan persoalan demi persoalan.

Masyarakat juga mestinya menghindari perpecahan dan gontok-gontokan satu sama lain, serta  jangan mau terjebak dengan hasutan-hasutan dari pihak manapun. Apalagi menjadi korban sia-sia, hanya karena mempertahankan fanatisme dan emosional, yang akhirnya berujung maut dan penderitaan diri sendiri dan keluarga.

Pasca Pemilu 2019 ini, hendaknya seluruh rakyat Indonesia menyadari, bahwa mengutamakan kesatuan dan keutuhan NKRI, jauh lebih penting dan berharga, daripada sekedar kepentingan kelompok dan para elit politik, yang pada dasarnya hanya bersifat sementara dan selalu politis.

Bahwa proses demokrasi dengan pilih-memilih jagoan masing-masing sudah usai. Tidak perlu lagi mestinya terbawa-bawa emosi dan kebencian terhadap pihak yang menang. Ini kan demokrasi. Kalah-menang menjadi pakemnya. Tidak ada yang 'draw' dalam hal ini. Sebab jika terjadi 'draw' pasti akan terjadi 'siaran ulang'.

Oleh sebab itu, kembali kepada pekerjaan, profesi maupun usaha masing-masing, sebagaimana sebelumnya, rasanya itu lebih bijak. Sebab mungkin, sudah ada hampir 2 (dua) tahun masa sosialisasi hingga kampanye kedua paslon Presiden dan Wakil Presiden diwarnai dengan: perang opini, perang dingin, sengit-sengitan, menyebar hoaks, perdebatan formal dan informal, perselisihan, permusuhan (bahkan dalam keluarga atau pertemanan, karena beda pilihan), culik-culikan,  bahkan hingga terakhir bentrok pendemo yang kemudian disebut perusuh karena ingin memaksa masuk ke Bawaslu, dan berani berhadapan dengan aparat, dan akhirnya berujung maut dan penderitaan keluarga.

Rakyat Indonesia mestinya kembali lagi hidup damai, aman dan tentram, serta menata dan menjalin kehidupan bermasyarakat, yang rukun berdampingan satu dengan lainnya, dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Sebagai sesama anak bangsa, hendaknya dapat bersama-sama menatap jauh kedepan, dalam menyongsong pembangunan masyarakat yang adil dan makmur, dari generasi ke generasi, serta bersama-sama mewujudkannya, sebagaimana cita-cita berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Mari kita kejar ketertinggalan dari negara yang sudah maju sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun