Malam semakin hitam, terasa tangan tangan kabut mulai melepas serpihan putihnya kebumi, dingin . . . .dan basah . . .dengan muka kuyu Iklima masih berdiri disamping tembok dari anyaman bambu yang mulai berlubang, bukan tanpa alasan dia disana, mukena putih membungkus tubuhnya dalam bermunajab, pelan dan penuh tuma'ninah, dalam sujudnya dia menangis, dia mengadu pada Rabbnya tentang kegetiran hatinya, entahlah tak ada yang tau apa yang dia pikirkan.
Suryono Dirjo sang ayah terdengar mengasah sabit yang akan dia gunakan untuk mencari rumput selepas subuh nanti, lelaki yang mulai beranjak sepuh itu terlihat tegar menjalani kehidupan kerasnya, tak pernah terdengar celoteh keluhannya, sesekali matanya terpejam begitu saja, namun selalu membuka lagi dengan cepat, seolah dia memang masih begitu mengantuk setelah hanya tertidur barang satu jam selepas Isya' tadi, tangan tuanya sudah terlihat keriput dan sesekali bergetar tapi sebagai kepala keluarga rupanya dia sadar betul akan tanggung jawabnya, hingga dalam diam pun selalu ada doa yang dia selipkan bersama harapan, ya . . .harapan untuk selalu melihat keluarganya bahagia, dia sudah merasa bersyukur dengan hidupnya sekarang.
Maunah, sang istri selesei menanak nasi, ya . . .sekali lagi hanya nasi yang dia tanak pagi buta ini, fisiknyapun tidak jauh lebih bugar, dia kini sudah beranjak senja, dengan santai dibukanya pintu akses kebelakang rumah, dengan ditemani korek api kuno milik suaminya dia mulai memetik daun bayam yang banyak tumbuh dipekarangan belakang rumahnya, Iklima memang menanam sendiri sayur sayuran yang sekiranya mereka butuhkan,cabe, tomat dan bawang merah, meskipun tidak banyak dan hanya untuk konsumsi pribadi, dirawatnya telaten kebun itu, desanya yang terletak dilereng gunung lawu sebelah timur memang menjanjikan untuk tanaman sayur sayuran
"nduk, apa kamu sudah berfikir untuk berkeluarga?” ujar Maunah pelan ketika Iklima sudah berada didepan perapian sekembalinya Maunah dari kebun belakang, tak sepatah katapun keluar dari bibir Iklima dia hanya menarik napas panjang dan tersenyum, Maunah paham betul dengan bahasa tubuh Iklima itu "ya sudah, terserah kamu nduk, tapi kamu harus ingat! Bapak, ibumu ini sudah semakin tua, jangan sampai ibu atau bapak tidak bisa bermain main dengan anakmu nanti" ujar Maunah dengan senyumnya "ibu ini ngomong apa?"tepis Iklima seraya berlalu membawa sebakul nasi yang baru diangkatnya ke meja makan
setiap pagi menjelang, ketiga insan ini memang sudah terbiasa dengan aktifitas masing masing, sudah hampir dua minggu ini Angga dari kota seberang yang dikenalnya melalui akun facebook, satu satunya jejaring sosial yang dia miliki menjadi lebih intens menghubunginya, ada perang tersendiri di hati Iklima ketika membaca pesan pesan dari Angga, masih jelas beberapa minggu lalu suara ibu Angga merendahkannya ditelfon, kembali relung hatinya terasa dingin, dingin dan perih, tak terasa air matanya menetes kembali, entahlah kali ini karena ucapan ucapan ibu Angga atau karena masa lalunya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H