Awalnya,
Membaca  novel ini, saya  biasa aja. Lebih tepatnya untunglah saya  biasa aja. Jadi saya nggak terlalu emosi. Tapi pas saya teruskan membaca di waiting room Bandara Internasional Kuala Namu, saya nangis bombay. Malu, asli! Tapi masa bodoh, saya tetap membaca sampai nggak terasa saya harus sudah boarding.Â
Saya boarding pada panggilan terakhir penumpang menuju Kuala Lumpur. Novel ini beneran  mengaduk-aduk emosi saya,  acara membaca saya teruskan di pesawat. Biasanya saya kadang tertidur, tapi ini enggak. Sama sekali nggak tertidur, kadang ada deg deg an juga saat  take off dan landing. Tapi no worries! acara baca novel lanjut terus.Â
Dan sampe nggak rela rasanya menghadapi kenyataan saya udah sampe Kuala Lumpur, duhhh...karena mata saya bengkak dan bacaan belum kelar.
***
Aldebaran Risjad dan Tanya Baskoro memutuskan untuk hidup bersama setelah setahun saling mengenal satu sama lain. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk keduanya merasa ‘klik’ sejak pertemuan pertama mereka di pesawat menuju Sydney.
Hingga akhirnya badai datang menyerang rumah tangga mereka. Lima tahun setelah peristiwa di pesawat itu, mereka justru dihadapkan pada pilihan-pilihan keputusan yang memberatkan,termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan mereka. Tetap bersama-sama dan menghapus kenangan pahit di antara keduanya, atau justru memilih untuk amnesia sebagian dan mereka harus benar-benar saling melupakan.
Hanya karena delapan baris kata yang terlontar dari mulut Ale, membuat Anya sukses menghindar selama enam bulan. Menganggap Ale tak ubahnya seperti meja, kursi, atau bahkan lalat di hadapan Anya.
Dalam dunia penerbangan, ada sebelas menit paling kritis dalam pesawat. Critical eleven. Tiga menit pertama setelah take off dan delapan menit sebelum landing. Begitu pula dalam hal bertemu orang-orang. Ada tiga menit pertama yang merupakan penentu terbentuknya kesan, dan delapan menit sebelum perpisahan yang menentukan kemungkinan pertemuan selanjutnya.
This book is so worth it to read !