Mohon tunggu...
Efendi
Efendi Mohon Tunggu...

Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan, Peran Guru, dan Keteladanan di Era Disrupsi

23 Februari 2019   14:30 Diperbarui: 23 Februari 2019   15:10 2878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam KBBI, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengejaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Inti pendidikan di sekolah adalah prosesnya melalui pembelajaran yang berlangsung di kelas. Hal itu menyebabkan mutu proses pembelajaran di kelas menjadi prioritas.

Mutu dalam proses pembelajaran tentunya berkaitan langsung dengan kemampuan guru dalam mengajar dan mengelola kelas. Sehingga pada perubahan ke kurikulum 2013 ini  yang diharapkan yakni perubahan cara guru mengajar. Di antaranya yang sangat penting adalah perubahan pembelajaran yang selama ini berpusat pada guru kepada pembelajaran yang berpusat kepada siswa.

Kurikulum sekarang menyebabkan peran guru di kelas tidak lagi seperti dahulu. Sebagian dari kita dahulu mungkin pernah mengalami menjadi siswa. Ketika sang guru menerangkan sambil menuliskan kata/kalimat materi di papan tulis, setelah selesai guru meminta siswa untuk menyalinnya. Atau kita pernah diminta oleh guru menyalin buku teks ke papan tulis dan semua teman sekelas menyalinnya ke dalam buku catatan mereka masing-masing.

Kurikulum yang pembelajarannya berpusat kepada siswa (student centered) menuntut agar guru yang selama ini banyak berceramah di depan kelas harus dikurangi. Siswa dalam hal ini mencari tahu dan memecahkan masalah sendiri persoalan-persoalan materi yang diberikan guru dalam proses pembelajaran. Lalu bagaimana peran guru di kelas saat ini?

Peran Guru di Era Disrupsi

Sebuah pertanyaan menggelitik, "Masih diperlukankah guru berdiri di kelas saat ini?" Sebuah pertanyaan yang membuat kita mulai berpikir. Di era saat ini yakni era disrupsi, sebuah era yang menunjukkan telah terjadi perubahan yang fundamental dan mendasar dalam tatanan hidup manusia. Era ini ditunjukkan dengan evolusi teknologi yang menyasar sisi/celah kehidupan manusia. Orang menganggap era ini disebut era revolusi industri 4.0. Yang pasti, era yang saat ini menjalar di hampir seluruh dunia adalah era ketika industri digital menjadi sebuah paradigma dan acuan dalam tatanan kehidupan ini.

Bayangkan bahwa anak-anak peserta didik (siswa) sekarang tak memiliki jarak dengan gawai cerdasnya. Mereka mengerjakan banyak hal dengan gawainya itu. Akses informasi yang luar biasa dapat menjawab persoalan materi yang diberikan guru. Bertanya kepada guru sudah bukan lagi pilihan. Google dan Yahoo menjawab lebih cepat.

Pembelajaran lewat digital lebih mengasyikkan bagi siswa. Hal ini menjadi negasi jika pengajaran guru di kelas tidak mengasyikkan maka gawai adalah pilihan bagi siswa karena dianggap jauh lebih asyik. Inilah tantangan tersendiri bagi guru.

Maka dari itu, sejalan dengan amanat permendikbud nomor 22 tahun 2016 tentang standar proses yang menyatakan proses pembelajaran diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; guru dituntut untuk menciptakan suasana pembelajaran yang inovatif, kreatif, efektif, menyenangkan, gembira dan berbobot. Atau dikenal "paikem gembrot".

Tentu era industri digital, informasi sangat berlimpah sehingga berbagai macam kualitas informasi bertumpuk menjadi satu wadah. Mulai informasi penting, kurang penting bahkan tidak penting bercampur aduk. Maka siswa harus dapat menggunakan informasi dengan bijak dan hati-hati.

Salah satu "paikem gembrot" tersebut adalah peran guru sebagai pendorong siswa agar mampu berpikir kritis. Sehingga di era disrupsi yang serba instan ini, siswa harus mampu mencari, memilah, memilih, mengambil dan mengkritisi informasi agar tidak terjerumus ke dalam informasi palsu. Semua itu tentunya perlu bimbingan guru. Maka peran guru di era disrupsi ini sangat urgent.

Oleh guru, siswa didorong memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) atau HOTS. Sehingga siswa tidak lagi sekadar mampu mengetahui, memahami, dan mengaplikasikan informasi tetapi juga mampu menganalisa, mengsintesa, dan mengevaluasi informasi.

Penyebab bangsa maju salah satunya adalah membekali siswa memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, inilah tugas guru. Mungkin menjadi hal yang wajar adanya berita hoax atau berita palsu yang tumbuh subur salah satunya juga masyarakat kita belum terbiasa berpikir tingkat tinggi.

Disrupsi membuat pergeseran pola pembelajaran yang semakin akrab dengan pembelajaran berbasis digital. Sehingga penggunaannya oleh siswa perlu kontrol dan bimbingan guru. Guru dan siswa perlu melek teknologi. Guru millenial jangan sampai gaptek (gagap teknologi).

Pendidikan Karakter Memerlukan Sebuah Keteladan

Penguatan pendidikan karakter sebagai upaya untuk membentuk manusia berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, religius, dan sosial. Penanaman pendidikan karakter kepada siswa memerlukan keteladanan guru. Pepatah mengatakan "baik bangsa karena budi, rusak budi bangsa binasa" maka rusaknya budi pekertilah yang membuat bangsa hancur.

Di era disrupsi yang serba digital ini, begitu pentingnya seorang guru menumbuhkan dan membentuk karakter siswa guna memanfaatkan teknologi dengan tepat. Sikap transfer of values atau keteladanan guru kepada siswa harus dilakukan dalam bentuk pengamalan sikap dan nilai-nilai luhur. Pepatah mengatakan "orang bukan melakukan apa yang anda katakan tetapi apa yang anda lakukan." Hal ini, guru masih memiliki peran penting di era disrupsi digital.

Jika kita kembali ke pertanyaan tadi "masih diperlukankah guru berdiri di kelas saat ini?" maka kita perlu merenung yakni sesuatu seperti empati pada orang lain, rasa tanggung jawab, menghargai orang lain, religius, santun dan rendah hati, kesederhanaan dan keikhlasan, kerja keras dan jujur, serta mencintai sesama itu semua tidak ada dalam gawai cerdas. Semua itu ada pada keteladanan dan pembiasaan yang ditunjukkan oleh guru. Ya, guru masih diperlukan untuk berdiri di dalam kelas demi keteladanan dan pembiasaan untuk menyongsong era revolusi industri 4.0. dan menyiapkan calon-calon pemimpin Indonesia di masa depan yang membawa bangsa ini menjadi maju dan berperadaban tinggi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun