Mohon tunggu...
Awalludin Ghufi
Awalludin Ghufi Mohon Tunggu... -

mengalir seperti air, berlari seperti angin dan berdiri bagai gunung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Bukan Arena Baku Hantam

11 Juni 2014   11:14 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:16 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai salah satu negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia sarat dengan berbagai persoalan. Salah satu persoalan yang dari dulu hingga sekarang belum tertangani dengan baik yaitu toleransi dalam menjalankan sebuah keyakinan dalam beragama (Islam). Hampir setiap saat, terutama di berbagai daerah terpencil, penganut keyakinan ajaran agama (Islam)  yang mengakomodir nilai-nilai adat istiadat dan budaya lokal tidak pernah merasa tenang dalam menjalankan ajaran keyakinannya tersebut. Ketakutan selalu menghantui mereka. Tindakan kekerasan selalu menjadi bayang-bayang meskipun ia tidak pernah diundang. Bagi masyarakat Indonesia, yang selama ini hidup dalam realitas keberagaman suku, adat istiadat, dan budaya, masalah tersebut sangat meresahkan.

Secara umum, penyebab ketidakharmonisan dalam menjalalankan sebuah keyakinan beragama antara lain disebabkan oleh kurang tegasnya pemerintah dalam mengambil satu tindakan hukum kepada pelaku tindak anarkis, kondisi pemahaman umat yang mengalami disorientasi dalam memaknai sebuah hukum agama (merasa yang paling benar), dan lupa akan sejarah perjalanan bangsa. Apakah agama mengajarkan kekerasan? Pantaskah sebuah keyakinan yang bersifat intagible dipaksakan? Siapakah yang harus bertanggung jawab dalam hal ini?

Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukan betapa memprihatinkan sekaligus memilukan akibat dari pembiaran tindak anarkis yang mengatasnamakan agama dalam konteks ubudiyah (ibadah) dan muammalah (kemasyarakatan). Tindakan kekerasan dalam beragama tidak dapat dibenarkan dalam kacamata apapun, tanda cermin kurangnya kedewasaan dalam mengapresiasi ajaran agama.

Dalam ajaran Islam terdapat satu kaidah yang mewadahi adat istiadat dan budaya masyarakat setempat Al uruf“adat yang baik bisa dijadikan hukum” Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat, atau kebiasaan, telah meresap ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal dan menggunakan istilah tersebut.

Sebagai Dasar kaidah ini adalah Hadist Mauquf (riwayat Imam ahmad dari Ibnu mas’ud): “Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah” sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah, Surat Al-A’raf: 199).“Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199).

Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadist yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang Ta’rif dari Al-Adaah dan Al-Uruf serta hubungannya dengan hadist. Menurut Al-Jurjani: “Al-Adaah ialah sesuatu (Perbuatan atau Perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang terus menerus” Sedangkan Al-Uruf, kebanyakan ulama Fiqih mengartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreativitas-imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya.

Sedangkan Al-Uruf, dalam bahasa arab terbentuk dari akar kata Al-Muta’araf, yang mempunyai makna “saling mengetahui”.  Adapun “Uruf” menurut ulama Ushul Fiqih adalah: “Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan

Dari pengertian di atas, juga ta’rif (penjelasan) yang diberikan oleh ulama-ulama yang lain, dapat dipahami bahwa Al-Uruf dan Al-Adah adalah searti, yang mungkin artinya merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus benar-benar berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dengan pertimbangan yang sehat serta tabiat yang sejahtera. Hal yang demikian tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara’ (alqur’an dan hadist), dan yang dimaksud oleh hadist di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin. Dengan sendirinya  di sini tidak termasuk dalam pengertian “adaah dan uruf, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya (manfaat) sama sekali. Misalnya: Muamallah dengan nganakno duit (riba), judi, saling daya memperdayai, menyabung ayam, dan lain sebagainya, meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan mungkin bahkan tidak dirasa lagi keburukannya.

Dewasa ini umat Islam digegerkan dengan perusakan sebuah makam cucu Sri Sultan HB VI yang meninggal pada tahun 1933, yaitu Eyang Kyai Ageng Prawiropurbo, yang dimakamkan di Pesarean Karang kabolotan, di jalan Kusumanegara, Yogyakarta. Seperti yang dituliskan di Harian Kedaulatan Rakyat (17/9/2013), perusakantersebut terjadi pada hari Senin, 16 september 2013, dilakukan oleh 15 orang memakai cadar. Makam Eyang Kyai Ageng Prawiropurbo tersebut merupakan situs sejarah. Ironinya kejadian ini terjadi di kota yang mempunyai nilai toleransi tinggi (Yogyakarta).

Ziarah, ngalap berkah, merupakan laku budaya yang sudah dilakukan masyarakat Jawa, jauh sebelum keyakinan agama Islam itu sendiri masuk ke Indonesia. Dan dalam ajaran Islam kebisaan seperti tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang di ajarkan oleh Rasullullah Muhammad SAW.Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam Ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pulalah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” (HR. Muslim no.108, 2/671).

Lupa akan sejarah merupakan istilah yang tepat bagi mereka yang telah merusak makam, karena tanpa adanya para pendahulu bisa jadi kita semua tidak akan mengenal keyakinan yang kita anut saat ini (Islam). Jika kita menengok jauh ke kebelakang, para wali yang mensyiarkan ajaran Islam di Nusantara tidak meninggalkan nilai-nilai lokalitas yang sudah lestari dan menjadi keyakinan budaya masyarakat setempat. Bahkan sebaliknya para penyiar agama Islam terdahulu mengakomodir adat dan budaya setempat sebagai media dakwah mereka. Contohnya, yang dilakukan oleh  Sunan kalijaga, dimana beliau menggunakan media wayang dan gamelan untuk mensyiarkan sebuah nilai-nilai keagamaan yang di jaman nabi hal semacam itu belum  ada. Maka sangat tidak beralasan dan berdasar serta dibenarkan sama sekali dalam konteks hukum Islam maupun hukum Negara dari apa yang mereka lakukan terhadap makam Gusti Purbo di atas.

Selain lupa akan akar sejarah perkembangan Islam di Indonesia, disorientasi ajaran agama dalam sebuah aliran kelompok keyakinan sangat terlihat di kejadian ini. Merasa apa yang diyakininya paling “benar” tanpa dasar yang benar. Bagaimana tidak, sebuah tempat ibadah sekaligus sebuah situs sejarah yang  di hari-hari tertentu ramai dikunjungi para peziarah, untuk mendoakan beliau (Gusti Purbo), sekaligus ngalap berkah, serta menjadi tempat bersosialisasi masyarakat, dirusak keberadaannya. Yang lebih miris, di area makam cucu Sri sultan hb VI ditulisi“syirik” dan “musryik” hingga di mushola (tempat orang melakuan aktivitas ibadah).

Islam mempunyai konsep dasar Rahmatan lilalamin (menjadi rahmat untuk seluruh alam) dan musyawarah mufakat guna mediskusikan berbagai macam perbedaan dalam menafsiri ajaran agama, duduk bersama dan membicarakan segala sesuatunya  secara arif. Jika hal ini dapat dilakukan maka tindak kekerasan, atau dalam hal ini  perusakan, akan dapat diminimalisir atau bahkan tidak ada. Merupakan tindakan di luar ajaran Islam bahwa  kekerasan dalam bentuk apapun tidaklah diperkenankan. Jika perbuatan semacam ini tidak mendapatkan tindak lanjut yang tegas dari aparat penegak hukum (yang diberi kuasa oleh rakyat melalui undang-undang), akan muncul banyak keresahan di masyarakat. Jangan sampai masyarakat mengambil tindakan hukum sendiri, karena setiap tindakan kekerasan tidak akan pernah selesai jika diselesaikan dengan cara yang sama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun