Mohon tunggu...
Pramitha Annisa
Pramitha Annisa Mohon Tunggu... -

Mahasiswi IPB PPKU

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Takdir atau Usaha?

16 Juni 2015   14:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini ceritaku...

Bermula ketika aku lulus SMP, jujur saja aku sedikit bosan dengan belajar. Belajar sesuatu yang bahkan bukan minatku. Sebenarnya aku ingin sekali masuk SMK, namun ortu tidak setuju, mereka bersikeras agar aku melanjutkan SMA.

"Eman-eman" kalau orang jawa bilang. Akhirnya aku menuruti kemauan ortu. Mereka memintaku untuk masuk ke SMA favorit, dimana jalur masuknya adalah tes tertulis. Jujur, aku sangat tidak suka. Meski banyak teman yang mengajakku tapi aku tetap tidak mau. Aku memutuskan masuk ke SMA yang menggunakan Nilau Rata-rata UN.

Aku mendaftar ke SMA yang cukup favorit di tengah kota, dengan cadangannya SMA yang -katakanlah 'agak' di pinggir kota (jika kalian melihat profilku mungkin kalian akan tahu hihi ^^). Namun ternyata baru 2 hari aku memasukkan data ternyata aku berada di peringkat bawah. Ini dikarenakan sainganku yang memiliki nilai lebih tinggi -maklum, saat itu bocorannya tembus-.

Akhirnya aku mencabut berkas dan pindah ke SMA di pinggir kota. Aku tahu apa yang akan guru-guruku katakan, karena mereka menilai aku bisa lebih baik dari itu. Dan akan kubuktikan, saat mencabut berkas aku teringat kata-kata wali kelasku. "Lebih baik jadi Raja di pinggir daripada menjadi Sampah di pusat."

Saat hari pengumuman aku diterima disana. Senang, tentu saja. Dan sejak itu aku memutuskan untuk bisa sukses meskipun aku sekolah di SMA "pinggir kota".

Selama disana aku berusaha belajar dengan giat, lagipula aku juga punya guru les yang usianya terpaut 2 tahun diatasku. Saat itu dia kelas 3 SMA. Menyenangkan mempunyai guru sepertinya, dia juga sering memberiku masukan. Berkat diapun aku bisa meraih peringat 1 selama 2 semester berturut-turut.

Namun saat aku naik kelas 2, dia melanjutkan ke Universitas yang artinya dia tak memiliki waktu lagi untuk membantuku belajar. Walau dia berusaha menghiburku dengan menawarkan bantuan selama semester awal aku tak menggubrisnya. Rasanya berbeda, lalu aku mengabaikannya. Hanya sesekali aku menemuinya, jika ada soal yang benar-benar tidak aku pahami.

Selama kelas 2 aku terus berusaha belajar sendiri, walau sebenarnya aku hanya belajar jika ada ulangan atau tugas. Meskipun begitu aku tetap bersungguh-sungguh jika ada ujian. Dan hasilnya pada semester 1 aku peringkat 6, dan semester 2 naik menjadi peringkat 5. Aku puas karena itu adalah hasil kerja kerasku sendiri.

Saat kelas 3 sainganku bertambah berat, karena semua siswa peringkat 10 besar dari 4 kelas IPA digabung menjadi 1, dan membentuk Kelas Khusus. Sebelum kelas ini dimulai pun kami harus menjalani 4 kali tes tertulis, jujur saja aku paling tidak suka tes semacam ini. Aku tak pernah belajar untuk tes, mengerjakan pun aku setengah hati, tapi ternyata aku lolos masuk ke Kelas Khusus. Perasaan : campur aduk.

Awalnya aku takut aku akan berada di peringkat bawah, karena sainganku semuanya pintar. belajarpun aku makin jarang. Di rumah, buka buku baca 10 menit kemudian melamun, selesai. Meski begitu jika ada ujian atau tugas aku selalu mengerjakan dengan sungguh-sungguh, akhirnya, voila, aku masuk 10 besar. Kaget?? pastinya.

Di masa pemadatan, harusnya aku makin giat belajar, namun beljaar terus-menerus sama sekali bukan gayaku. Saat pelajaran terutama menghitung aku sering menyumpal telingaku dengan earphone kemudian mengerjakan tugas. Entah kenapa, hal itu selalu bisa membantuku. Bukankah setiap orang memiliki keunikan?

Hari pendaftaran SNMPTN. Aku nekat untuk mendaftar IPB dan pilihan kedua aku memilih UNNES. Padahal aku orang yang cenderung mudah bosan, tapi aku tetap nekat mendaftar disana.

Akhirnya, setelah berikhtiar, puasa, dan berdoa tiap shalat, Allah mengijinkanku untuk diterima di IPB. Sungguh keajaiban yang tidak terduga. Dengan ini aku ingin membuktikan pada semua orang,

Tidak selamanya menjadi terpinggir akan selalu terasingkan, namun dengan campur tangan Tuhan dan usaha semua pasti dapat terjadi. Saat aku reuni ke SMP, guru-guru bertanya dimana aku melanjutkan SMA, saat aku menjawab banyak guruku yang meremehkanku. Dalam hati aku bertekad untuk membuktikan pada guruku, bahwa aku juga mampu.

Kini aku resmi menjadi mahasiswa IPB prodi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Aku harap aku bisa menjalaninya dengan baik dan bisa menjadi mahasiswa yang berkualitas.

Mereka bilang kita sudah memiliki takdir yang diberikan Tuhan, kita hanya perlu menerimanya, entah itu baik atau buruk. Tapi aku tidak setuju. Hidup kita dapat kita ubah dengan usaha, doa, dan niat kita menjalani hidup.

Aku yakin selama aku memiliki niat yang baik, maka Allah pasti akan memberikanku jalan dan memberikan yang terbaik dari-Nya. Jika aku tak mendapatkannya sekarang, mungkin Allah menyimpannya untuk esok.

Kita semua memang memiliki takdir. Takdir yang tidak bisa kita hindari, yang tidak bisa kita pungkiri, yang hanya bisa kita terima... kematian. Tinggal bagaimana kita bersiap untuk menghadapinya.

Semoga tulisan saya bisa bermanfaat bagi Anda, syukur jika bisa memotivasi Anda.

Terimakasih ^^

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun