........................................
Wahai kaum guru semua
bangunkan rakyat dari gulita
Kita lah penyuluh bangsa
pembimbing melangkah ke muka
Insyaflah ‘kan kewajiban kita
mendidik mengajar p’tra putri
Kita lah pembangun jiwa
pencipta kekuatan negara
..........................................
Kutipan syair Mars PGRI , karya Endropranoto itu akan berkumandang serentak di jagat Nusantara pada tanggal 25 November 2012. Momen ini adalah merayakan Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun ke- 67 PGRI. Guru, yang dalam paradigma lama harus digugu dan ditiru mengalami metamorfosa. Salah satunya adalah jargon " Pahlawan Tanpa Tanda Jasa " yang diganti dengan "  Pembangun Insan Cendikia".  Coba cek lagu Hymne Guru, karya Sartono ( versi feformasi).
Namun, tidakkah ini sebuah langkah yang grusa-grusu? Karena tren reformasi , lalu ikut-ikutan mereformasi?
Belakangan baru kita sadar bahwa sosok guru itu tidak hanya menjadikan siswa cendekia (tajam pikiran, cerdas atau pandai) tetapi juga berkarakter baik ( berbudi pekerti, berakhlaqul karimah, jujur dsj). Fungsionalitas guru mestinya tetap pada  2 rel , yakni mendidik dan mengajar. Mendidik melingkungi hati, jiwa, budi, olah rasa, karakter tingkah laku. Sedangkan Mengajar lebih penekanan kepada fisik, pikiran, otak, olah raga, karakter kecerdasan. Singkat kata mendidik adalah membangun sisi batiniah peserta didik dan mengajar membangun sisi jasmaniahnya.
Asumsi sederhana, peserta didik bisa jadi bertalenta cerdas pikiran tapi tingkah lakunya merugikan masyarakat umum. Tawuran siswa, teroris, hacker, Pembobol ATM, koruptor adalah contoh kasus yang kalau ditelisik banyak dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, orang yang kaya pikiran tetapi miskin hati nurani. Mereka tidak bisa memilah dan memilih dengan kendali hati terdalam. Solusi baginya adalah nalar logika atau pikiran. Termasuk pengajaran agama dianggapnya hanya sebagai hukum halal dan haram saja. Bagi mereka , kitab suci adalah kumpulan tekstual, padahal ada sisi kontekstualnya.
Pada konteks mendidik inilah seorang guru berperan lebih luas, lebih besar, lebih kompleks demi kebaikan karakter anak didiknya. Tentu hal ini tidak bisa diukur dengan norma penilaian kuantitatif. Skop kebaikan hati adalah abstrak dan tidak instan bahkan tidak bisa diukur dengan pasti. Butuh waktu dan ketekunan dalam memperjuangkannya.  Pencapaian hasilnya pun justru didapat  setelah  anak didik tersebut telah lama lulus dari sekolah. For a long time . Hal inilah yang tidak bisa direward pada jasa guru. Jadi benarlah bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
" Membangunkan rakyat dari gelap gulita ,  menjadi penerang anak bangsa  agar bisa membimbing melangkah kemuka adalah sesuatu yang memerlukan komitmen tinggi , tanpa mengharap (balas)  jasa!"
" Maka sadarlah bahwa kewajiban guru adalah mendidik dan mengajar putra-putri Indonesia. Gurulah yang membangunkan jiwa agar tercipta kekuatan negara sebab jika generasi kuat  maka negara akan  kuat! "