Mohon tunggu...
Arjuna Sihombing
Arjuna Sihombing Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Keberuntungan bisa direncanakan Pin 75656D88

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gitar Tua Peninggalan Paman

5 Juni 2014   02:49 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:18 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mega di langit berarak menjarak-jarak, kulihat paman masih bersantai di sana di antara pepohonan sambil menatap tajam ke depan seolah menembus peradaban.

Aku duduk di atas batu besar yang umurnya mungkin sudah ribuan tahun melihat ke arah paman. Sepertinya batu ini juga mencoba memahami sikap lelaki gagah di depan sana.

Aku sudah lama mengenal paman. Semua gerak geriknya seperti lelaki yang ada dalam pikiranku selama ini. Ia adalah satu-satunya orang yang waras di dunia ini. Tidak disibukkan dengan sandiwara dan retorika.

Paman adalah seniman handal. Jiwa seninya tidak usah dipertanyakan lagi. Ia mampu menciptakan segala hal yang tidak biasa. Bahkan, beberapa kata yang keluar dari lidahnya seperti kalimat-kalimat syurga yang sukar kupahami.

Sudah berbagai kamus yang kupakai untuk memahami beberapa kalimatnya. Mulai dari kamus thesaurus hingga kamus ilmiah, Tetap tak kutemui arti katanya. Mungkin saja kalimat yang ia gunakan adalah kalimat para sastrawan punjangga lama. Bahasanya bukan lagi selangit tetapi se-syurga.

Berjam-jam aku duduk di batu menunggu paman kembali bersyair dan menyanyi mengeluarkan ‘sabda-sabdanya’.

Batu yang kududuki juga mungkin memiliki perasaan yang sama denganku. Siapa yang tahu, dia hanya benda mati.

Akhirnya, paman mengambil gitar di sebelahnya "Gita jantungku berdetak, Jiwaku melayat langit, satu dua daun terbang-terbang jatuh dari pohon. Bla bla" Aku mulai tidak bisa memahami kalimat ajaibnya berikutnya

Tapi, aku tetap mencoba menyimaknya

"Dimanakah gerangan lafaz yang sempat kupahat. Garis-garis di tanganku masih jelas kubaca. Arlojikupun masih mengiri hentakan detak-detik berkurangnya umurku."

Aku tidak tahu apa tujuan dari kalimat-kalimat paman. Aku ingin menanyakan semua tentang itu, tapi aku yakin pasti jawaban yang kuterima adalah kalimat kalimat yang lebih sulit kupahami.

Paman datang menghampiriku. "Apa yang kau lakukan di atas batu itu?"

"Tidak ada, aku hanya mendengar syair paman"

"Percuma kau dengar karena mungkin hanya aku yang akan paham itu"

Aku merasa setuju dengan kalimat paman. Ia memberika gitarnya kepadaku.

"Apa kau sudah punya tujuan?"

"Tujuan apa Paman?"

"Ya, tentu tujuan hidup. Gimana kamu ini!."

"Mungkin belum"

Paman memasukkan tangannya ke dalam saku

"Coba lihat cincin ini. Ini adalah tujuan paman. Tapi..." Belum sempat paman menjelaskannya, cincin itu terlepas dari tangannya. Aku hampir dapat meraihnya, tapi sayang karena kami ada di atas batu dan di bawahnya danau. Aku tak bisa lagi meraihnya.

Kulihat paman seperti tidak menerima kejadian itu.

"Paman, Danau ini terlalu dalam apa yang kau lakukan?

"Tenang saja, ini hanya sebentar" Paman langsung terjun danau ini lumayan dalam. Aku tahu paman adakah penyelam handal. Tapi aku tipdak tahu apakah menyelam dan mencari sebuah cincin bisa ia lakukan.

Cincin yang aku tidak tahu berapa karat dan berapa berat pasti bentuknya yang melingkar dan tidak ada sisi di tengah tentu akan mempercepat benda itu tenggelam ke dasar danau.

Paman masih belum muncul kepermukaan. Aku mulai heran. Seorang wanita berjalan dan melihat aku. Aku seperti mengenal wanita itu.

"Hey apa yang kau lakukan?"

"Aku menunggu pamanku yang menyelam mengambil cincinnya yang jatuh"

"Apa!, dari tadi aku ada di sana dan tidak melihat seorangpun yang melompat ke dalam"

"Tapi.. Tapi, aku melihat dengan jelas pamanku melompat. Bahkan, ia baru saja menitipkan gitarnya padaku."

"Kau ini bercanda, sudah berapa lama pamanmu menyelam?

"Entahlah, setenggah,,,,, jam.." Aku tidak habis pikir sekaligus tidak percaya, sudah selama itu paman ada di dalam sana.

"Yang benar saja, kau ini sedang mengkhayal, mana ada manusia menyelam selama itu. Ayo raih tanganku, nanti kau jatuh"

Saat aku akan meraih tangannya aku melihat cincin yang ada pada wanita itu sama dengan yang di tunjukkan paman. "Hey, aku pernah melihat cincin yang kau pakai"

"Maksudmu!”

"Iya, pamanku baru saja menunjukkan cincin yang sama dengan yang engkau pakai, tapi, cincin itu jatuh, lalu ia melompat untuk mencarinya, dan sekarang ia belum kembali"

Aku melihat raut wajah wanita itu berubah.....

Bersambung....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun