Natal 2014 telah tiba. Mestinya, Natal menjadi sebuah ajang kemeriahan, yang diikuti dengan gegap-gempitanya suasana.
Tapi, apakah semua umat Kristiani merasakan demikian?. Berapa banyak yang mampu menyambut Natal dengan gegap gempita, dan berapa banyak yang justru merasakan keterpurukan?
Begitu berat himpitan ekonomi yang terjadi di masyarakat, pasca kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), yang baru ditetapkan Pemerintah bulan November lalu. Dan ini tentu seluruh masyarakat merasakannya, khususnya, umat Kristiani.
Setidaknya, ada 2 faktor penyebab kenaikan harga barang rata-rata, yang dipahami masyarakat. Yang pertama, akibat kenaikan harga BBM, sedangkan yang kedua, kenaikan yang disebabkan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan bahan-bahan pokok menjelang Natal dan Tahun Baru, yang menyebabkan peningkatan permintaan barang (demand).
Hal ini menyebabkan harga barang kebutuhan pokok melambung tinggi. Bahkan kenaikannya ada beranjak dari 30 hingga 80 persen. Nyaris tak ada cerita harga barang-barang naiknya sedikit.
Sebagai contoh, harga cabai di berbagai daerahpun masih ada yang bertengger di harga Rp. 80.000,- per kilogram. Padahal tadinya harga berada di Rp 40.000 hingga Rp. 60.000,-. Demikian juga harga daging sapi, yang masih bertengger di harga Rp. 100.000,- per kilogram, dari yang tadinya antara Rp. 60.000,- - Rp. 80.000,-. Harga telur, gula pasir, bawang, sayur mayur, dan lain-lain. Hampir tak satupun harga sembako (sembilan bahan pokok) yang tidak mengalami kenaikan. Belum lagi tarif transportasi umum yang melonjak, hingga barang-barang sekunder lainnya yang menyesuaikan naik, dari 30 hingga 40 persen.
Secara otomatis, biaya hidup (cost of living) masyarakat secara umum juga meningkat. Asumsinya, dengan porsi yang sama, tapi biaya rata-rata kebutuhan meningkat. Jadi, untuk meningkatkan porsi kebutuhan, dibutuhkan peningkatan anggaran biaya konsumsi yang berlipat ganda.
Selain itu, harga TDL (tarif Dasar Listrik) maupun Tarif Air Minum PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang terus naik secara berkala. Setiap bulan mengalami kenaikan. Perlahan, namun pasti. Yang kalau dihitung, kenaikan per 4-6 bulan presentasenya cukup signifikan, hingga 30 persen. Padahal, listrik dan air menjadi kebutuhan pokok rumah tangga.
Belum lagi biaya-biaya umum lainnya dalam setiap rumah tangga yang sangat bervariasi, namun tak bisa ditawar. Seperti: biaya transportasi mudik (bagi keluarga-keluarga Kristiani khususnya); biaya semesteran anak sekolah hingga anak kuliah; dan lain-lain. Tentu, jika ditelusuri, sangat banyak keluarga-keluarga yang merayakan Natal dan Tahun Baru, yang nota bene juga sekaligus liburan akhir tahun, yang merasakan beratnya kondisi seperti ini. Intinya, makin banyak rakyat yang jatuh miskin.
Maka, tak aneh bila para mahasiswa terus berdemo, menentang kenaikan harga BBM. Demikian juga demo buruh di berbagai daerah, yang meminta kenaikan upah, untuk menyesuaikan daya beli terhadap kenaikan indeks harga rata-rata harga kebutuhan barang konsumsi. Karena mereka tentu sudah memperhitungkan efek kenaikan BBM. Dan itu pula yang menjadi cermin kesulitan yang dialami sebagian besar masyarakat secara umum.
Sebab itu, yang menjadi tantangan adalah, bagaimana sebenarnya penyambutan Natal dan Tahun Baru dalam kondisi himpitan ekonomi seperti itu? Dan bagaimana pula perayaan Natal di daerah-daerah yang mengalami bencana alam seperti di Banjarnegara (misalnya); di pengungsian letusan Gunung Sinabung; daerah-daerah lainnya yang mengalami banjir bertubi-tubi akibat musim hujan?
Sungguh tak terpikirkan, bagaimana rasanya masyarakat yang terkena dalam kondisi lengkap seperti itu? Dan bagaimana caranya menyiasati kesulitan ekonomi, dalam tuntutan perayaan Natal yang mestinya mencerminkan sukacita dan gegap-gempita?
Kemampuan Memaknai Natal
Dalam situasi dan kondisi demikian, tentu masyarakat Kristiani harus mampu melakukan pemaknaan Natal yang lebih mendalam. Bahkan barangkali, dituntut kemampuan untuk men-drive kegundahan hati dan kekhawatiran, menjadi keteguhan dan kegembiraan. Bahwa Natal itu bukan sekedar gegap gempita dengan kemeriahan pesta pora. Bukan pula diukur dengan kualitas dan kuantitas makanan yang terhidang di rumah-rumah umat yang merayakannya. Tentu juga bukan harus berpakaian serba baru dan mahal.
Tuntutan kemampuan memaknai Natal ditengah himpitan ekonomi, bagai salah satu ujian mental. Ujian mental yang harus mampu melawan hawa nafsu euforia glamoritas yang menjadi tradisi. Ujian mental ini juga termasuk menerima cibiran kaum intelek dan proletar, yang bertipikal serba mewah-meriah.
Tentu, pemaknaan ini tak lepas dari kisah kelahiran Yesus Kristus di palungan di kandang domba, di Betlehem. Sangat amat jauh dari kemewahan. Jutru dalam kesederhanaan, ada terang kemuliaan yang bersinar. Inilah makna Natal yang sesungguhnya.
Beranjak dari keprihatinan dengan selalu mengucap syukur, tentu akan lebih menguatkan hati. Akan lebih menghibur diri. Bahwa sepanjang kita masih diberi nafas kehidupan dan kesehatan oleh Yang Maha Kuasa, maka rasanya tak perlu berkeluh kesah. Sebab hidup ini bukan untuk ditangisi. Tapi untuk disikapi. Selamat Natal...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H