Mohon tunggu...
Walan Yudiani Yudi
Walan Yudiani Yudi Mohon Tunggu... Penulis - Seorang guru yang ingin terus belajar

Sederhana dan memberi inspirasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dalam Hujan Kepagian

6 Maret 2022   21:38 Diperbarui: 6 Maret 2022   21:41 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cinta itu datang tanpa memberi kabar berita atau sinyal mimpi di hari-hari sebelumnya. Cinta tidak memilih waktu atau tempat. Mendadak. Petir saja sebelum datang memberi pesan dengan kilat terlebih dulu. Pagi ini, cinta itu datang saat rindu telah terbungkus mati menyelimuti di dalam hati yang diam.

Dan hadir tanpa surat berita dalam hujan kepagian. Yah, Nadien. Gadis yang pernah kukenal lima belas tahun silam saat aku masih SMA dulu. Dengan celana jin kebiruan dan kaos lengan panjang dilipat sekenanya dan rambut panjang ikal dibiarkan berurai sehingga seakan-akan sengaja mengundang angin pagi gerimis ini untuk memeluk dan menghembuskan uraian rambutnya. Senyumnya masih seperti dahulu dengan lesung pipit dibiarkan melubangi pipi-pipinya. Dan dagunya yang terbelah manis tetap menjadi pesona aku.

Gadis yang sempurna yang pernah aku kenal. Tanpa sengaja aku bertemu Nadien saat bergegas pergi ke kantor aku. Sedikit ragu untuk menegurnya. Namun alisnya yang tebal simetris alami dengan dagu terbelahnya dan setitik tahi lalat di atas pelupuk matanya yang lentik. Aku yakin pasti dia, sebab cinta tak pernah membohongi dan melupakan hal sekecil apapun hingga sekarang.

Maaf ini Nadien, yah?." Aku coba membuka percakapan. Biasanya aku paling gengsi untuk menegur siapapun, jika aku tak kenal. Tapi ini lain. Kuatnya rindu yang membuat aku menghempaskan kegengsian itu.

Mata gadis itu terheran-heran dan terus menatapku dalam-dalam penampilanku. Aku sadar diperlakukan demikian dan pasrah saja. Mungkin dia lagi butuh penyesuaian diri, menyelami dengan fikiran dan membuka memori-memori lamanya. Aku juga tau Nadien bukan gadis sembarangan yang mau kenal dengan sembarangan laki-laki.

Pikirku. Ahh, lama sekali dia menatapku hingga membuatku jadi tak nyaman. Untung saja pagi buta dalam hujan gerimis di halte ini belum ada siapa-siapa sehingga tak terlihat betapa gugupnya pagi ini diriku.

Gadis itu tersentak kaget dan memegang kedua lenganku. Dengan mata menatap tajam dan berbinar penuh keyakinan.

Galih yah!" sambil terus mengguncang-guncangkan kedua lenganku.

Iya. Nadien. Aku Galih!" sambil terus aku menatapi matanya. Mata kerinduan. Lima belas tahun tak terasa berpisah semenjak Nadien pindah sekolah yang belum genap seminggu memasuki kelas baru di kelas tiga karena ayahnya pindah tugas ke Papua. Yah, saat itu kami baru saja kenaikan kelas. Aku dan Nadien adalah dua sisi mata uang logam. Aku keras tak tau aturan sementara Nadien lembut penuh       ke-ibuan. Dan aku tau semua itu semenjak jalan bersama dan sesering kali Nadien mengenalkan keluarganya.

Banyak cerita cinta dan kasih yang membuat terkenang saat itu dan terus terpatri dalam diari hati ini. Tentang kelucuan. Cita-cita dan impian. Sedih dan gembira bersama. Rencana kuliah dan wisuda bersama dan banyak lagi rencana-rencana manis yang penuh dengan kegilaan serta lebih serunya aku selalu mengisi bersama-sama kenangan itu dalam satu diari bersama. Terakhir diari itu semenjak berpisah Nadien yang pegang.

Aku ulurkan tangannya dan aku coba menarik untuk mengajak duduk di beberapa bangku yang di halte itu. Kebetulan belum ada seseorangpun.

Apa kabar Nadien?'. Sudah lima belas tahun yah kita tak bertemu?" tukasku mengawali pembicaraan.

Alhamdulilah. Baik Galih!" iyah, sudah 15 tahun yah." Sambil ketawa kecil dengan lesung pipitnya diumbar begitu saja.

Kalau Galih sendiri gimana?" tanya Nadien sambil matanya terus melihat di seberang halte tampaknya seperti ada yang ditunggu.

Baik juga, seperti yang kamu lihat sekarang."

Lima belas tahun sudah cukup lama juga yah. Sejak hadirmu saat ini memori kebersamaan jadi ingat lagi. Lucu saja. Kau pergi saat itu dan hari ini pula tanpa sengaja ketemu kamu.

Apakah Tuhan yang mengantarkan kamu ke sini atau secara kebetulan saja roda bumi ini yang menemukan kita bertemu dalam lintang derajat yang sama. Entahlah?". Yang jelas aku senang sekali bisa bertemu kembali.

Terus bagaimana kabarmu, ayah dan Ibumu?". Tanyaku dan memang aku sudah menganggap kedua orantua Nadien seperti orangtuaku. Makanya tak lengkap jika aku tak menanyakan kedua orang tuanya.

Kabarku, baik juga Galih. Tapi,..sekarang aku sendiri semenjak ayahku gugur saat menjalankan tugas tentaranya. Sementara Ibuku meninggal dunia lima tahun yang lalu. Aku tidak punya siapa-siapa. Aku ingin sekali hubungi kamu sementara aku tidak tahu harus kemana aku mesti hubungi. Aku galau. Sepi. Hidupku tergantung dari warisan ayahku. Semua serba sendiri. Di tengah kota berkecamuk perang saudara. Aku sekarang bukan wanita lagi yang kamu kenal lima belas tahun yang lalu. Matanya redup, air matanya mengalir tanpa sadar. Ahh, Sudahlah!'. Begitu mengakhiri pembicaraannya.

Ada apa Nadien?". Aku berusaha meyakinkan agar terus ia bercerita dan kupegang kedua telapak tangannya dengan penuh erat.

Nadien, tatap aku!'.

Percayalah, ceritalah ada apa dengan dirimu. Aku Galih, laki-laki yang dulu selalu ada untuk kamu".

Terima kasih, Galih!". Sambil berusaha untuk melepaskan genggaman tanganku. Kemudian menghadap jauh ke depan dengan tatapan kosong.

Barangkali itu dulu, Galih". Kamu selalu ada jika aku butuh kamu. Kamu cinta pertama aku. Laki-laki yang selalu dalam ingatanku. Aku selalu berusaha untuk kuat menghadapi pahit hidup ini kecuali merinduimu di setiap waktu.

Galih, sekarang aku tidak seperti dulu lagi". Sambil memegang pundak. Aku wanita kotor, hina dan tak pantas lagi berteman dan bahkan tak pantas menjadi kekasihmu lagi". Menangis sesegukan seperti anak kecil tanpa irama.

Maksudku kamu sekarang.....!". Aku mencoba memastikan, menatap tajam tanpa menyinggung perasaannya.

Iyah." Karena kebutuhan Galih, ekonomi keluargaku." Sambil terus menangis tak henti-henti sesegukan. Belum sempat aku bicara dan meneruskan pertanyaannya.

Tiba-tiba dari kejauhan klakson mercy berbunyi. Suara khas mobil mewah. Dan dengan melambaikan tangannya, bergegas Nadien meninggalkan aku dengan tidak kepercayaan aku atas semua ini. Mematung. Tanpa sadar mataku berurai. Kepergiannya menyisakan penyesalan. Seandainya saja, bisa terhubung dan menemuiku saat itu. Mungkin lain ceritanya. Dan Tuhan tentunya punya alasan lain tentang peritiwa ini. Takdir, Jodoh, Umur, Rejeki ada di tangan-Nya. Aku terhenyak, hujan kepagian hari ini mengabarkan cinta yang sesungguhnya.

(Pasar Minggu, 25 Januari 2020)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun