Mohon tunggu...
Danny PH Siagian
Danny PH Siagian Mohon Tunggu... Dosen - Menulis, Menulis dan Menulis

Jurnalis dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

‘Cuci Piring’ dalam 100 Hari Kabinet Kerja Presiden Jokowi

31 Januari 2015   13:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:03 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang bisa kita lihat dari kinerja pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam 100 hari kerja, untuk 1800 hari periodenya?

Hingga akhir Januari 2015 ini, dapat kita katakan tak lebih dari sekedar ‘Cuci Piring.’ Mengapa? Karena demikian banyaknya masalah yang sedang dihadapi bangsa ini, ketika Jokowi baru menduduki kursi Presiden. Barangkali, jika dihitung masalah-masalah besarnya, bisa puluhan bahkan ratusan.

Secara otomatis, maka kabinet pemerintahan Jokowi akan menggunakan filosofi ‘cuci piring’ dulu, baru bisa menggunakannya. Kabinet kerja Jokowi harus terlebih dahulu membersihkan piring, untuk bisa dipakai menyajikan program-program selanjutnya.

Tentu, cuci piring yang dimaksud dalam hal ini diasumsikan menyangkut dengan pembersihan, pembenahan, penataan untuk dapat digunakan kembali. Dari segi kinerjanya, maka dapat kita katakan, ini tak punya nilai. Karena itu belum masuk terhadap hasil dari sebuah program kerja.

Selain itu, pada umumnya ganti Pemerintahan, ganti Kabinet. Ganti Kabinet, ganti aturan main. Ganti aturan main, ganti pula gaya pemerintahan, dan seterusnya. Dalam posisi ini, maka kabinet Jokowi harus bisa paralel menjalankan peran cuci piring, pengenalan medan, menetapkan kebijakan baru, sekaligus memulai implementasi programnya.

Apakah bisa kita hitung, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tak ada yang mampu secara tepat mengukurnya. Dan tentu, akan sangat berbeda situasinya, ketika periode pemerintahan sebelumnya tidak banyak meninggalkan masalah. Belum lagi pada pemerintahan Jokowi, banyak masalah yang timbul.

Coba kita simak beberapa persoalan besar yang dihadapi Presiden Jokowi- JK (Jusuf Kalla) sejak memimpin republik ini. Pertama, Munculnya keputusan DPR RI tentang Undang-undang Pilkada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) Tidak Langsung (melalui DPRD) yang berbuntut semakin meruncingnya konflik politik antara Koalisi Merah Putih (KMP) dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH); Kedua, Kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sangat berdampak luas di seluruh Nusantara; Ketiga, Pengambilan kebijakan terhadap Pemberantasan Mafia Migas; Keempat, Pembenahan dan penertiban bidang Perikanan dan Kelautan yang sempat bikin heboh; Kelima, Mengatasi Perseteruan antara TNI-Polri; hingga Keenam, terakhir ini, Mengatasi perseteruan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) versus Polri; dan lain-lain.

Sejalan dengan penanganan masalah ini, maka kabinet Jokowi dalam berbagai bidang di Kementerian, juga sekaligus melakukan pembenahan dan kebijakan-kebijakan baru. Pembenahan dan penetapan kebijakan baru ini tentu membutuhkan waktu untuk sosialisasi penerapannya.

Demikian banyak kebijakan yang terpaksa harus berubah, untuk menyelaraskan antara Visi-Misi, serta sasaran Jokowi-JK saat kampanye, dengan sistem pemerintahan yang sudah ada sebelumnya. Sehingga pasti membutuhkan waktu dan gerakan penyesuaian, di masing-masing bidang kementerian, maupun lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.

Beberapa penyesuaian itu antara lain: Adanya gebrakan baru Kementerian Kelautan dan Perikanan; Berubahnya Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat digabung menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; Berubahnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset dan Teknologi dilebur menjadi dua kementerian yaitu: Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah, dan satunya adalah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Berubahnya Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat diubah menjadi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan; Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dilebur menjadi Kementerian Tenaga Kerja, dan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Selain itu, ada 10 lembaga non struktural yang dihapus Jokowi (dari rencana 50-an lembaga), karena dianggap sebagai pemborosan keuangan Negara. Beberapa diantaranya yaitu: Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional; Dewan Buku Nasional; Komisi Hukum Nasional; Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia;Dewan Gula Indonesia; dan lain-lain. Untuk kasus ini, sangat jelas pekerjaan ‘cuci piring’nya, karena gabungkan ke kementerian atau lembaga yang ada.

Keberhasilan Belum Tentu 10 Persen

Jelas, dapat kita lihat, ada banyak masalah yang harus segera diatasi, dan banyaknya perubahan dalam sistem tata laksana pemerintahan yang harus dilakukan. Tentu, butuh waktu dan gerakan penyesuaian, sambil paralel memulai program baru.

Lantas, jika masyarakat ingin menagih janji-janji kampanye Jokowi-JK pada 100 hari pemerintahannya, maka apanya yang akan kita ukur? Jika ingin mengukur keberhasilan, maka, bukankah dalam kurun waktu 5 tahun (1800 hari) pemerintahan Jokowi-JK, baru kita bisa ukur? Atau setidaknya, dalam 1 tahun, baru bisa dievaluasi?

Jangan-jangan, jika kita ukur keberhasilan yang dicapai kabinet Jokowi-JK sekarang, dari janji-janji kampanyenya sebagai Presiden-Wakil Presiden, belum tentu mencapai 10 persen. Karena terlalu banyak masalah dan penyesuaian yang ditangani, sehingga banyak menyita waktu.

Sedangkan keberhasilan menangani masalah ini, biasanya tidak termasuk dalam hitungan penilaian keberhasilan suatu program kerja yang dicanangkan. Karena yang diukur adalah keberhasilan dari ‘Nawacita’ 9 Agenda Prioritas Program Jokowi, yakni: Melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; Mewujudkan kemandirian ekonomi; Melakukan revolusi karakter bangsa; dan lain-lain.

Masih Butuh Dukungan

Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia tentu masih harus sabar menunggu realisasi program yang akan dilanjutkan Presiden Jokowi, pasca 100 hari penilaian publik. Bahwa adanya ekspektasi yang sangat tinggi dari masyarakat, untuk merasakan keberhasilan Pemerintah, makin tak terbendung. Jokowi-JK harus segera mewujudkannya dalam bentuk keberhasilan program, setidaknya dalam 1 tahun pertama.

Untuk itu memang, dukungan dari masyarakat masih sangat dibutuhkan, bilamana ingin menuntut keberhasilan. Setidaknya, jika masyarakat bisa mendukung ketenteraman dalam berbangsa dan bernegara, itupun sudah bagus.

Karena orientasi pemerintahan Jokowi-Jkpun hingga 100 hari ini, masih mencerminkan keberpihakannya pada rakyat. Bahkan dalam mengatasi persoalan calon Kapolri yang mestinya harus dilantik, padahal ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK, Jokowi membuat kebijakan antara lain dengan membentuk Tim Independen Penyelesaian perselisihan KPK dan Polri, yang terdiri dari tokoh-tokoh berintegritas tinggi.

Termasuk melakukan manuver politik melalui komunikasi politik dengan Prabowo Subianto, yang merupakan rivalnya dalam Pilpres lalu. Demikian juga dengan mantan Presiden BJ Habibie, dalam rangka mendengar masukan dari berbagai pihak. So...Mari kita tunggu gebrakan berikutnya.

Danny PH Siagian, SE, MM

Pemerhati Masalah Sosial Politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun